Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mertua rasa Pelakor move to new link

AmoyShanghai
--
chs / week
--
NOT RATINGS
10.6k
Views
Synopsis
"Terima kasih banyak, Zam. Sebenarnya aku malu. Aku—" Azam menghapus rembasan air pada pipiku. "Hatiku perih kalau melihatmu menangis ...," gumamnya nyaris tak terdengar. "Kamu ngomong apa?" tanyaku. Mata kami saling mengunci hingga sekian detik. Jika saja Fito tidak bersuara, mungkin kami masih saling menatap. Aku sadar, tidak seharusnya kami seperti ini. "Tidak. Lupakan." "Azam ...," panggilku. "Ya," jawabnya. "Emm, kenapa kamu bersikap baik dengan kami?" "Jangan salah paham, ya. Aku hanya ingin menepati janjiku yang belum pernah terwujud saat kita masih bersama." "Apa?" "Membahagiakan kamu. Maaf, kalau kamu tidak menyukai caraku ini. Aku tau, tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Aku sudah mengikhlaskan kamu pada kakakku." "Tapi, Zam. Apa kamu gak mikirin perasaan Lisa kalau dia sampai tau?" "Maaf. Sekali lagi, jangan salah paham, ya. Ayo, sudah sampai. Apa kamu tidak mau turun?" godanya. Azam membukakan Seatbelt, wangi rambutnya pun masih sama seperti dulu. "Terima kasih, Zam." Ia tersenyum manis. Perhatian Azam membuatku salah tingkah. Azam mengantarkan kami sampai rumah, awalnya aku menolak semua pemberian dari Azam, tetapi ia memaksa terus. Aku takut jika mertuaku tahu. "Ini untuk Lisa aja, aku takut Mami marah." "Lisa sudah banyak baju-baju, aku lihat bajumu itu-itu aja. Dan sudah waktunya dibuang, udah kusam gitu, loh, warnanya. Dan ini, untuk Fito." Sambil menenteng tetek bengek itu, ia berjalan sesekali menoleh ke arahku. Ya, aku mengekornya. "Mami, kan, lagi di konter tadi?" sambungnya. ‘Azam, jangan membuatku salah menilai arti kebaikanmu ...,’ gumamku dalam hati. Kata-kata Azam di dalam mobil tadi, selalu terngiang. Setiap mengingatnya, senyumku selalu mengembang dengan sendirinya. Seperti orang yang jatuh cinta saja. "Ingat. Jangan menangis lagi. Kalau butuh apa pun, telepon aku aja," ucapnya. Tangannya mengacak-acak anak poniku. Kenangan bersamanya melintas begitu saja. "Maaf. Habisnya, tingkahmu masih sama seperti dulu, sih." Salah tingkah, ia pun memegangi rambut belakangnya sambil menahan senyum, lalu berjalan kembali ke parkiran mobil. Aku hanya tersenyum simpul, sudah lama sekali aku tidak merasakan bahagia seperti ini. Sejak aku menikah dengan Mas Bo'eng, hanya air mata yang setia menghiasi hariku.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bukan Pembantu

Menikah adalah sebuah pilihan hidup, semua memimpikan pernikahan yang sempurna. Memiliki pasangan dan jalan hidup yang sesuai keinginan hati. Akan tetapi, ketika Tuhan memberikan pasangan dan jalan hidup yang penuh liku, apakah kita harus menolaknya?

Siapa pun tak ingin memiliki pasangan yang bersifat buruk, tidak ada yang ingin hidup susah. Sejatinya, wanita ingin memiliki suami yang setia dan perhatian. Tapi tidak untukku.

Sebuah takdir yang harus dijalani dengan sebuah keterpaksaan, membuat hidup seperti di neraka.

Tuhan menciptakan wanita dengan kekuatan yang super dahsyatnya. Meski hanya memiliki dua tangan, para wanita mampu melakukan semua pekerjaan rumah dan lainnya. Walaupun kekuatan lelaki lebih besar dari perempuan.

Pun denganku, walaupun lelah menyelimuti tubuh, aku tak pernah mengeluh. Memilih diam adalah caraku untuk tetap bertahan. Tinggal bersama mertua, rasanya seperti bukan menantu saja. Lebih cocok sebagai pembantu.

Sejak hamil anak pertama, Mas Bo'eng memboyongku tinggal di rumah ibunya. Tentu saja, bukan hanya kami yang tinggal di sana. Ada dua adiknya yang masih bersekolah dan bekerja.

Rumah kontrakan kecil dengan dua kamar itu, menjadi saksi betapa tersiksanya aku. Kamar utama, ditempati oleh mertuaku dan dua anaknya, Rian dan Risa. Sedangkan kamar belakang, diisi oleh kami—aku, Mas Bo'eng, dan anak kami.

Tinggal bersama mertua dan ipar, tak membuatku merasa seperti layaknya keluarga pada umumnya. Bahkan, mereka tak pernah menganggap diri ini sebagai menantu dan ipar.

Anakku bernama Fito, umurnya baru satu tahun. Setiap pagi tugasku adalah menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah ini, menyapu, mencuci pakaian, bahkan sampai mengambil air di sumur umum yang terletak di belakang rumah. Untuk kebutuhanku dan Fito, mertuaku tidak memperbolehkan memakai air PAM. Alasannya, penggunaan air jika ada anak kecil, akan memperbesar biaya listrik.

