Chereads / Cinta Dua Sejoli / Chapter 2 - Teka-Teki Cinta

Chapter 2 - Teka-Teki Cinta

Ia memang cinta pertamaku, namun ketika kau berada di akhir sebuah cerita, kau akan menjadi paham. Apa yang selama ini tidak kau mengerti tentang cinta pertama yang indah. Aku baru sadar, kalau ia ternyata berjalan ke arahku. Ia mau menghampiriku dengan logat tidak bersahabat. Kaki jenjangnya itu melangkah semakin cepat, membuat napasku mulai memburu. Entah kenapa, sudah sampai 10 kali aku hanya komat-kamit menggumamkan namanya.

"Kau? "

Rangga berdiri tepat di hadapanku sambil menatapku dari atas ke bawah dengan intens, dan mengundang pusat perhatian seluruh siswa-siswi yang ada di kantin. Aku tutup mulat. Bungkam seribu bahasa, tanpa berani menatapnya.

"Berikan lemon teamu!"

"Hah? "

Aku mengerjapkan mata. Mencoba menerka-nerka apa yang ingin ia lakukan. Apa Rangga mau menjadi malaikat pencabut tutup kaleng, berarti dia orang baik yang pandai menolong, tapi aku masih tak percaya padanya, lalu Rangga mengambil paksa minumanku.

Dihadapanku, dengan mudahnya ia membuka penutup kaleng dengan sekali gigitan saja,  menggunakan gigi tajam yang bersih dan elegannya. Rangga melempar begitu saja penutup kalengnya dan jatuh, tepat di sisi sepatuku.

"Hei. Kau orang yang menerorku ya? "

Rangga menuduhku. Saat aku ingin menjawab, aku malah gelagapan, "a-k ------u tidak tahu,"kataku cepat.

"Darimana dia tahu privasiku sih. Dia gila," batinku bermonolog.

"Jangan berkilah. Bilang saja." Rangga

menatapku dengan beringas tajam.

"Aku tidak mengerti."

Ya Tuhan, seandainya bisa terkabul doaku saat  ini juga, maka pingsankanlah aku, atau bawalah aku pergi, kemanapun asal jangan ke akhirat, karena masih banyak di dunia yang belum ku jelajahi.

"Giselle." Mayu sahabatku datang, lalu menarik lenganku agar menghindari Rangga.

"Dia tidak makan apapun sejak dari pagi, jadi biarkanlah aku membawanya."

Aku mengelus dada. Lemas dalam tarikan Mayu. Puluhan ribu syukur ku ucapkan, setidaknya aku bisa bernapas lega.

"Apa yang kau lakukan pada ketua?" Mayu menyeretku, dan menahanku di ambang pintu kelas, lengah sedikit saja, mungkin Rangga akan membantaiku.

"Aku tidak melakukan apa-apa," jawabku lemas.

"Kau yakin?  Lalu, kenapa dia begitu kesal padamu." Mayu tidak percaya padaku. Ia yakin aku melakukan perbuatan gila pada Rangga. Sang bintang kelas yang tergolong murid pembangkang.

"Entahlah." Aku menggeleng lemah, dan memilih untuk tidak mengakuinya. Kejadian kemarin, hanya hatiku yang bisa menjelaskannya.

"Ayo ikut aku! " tiba-tiba Rangga menarik lenganku. Mata mayu membulat, ia langsung pergi begitu saja meninggalkanku. Memang teman tidak setia, tapi entah kenapa aku sayang padanya.

"Aku harus mengerjakan tugas dulu," ujar Mayu, lalu ia berlari ke tempat duduknya. Tinggallah aku sendirian dengan mental kertas.

"Aku juga mau duduk." kataku menunduk.

"Kau masih tidak mau mengakuinya juga. Sudah jelas kau yang menerorku,"

"Tidak. Guru pengawas datang."

Tersenyum, sambil merenungi rembulan malam, bukan pengakuan cinta yang aku harapkan, tapi suatu ketika, aku menyadari akhirnya, kalau kau adalah orang yang menerorku lewat telepon. Saat ku angkat,  ia malah tidak bersuara. Gadis itu memang buruk dalam hal pdkt. 

Rangga menggeser lengannya di remang kunang-kunang malam,  dan tak sadar kalau di sampingnya ada secangkir kopi, membuatnya tak sengaja menyenggolnya. Kopi dengan cairan hitam pekat itu tumpah di atas lembaran buku usang yang ia buka. Terdapat foto zaman dulu yang sudah sangat parah bentuknya. Di dalam buku itu, ada foto seorang wanita dengan raut wajah ceria, membuat perasaan Rangga mulai terkoyak saat menatapnya kembali.

"Kenapa kau  menyukai lemon tea?"

"Itu karena kau menyukainya."

"Rangga kau dimana?"  Terdengar bunyi ponselnya, namun Rangga malah fokus pada laptop di depannya. Sampai akhirnya sang penelepon berteriak.

"HEI, coba dengarkan aku. Aku tak sengaja menemukannya. Cinta pertamamu."

