Chereads / Cinta Dua Sejoli / Chapter 1 - Antara Masa Lalu Dan Masa Depan

Cinta Dua Sejoli

Edelweissme
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 7.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Antara Masa Lalu Dan Masa Depan

Kisah Cinta Dua Sejoli Pertama.

Berawal dari teror surat merah jambu yang meneror pacar dari Abiyan Lutfi Wijaya. Gummy yang dijuluki si ahli stalker didaulat untuk menyelidiki kasus itu, namun bukannya menyelidiki siapa pelaku teror. Gummy malah memanfaatkan kasusnya untuk mengincar si most wanted sekolah. Abiyan Lutfi Wijaya yang terkenal punya otak jenius, keren dan merupakan kapten tim basket sekolah. Kekepoan tingkat dewanya pada Abi, membuatnya menemukan kejanggalan mengenai sosoknya yang diyakini mempunyai Amibigous genitalia atau kelamin ganda.

Disana engkau berdiri menatap bayangan semu, jika tak mengetahui ia yang menatapmu dan hatinya selalu bergelora ketika kau memandangnya. Pandangan rasa yang tak kau dapatkan di ujung dunia manapun. Walaupun, hanyalah sekedar buaian belaka yang mengartikan dia berada disisimu, namun ketulusan mampu membawamu untuk melihat ke arah manapun.

Kau tau. Kau salah, namun kau terus menyelesaikannya sampai akhir dan membuat dirimu bangga atas kesalahan kenangan di waktu dulu. Pernahkan anda berpikir? apa konsekuensi untuk perasaan yang terlalu lama dipendam dan segala hal yang membuatmu mengerdil di hadapannya.

Kau adalah dirimu. Dan kau menerima masa depanmu sekarang.Tentang belahan jiwa di bulan maret yang membuat patah hatimu jadi kepingan yang indah, meski hancur, namun diamnya telah menyebarkan cahaya yang mampu menerangi kekosongan hatimu, sampai-sampai kau melupakan suatu hal, bahwa memang takdir tak sebegitu sempurna untuk diingat kembali.

Di tempat teduh untuk waktu yang lama. "Giselle mau kemana kamu hari ini?" tak kunjung ada jawaban, membuat pemuda bertopi hitam itu menjadi kebingungan, kegusaran melanda dirinya. Akankah ia bertemu dengannya lagi. Gadis dari masa depan yang teramat berharga di dalam lubuk hatinya.Walau terkadang tidak semua pertanyaan ada jawabannya, karena kau hanya perlu menyadari, bahwa sebenarnya kita hanya saling melewatkan satu sama lain dengan keraguan kadang membuat seseorang membuang kesempatan yang mungkin terakhir kali dimiliki.

"Rangga."

Dia menyebut namamu diiringi dengan hembusan angin. Perasaan sadar dan tidak sadar membuat bimbang hatinya. Sedetik kemudian ponselnya memunculkan notifikasi pesan dari temannya.

''Aku menemukan dia di salah satu universitas ternama di Jakarta.''

Seakan waktu menjadi terhenti. Cinta memang layak dipertemukan. Ah takdir, memang lucu. Aku selalu menunggu ia untuk duduk berdua lagi denganku, sesederhana itu ? tentu, aku layak bertemu dengannya untuk menepati janji kami dan juga mengucapkan salam hangat dariku untuk kau yang disana.

Rangga menyepi di kamarnya untuk sekedar duduk seraya menghirup kopi panas. Analogi kopi yang pahit sungguh dibuai akan kenikmatan- nya, beberapa pekerjaan ditinggalkan Rangga dengan alasan tak logis yang disebut dengan alasan perasaan yang membeku. Di lain waktu ia terpikir akan kenangan di masa lalu. Betapa berharganya satu menit, jika di masa depan tak kau jumpai lagi hal yang sama.

Gadis berambut sebahu dengan tahi lalat di samping dagu, terlihat merapat menuju bandara, lalu berlari dan berhenti tepat di ekor pesawat yang wajahnya kini memandang lurus kedepan, sembari menatap kilauan senja yang meringis hati akan penantian panjang pada seseorang yang menghilang begitu saja, namun jejaknya pedih untuk dilupakan. Lalu-lalang ratusan manusia rasanya tak mampu mengobati rindu pada sang pencipta cinta yang sampai saat ini penuh harap, untuk kita dapat berjumpa lagi.

