Chereads / Unforgettable, You / Chapter 21 - 21 Bertemu Nindya

Chapter 21 - 21 Bertemu Nindya

Di bawah gundukan tanah di pohon mangga. Kala itu Anya dan Bobby mengubur sebuah botol kaca berisi surat berisi ungkapan perasaan masing-masing. Pagi ini Anya sengaja lewat tempat parkir kosong itu. Sekian tahun berlalu tapi sudut sekolah itu masih dibiarkan begitu saja. Begitu pula dengan tembok batas antara SMK 21 dan SMA 127.

"Bu Anya," sapa pak Bagyo, salah satu dari tim cleaning service sekolah.

"Eh, Pak Bagyo."

"Lagi jam kosong?"

"Iya, ngisi waktu aja. Saya datang terlalu pagi," ujar Anya.

"Ya sudah, Bu. Saya permisi dulu," pamit pak Bagyo. Hanya mengganggu saya kembali memandangi bawah pohon mangga itu.

Bertahun lamanya apa botol kaca itu tetap utuh seperti sedia kala? Apa mungkin botol itu sudah hilang dimakan rayap?

Langkah kakinya berbalik menuntunnya untuk kembali ke ruang guru karena jam mengajar masih lama. Waktu pagi adalah yang paling aman karena dia tidak akan mengantuk. Hari ini rencana Anya dia akan pergi ke psikolog untuk konsultasi perihal masalahnya. Tidak ada yang tahu baik orang tuanya sekalipun. Dia berobat sendirian karena memang hanya dirinya yang tahu tentang semua yang dialami.

Begitu sampai di ruang guru dia segera kemejanya untuk bersiap mengajar. Dia membawa segala perangkat untuk mengajar yaitu absen, modul pelajaran, serta kotak pensil berisi spidol dan bolpoin. Dia berjalan cepat keluar dari ruang guru hingga tanpa sengaja tubuhnya menabrak pak Jamal, Dia juga tengah berjalan menuju ruang guru.

"Maaf, Pak."

Anya menunduk, sisa traumanya masih ada ketika berdekatan dengan pak Jamal. Benturan itu tidak sampai membuat jatuh. Dada pak guru yang tegap mampu menahan tubuh anak agar tidak jatuh.

"Nggak perlu minta maaf, biasa aja. Sekarang kita teman, bukan lagi guru dan murid," ucap pak Jamal menenangkan Anya.

"Iya, Pak. Saya khawatir kejadian dulu terulang lagi. Gosip cukup mengacaukan hidup saya saat itu," ujar Anya.

"Sekarang kamu adalah seorang guru, tidak perlu khawatir. Lingkungan kerja sini menyenangkan, nggak bakalan ada yang nyinyir," balas pak Jamal.

"Iya, Pak."

Anya mengangguk penuh hormat, biar bagaimanapun pak Jamal adalah gurunya saat masih sekolah meski sekarang sudah menjadi teman. Bel tanda pergantian jam berbunyi, dia segera pamit untuk mengajar. Pak Jamal menoleh untuk memperhatikan dari belakang saat Anya sudah berlalu.

"Apa yang sedang dia pikirkan? Rasanya berat sekali," gumam pak Jamal. Dia melihat raut wajah Anya sedang memikirkan sesuatu yang berat.

"Pak," sapa bu Wanda, guru muda bahasa inggris. Rupanya pak Jamal menghalangi pintu masuk.

"Bu, maaf. Saya menghalangi jalan," ucap pak Jamal sembari memundurkan langkahnya.

"Kayaknya perhatian banget sama guru baru itu. Cantik banget, ya?" goda bu Wanda.

"Dia murid saya dulu pas awal mengajar di sini," jawab pak Jamal.

"Oh, pantesan kayak udah nggak asing," kata bu Wanda. Dia satu tim dengan Anya karena mengajar bahasa inggris. Dia kembali ke tempat duduknya karena masih menunggu giliran mengajar di jam berikutnya.

Sementara itu Anya sedang asyik mengajar. Dia menularkan ilmu yang selama ini dia pelajari pada seluruh siswa.

Dari luar dia terlihat sehat akan tetapi tidak dengan hati dan jiwanya. Untuk itu dia segera mengunjungi psikolog sepulang sekolah. Seperti biasa, dia selalu pergi ke manapun dengan taksi online.