Aku sering kali melihat Rembulan di wajahmu. Kau layaknya musim semi yang berguguran, mengingatkanku tentang penantian panjang dengan waktu yang terus melangkah. Walau, hanya memandang semu setiap bayangan yang menggores. Embun pun bahkan tak mau terpatri untuk melihat senja sebagaimana dirimu. Nanti kan, kau temui secercah harapan pada waktu yang tepat. Nematode selalu menggulirkan namamu, yang aku ketahui memendam rasa cinta selama 3650 hari. Elok kah kasihku, jika pada akhirnya takdir menjadi berbelit. Memandang ekepresi wajahmu saja bisa membuatku bahagia. Entahlah, aku akan percaya cinta untuk terakhir kalinya, jika cinta itu adalah kau.

Lambat laun ku sisishkan alunan nada demi mengenangmu. Indahnya menit saat berada di sampingmu, matahari dan bulan kehidupanku. Angan-anganku terbelah antara ada dan tiada kau. Aku seringkali menunggumu muncul dihadapanku dan membuat hatiku berdebar-debar untuk menemani aku di setiap langkah yang menusuk jiwa, meski aku mencoba untuk tak mengakuinya. Kau tak bisa menipu hatimu sendiri. Adakalanya, keraguan adalah boomerang kehidupan. Dan meskipun aku mencintaimu, walaupun aku merasakannya jauh di dalam, namun aku tak cukup berani mengatakannya. Jiwaku terlalu sibuk berkelana. Aku bahkan tak peduli waktu yang terus berjalan, karena aku akan terus mencintaimu.

20 Maret 2020, Giselle.

Rangga menatap lembaran kertas bertuliskan puisi di tangannya yang barusan diantar oleh pak pos. Ia meresapkan setiap makna dari apa yang dibacanya. 20 Maret 2020. Matanya membulat saat menyadari waktu pembuatan surat, ia langsung tersadar kalau tanggal itu adalah hari kemarin. Rangga mendongak ke atas, ia sungguh tak percaya dengan puisi dari wanita bernama Giselle, setahunya Giselle sudah pergi untuk selamanya.

Pertanyaannya sekarang adalah, ini masa lalu yang terulang atau masa depan? Kalaupun ini masa depan, berarti ia. Gadis itu masih hidup. Di tempat nan luas dengan hirupan napas yang panjang, Rangga melangkahkan kakinya dengan lambat. Lalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi yang tertawa bahagia di koridor, jadi pelepasan penat yang dialami Rangga, apalagi jika membayangkan orang yang tertawa itu adalah gadis masa lalunya yang bodoh. Memasuki gedung besar yang sangat megah. Rangga disambut oleh beberapa dosen yang mengetahui kalau ia adalah seorang sastrawan hebat dengan jiwa seni yang teramat kuat.

"Selamat datang."

Orang orang menyalaminya satu persatu. Rangga memang didaulat untuk memberikan ilmu sastranya melalui seminar di salah satu universitas khusus untuk fakultas sastra.

"Aku terlambat. Huh maafkan aku."

Suaranya menggetarkan hati Rangga, ia penasaran dan memutuskan untuk berbalik badan. Saat itu juga raut wajahnya berubah, waktu seakan terhenti. Wajah wanita di masa lalunya kembali, dan kini tepat berada di hadapannya.

"Giselle," batin Rangga, membuat wanita itu tersenyum manis.

Takdir mempertemukan kita lagi, meski aku sempat merasa dunia kita sudah berbeda, namun aku tak menemui bedanya dirimu. Kau tetap memancarkan kelopak matamu yang indah bagaikan mutiara.

Ketika aku berbisik pada angin, kita kembali dengan harapan. Hidup memang penuh dengan teka-teki, bahkan cinta yang ku rasakan pasti di dalam dada, belum tentu terbalas, dan pada akhirnya kita hanya mampu menebak bagaimana jalan ceritanya.

Terkadang kau kura pura tidak tahu, namun sebenarnya kau tahu. Kau hadir di hari-harinya, tapi tak pernah bisa memiliki hatinya.Di bawah guguran daun yang diselimuti angin menderu di bulan maret yang sepi, karena terjadinya perpisahan. Disana kau duduk sambil menghadap danau yang luas, matamu lekat menatap langit yang mulai mendung. Ibarat tangisan hujan yang tak tertahankan. Terus menunggu, suatu saat nanti, berharap orang itu akan datang dan menyatakan cinta di bulan maret.

Bulan dingin yang selalu ku tunggu kehadirannya, karena di bulan itulah kita pertama kali bertemu. Di luasnya ombak dengan deburan air, saat aku hampir tenggelam, karena kebodohanku melewati batas pantai. Kala itu aku mencoba berenang, namun aku gagal, air lebih dulu menelanku lebih jauh. Untuk pertama kalinya, aku lihat seorang anak smp dengan gagah berani menyelamatkanku. Tangannya yang kekar menarik tanganku, mencoba menaikkanku kepermukaan. Dengan napas tersengal mataku terpejam. Ia menarik napas panjang, hingga akhirnya ia berhasil menyelamatkanku.

Dalam samar ku lihat wajahnya, namun setelah menyelamatkanku, ia menghilang begitu saja. Aku hanya bisa menghirup napas panjang, sambil menutup lembaran kenangan dengan kesedihan. Walau, ia tak pernah datang menemuiku. Puisiku hanya mainan baginya. Aku tersadar ia bukan untukku. Ia tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Ia patut dihilangkan, tapi aku tak pernah mampu. Selamat tinggal, kau memang maretku yang terbuang.