Berapa lama lagi aku bisa menunggumu?

Berapa lama lagi aku bisa berdiri di sampingmu?

Tahukah anda berapa lama jam ataupun detik yang berjalan untukku menanti pertemuan denganmu?

Berapa lamapun itu, aku akan terus mencintaimu.

Pesawat besar yang bertengger di lapangan membuat hanyut kepala gadis muda yang mulai tadi sore berdiri disini dengan pikiran konyolnya. Yah, memang rasa selalu menuntun untuk bertahan dan bersikap bodoh, mungkin? Jika kau tak mengerti.

Gadis itu mendongak ke atas, ia menatap langit senja dengan keadaan atas langit yang bagai dilukis abstrak. Awan yang tak beraturan menambah kerinduan di lubuk hatinya. Sekilas, juga membuat pesawat besar itu memantulkan sinar bayangnya yang sangat indah, jika terpandang dari jauh.

Bahkan, sesuatu yang tak bisa kau gapai adalah hal yang paling berharga untuk dinantikan kehadirannya, jadi lebih baik kita saling melewatkan, daripada mendekat dengan kisah yang biasa-biasa saja. Kembali, gadis itu menoleh kesana-kemari, sebelum akhirnya memutuskan mengambil ponselnya di balik kantong jaket tebalnya.

"Hallo?"

Ia mengangkat ponselnya yang bergetar. Menandakan notifikasi panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Seakan waktu yang terpisahkan oleh jarak dan disatukan lagi. Awalnya, ia enggan menyahut, namun batinnya mendorong, maka terangkatlah sambungannya.

Saat suara sang penelepon tak terdengar, gadis itupun mengalihkan perhatiannya dengan menatap kerumunan manusia yang sudah mulai merapat dengan rapi untuk memasuki pesawat. Ia mungkin tak akan sebodoh ini untuk meladeni panggilan yang tidak ada terdengar suara sama sekali.

"Hallo."

Suara yang sangat ia kenal, bahkan yang dirindukannya setiap saat membuat gadis itu mengurungkan niat untuk menutup panggilannya. Terdengar jelas suaranya, seolah tak ada jarak yang jauh di manapun. Gadis yang bernama Giselle itu menatap lurus ke depan, lalu mendongak dan menyadari kalau dihadapanya sudah berdiri seorang pemuda yang berpakaian pilot.

Badan pria itu sungguh tegak, ia mengeluarkan sebuah senyum manis. Lalu berbisik di dalam hati "kali ini aku harus berani menatap matanya meski terlambat."

Gadis itu menahan isak tangis membuat pipinya menjadi kemerahan. Mereka berdua dipertemukan dengan waktu yang tidak tepat. Seakan ragu untuk memulai pembicaraan.

"Lama tak jumpa."

Pemuda itu menurunkan ponselnya dan lawan bicaranya tampak merapatkan jaket. Mereka saling beradu netra, menyalurkan kerinduan yang teramat besar. Ibarat senja yang selalu mengisyaratkan untuk kembali, ia kini mampir, bahkan tak sekedar singgah. Rona wajah langit membuat dentuman hati gadis itu bertambah senang.

Mereka tak tahu kemana kisah ini akan berakhir. Hidup terkadang konyol kemunafikan memaksamu mundur, bukan tentang hidup, tapi tentang rasa cinta. Kau selalu bilang tidak, padahal kau hanya tak mampu bilang iya, lantas memendam 10 tahun rasa cinta dengan keegoisan juga takdir yang tak terelakkan, dan seseorang yang ditakdirkan untukku adalah disini.

Ada banyak hal yang menggantung di dunia ini. Entah jemuran yang belum diangkat, perasaan yang tak pasti, serta jam dinding yang terus berdetak seperti jantungku pada cinta pertama yang digantung.

Pertanyannya sekarang. Apa yang kau lakukan untuk menikmati hidup? dan dimasa apa kita bisa menikmati hidup dengan bertingkah konyol. Tentang kehidupan remaja yang tidak ada habisnya untuk diceritakan.