Sampailah dia di rumah praktik Salita Nindya Sari S.Psi, M.Psi. Dia turun dari taksi kemudian melihat plang nama dokter praktik yang sepertinya familiar. Tidak ada antrian, dia segera masuk ruangan setelah petugas administrasi mencatat.

"Selamat siang, bu psikolog."

"Silakan duduk," ucap Nindya sembari berdiri untuk mempersilakan Anya duduk.

"Bisa perkenalan diri lebih dulu?" pintanya ramah. Senyum tersungging di bibirnya sehingga pasien merasa nyaman.

"Saya Anya, umur dua puluh lima tahun."

"Saya Nindya, psikolog. Baik, lalu profesi anda?" tanya Nindya sembari memperhatikan gestur Anya.

"Guru."

"Wah, suatu kehormatan didatangi bu guru. Lantas apa keluhan anda, Bu Anya?" tanya Nindya. Mulai masuk pada inti permasalahan yaitu konsultasi.

"Saya kerap mendapat bayangan masa lalu setiap saya tidur. Alur cerita dari mimpi saya persis sama seperti apa yang terjadi dulu, nyaris tidak ada perbedaan termasuk wajah-wajah orang yang pernah saya kenal di masa lalu. Semua itu kerap kali menghantui sampai saya merasa takut setiap kali tidur," curhat Anya.

"Ada seseorang yang kamu rindukan?" tanya Nindya.

"Ada, dia yang tiba-tiba meninggalkan saya tanpa pamit. Saat datang ke rumahnya ternyata sudah kosong," mata Anya mulai berkaca-kaca. Baru kali ini dia mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan bahkan ibunya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ada di hatinya. Sang ibu hanya tahu kalau dia sedang berpacaran dengan Jenan.

"Nangis aja kalau kamu mau nangis, di sini memang tempat orang berkeluh kesah. Nggak heran kalau di sini adalah tempat orang nangis. Ruangan saya sampai banjir," candanya.

"Makasih, Bu."

Psikolog cantik itu memang kurang pas dipanggil ibu tapi itu adalah cara Anya untuk menghormati psikolog.

"Lalu bagaimana lanjutannya?" tanya Nindya sembari memberikan perhatian pada cerita Anya dengan seksama.

"Saya menjalani hidup seperti biasa karena tak ada lagi yang bisa dilakukan. Namun dengan tanda tanya, ke mana dia pergi?"

Anya menarik napas, berat rasanya untuk menceritakan apa yang selama ini dia alami.

"Saya tidak akan melanjutkan kalau ataupun memberi solusi sampai cerita kamu selesai. Saya yakin ada yang belum tuntas dari cerita kamu," ujar Nindya.

"Saya mencarinya ke manapun, sosial medianya hilang, teman-temannya tidak tahu di mana dirinya sampai saat saya kuliah, saya sempatkan berkunjung ke SMK 21, sekolahnya."

Mendengar SMK 21 disebut, mata Nindya langsung berbinar. Dia adalah alumni dari sekolah tersebut.

"Loh, kok ke sekolahku?" tanyanya.

"Bobby alumni sekolah itu," jawab Anya.

"Astaga Bobby, jadi kamu yang bikin Bobby ninggalin aku?" ucapnya dengan ekspresi yang menyenangkan meskipun terdengar konotasi negatif dari yang dia katakan.

"Kok kenal?" tanya Anya heran.

"Aku alumni SMK 21 dan punya mantan namanya Bobby," kata Nindya.

"Orangnya yang ini?"

Anya mengaduk isi tasnya, dia mencari foto Bobby berseragam SMK yang selalu ia bawa. Selembar foto itu tersembunyi di kantong terkecil di dalam tasnya. Dia menunjukkan foto itu pada Nindya.

"Bobby ini?" tanya Anya.

"Iya, dia pernah pacaran sama aku tapi aku tinggalin demi adik kelas lalu aku menyesal setelah mendengar Bobby pacaran sama anak SMA sebelah dan ternyata kamu orangnya," ucap Nindya.

Sesi konseling itu berujung pada reuni masa lalu. Dunia terasa begitu sempit.

"Lalu Bobby hilang begitu saja?" tanya Nindya.

"Dia hilang bagai ditelan samudra," jawab Anya.