Masa Lalu

Aku akan menceritakan masa remajaku. Masa yang paling indah yang pernah kujalani dan masa penuh sesal untuk kalian semua, aku dan masa lalu. Bagiku, hidup hanya sekali. Aku mencoba berbahagia dimanapun aku berada, alhasil aku menjadi sosok orang bodoh yang hiveraktif, kemudian aku berpikir akankah orang lain menyukaiku?

Kupikir mereka selalu mengejekku, tapi anehnya aku terlalu santai dalam segala hal dan bersikap acuh dengan situasi yang setiap hari kujalani. Penampilan dengan searagam acak- acakan menjadi ciri khas ku di sekolah. Bahkan, ibuku bingung ngidam apa ia jadi anaknya terlahir begitu santai.

Ibu bahkan menyumpahiku menjadi lelaki saja, daripada seorang perempuan yang  tidak bisa sama sekali menjaga penampilan. Apalagi berpenampilan sempurna di hadapan orang banyak, aku pasti kalah.

"Giselle, kau selalu membuat ibumu ini pusing."

Ibu selalu berkata seperti itu setiap hari, padahal tidak banyak perbuatan yang ku lakukan, hanya memasak ikan gosong saat ayah kelaparan dan salad buah yang selalu lupa aku masukkan ke pedingin dan jadi basi dan jemuran yang seringkali tidak ku kasih penjepit, akhirnya pakaian keluarga ku melayang semua.

Berbeda dengan ayahku yang baik. Ia bahkan tak pernah menyalahkanku. Baginya aku akan berpikir pintar, ketika sudah dewasa nanti. Seiring berjalannya waktu, aku akan merasakan kecewa yang mengubahku menjadi serius.

Dan percayakah kalian, kalau gadis bodoh sepertiku bisa bersanding dengan pria pintar dengan IQ di atas rata rata?

Mari memulai cerita dengan kehidupan remaja yang tak bosan-bosannya untuk di ingat kembali. Saat bersekolah, kau pasti akan menjumpai segudang buku pelajaran yang akan menjadi bahan untuk mengerjakan tugas rumah yang sangat membosankan.

Beberapa pelajaran yang membuat perutmu mual dan berusaha kabur-kaburan dari satpam penjaga sekolah, lantaran ingin membolos saja. Kau juga menemui golongan siswa-siswi yang terdiri dari murid pintar, terkenal, biasa saja dan pembangkang, lalu dimanakah posisiku sebenarnya. Aku bercita-cita sebagai murid pembangkang, terasa keren menurutku, jika kita mampu membebaskan diri dengan menolak peraturan yang ogah banget buat dijalanin.  Toh aku seringkali berpikir. Untuk apa peraturan dibuat, jika tidak untuk dilanggar hehe.

Suatu hari di kantin sekolah saat jam istirahat berlangsung. Aku lebih memilih memojok dengan bersandar pada tiang pendingin minuman sambil merasakan sejuknya punggung belakangku yang sudah bercucuran keringat, hingga terdengar suara teguran yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Giselle, sudah cukup kau bersandar disana. Bibi tak mau keringat kau yang bau asam itu menempel disitu berlama-lama.''

Sesegera mungkin aku menjauh dengan mata menjuling,  lalu aku tertarik dan berbalik lagi untuk mengambil sebotol kaleng lemon tea di dalam pendingin, aku berusaha membuka penutupnya, sampai gigiku rasanya mau copot semua.

"Dia orangnya bos," tunjuk salah seorang murid lelaki pada temannya yang barusan memasuki kantin dengan tangan yang menggempal di udara, seraya menunjukkan wajah sangarnya yang membuat tubuhku bergoyang-goyang, saking gemetarannya dan sekaligus menatapnya lekat, karena telah berhasil menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang dilimpahkan pada lelaki itu. Aku akui ia ganteng.

Murid itu berjalan dengan kerah baju terbuka, tampak gagah. Ibarat Dilan di tahun milenial.

"Rangga," batinku sambil menggapit lemon teaku ke dalam dekapanku.