Pernah suatu ketika, aku telat bangun dikarenakan badanku sakit semua. Sindiran dan hinaan tak lupa mereka sampaikan kepadaku. Tentu sakit hati bila mendengarnya, tetapi aku mencoba untuk tetap bertahan dalam keadaan ini.

"Enak, ya, tinggal gratis di sini, makan tidur gak perlu bayar. Nge-charge pun pakai listrik, listrik itu bisa mengalir, ya, harus di bayar!" Risa dan mertuaku saling berbalas.

"Iya, udah numpang gratis bukannya rajin dikit, kek," sambung mertuaku.

Aku hanya mendengarkan mereka dari dalam kamar, tentu saja mereka tahu kalau aku tidak tidur. Suamiku masih tertidur pulas, ia tak mendengar ucapan keluarganya. Telingaku bagaikan sudah kebal dengan hinaan mereka.

"Lebih baik pelihara anjing, ada balas budinya," celetuk Risa. Ingin menangis pun tak ada gunanya bagiku, itu hanya akan memperlihatkan kelemahanku saja.

Risa seorang gadis berusia 17 tahun, ia bekerja di salah satu toko di Jakarta. Sedangkan Rian, masih sekolah di bangku kelas 1 SMP.

"Dasar aja si Bo'eng, ngambil istri pemalas gitu. Asal ketemu aja, sih!" umpat mertuaku.

Serba salah, ingin keluar pun aku sudah malu. Apakah mereka menganggap aku sebagai pembantu? Memang, pernikahan kami tidak direstui oleh keluarganya.

Setelah puas menyindir, mereka pun pergi. Mertuaku setiap paginya mengantarkan Risa sampai ke stasiun kereta, setelah itu ia akan pulang dan kembali melanjutkan tidurnya.

Aku keluar kamar saat Ibu dan anak itu pergi, menyapu, mengelap kaca, serta mencuci piring bekas mereka pakai tadi. Setelah bersih, aku kembali merendam pakaian di halaman depan—perkarangan depan lebih luas, jadi selain menjemur digunakan untuk mencuci pakaian juga—dan menyikat kamar mandi.

Aku memaksakan diri untuk melakukan semuanya, mumpung Fito masih tertidur pulas. Lapar begitu terasa, aku mencari sesuatu di dapur. Barangkali ada yang bisa dimakan. Tidak ada apa pun. Hanya kopi dan teh. Baiklah, aku memilih untuk menyeduh kopi instan.

Ibu menyusui memang mudah lapar. Aku harus bagaimana lagi? Suamiku tidak bekerja, untuk membeli sesuatu pun tidak mungkin. Pukul sembilan pagi, kerjaan rumah tangga telah selesai dikerjakan. Tinggal menunggu mertuaku pulang membawa sayuran dari pasar, itupun jika ia membelinya.

Baru saja ingin menyesap kopi yang hampir dingin, anakku menangis mungkin ia lapar, buru-buru aku menghampiri dan menggendongnya. Takut jika Mas Bo'eng terbangun, ia tidak suka mendengar suara tangis anaknya.

Tak lama, mertuaku pun pulang. Tanpa diperintah, gegas membukakan pintu pagar persis asisten rumah tangga yang sedang menunggu majikannya pulang.

Ada beberapa plastik belanjaan yang tergantung di motornya. Setelah mematikan mesin motor, ia masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sambil menggendong Fito, aku membawa semua belanjaan nyonya besar itu.

"Ini siapa yang nyeduh kopi Mami?!" teriaknya dari dalam. Gegas aku menghampiri pemilik rumah itu dengan setengah berlari. Hampir saja bawaan di tangan kanan terlepas.

"Maaf, Mi. Tadi July yang nyeduh," ucapku menunduk. Seperti maling yang tertangkap.

"Dasar gak tau diri, sudah numpang gratis, pake berani-beraninya ngambil barang orang lain!" hujatnya.

Tak berapa lama, pintu kamarku terbuka. Ya, Mas Bo'eng bangun karena mendengar teriakan ibunya.

"Aduh, berisik amat, sih?! Gak tau apa, ada yang masih tidur?!" bentaknya.

"Ini, nih! Maling kopi Mami, dasar gak tau diri, udah bangun siang masih berani nyeduh kopi segala!" hardiknya kembali.

Mas Bo'eng mendekat dan menjambak rambutku, sakit sekali.

"Lu maunya apa, sih? Tau diri, dong, tinggal di rumah orang bangun pagian dikit!" Bau mulutnya begitu menguar saat hidungku berdekatan dengan wajahnya.

Aku hanya bisa menangis, tidak taukah jika aku lelah? Berharap, Tuhan akan membalas semua perlakuan mereka terhadapku. Aku selalu berdoa, agar Tuhan dapat membukakan pintu hati Mas Bo'eng.

Sejak tinggal bersama ibunya, perlakuan suamiku semakin menjadi. Ia tak mau mencari pekerjaan, untuk membeli susu Fito pun, harus menunggu sedekah dari seseorang. Semiris itu hidupku.

Ada sesal yang menjalar dalam hati, andai saja waktu dapat diulang kembali. Aku tak ingin menerima lamaran Mas Bo'eng, memang salahku tidak mencaritahu terlebih dahulu tentang asal usul suamiku.

Nasi telah menjadi bubur, seberat apapun cobaan hidup, aku akan menerima semuanya dengan keikhlasan. Meskipun terlihat seperti orang bodoh. Semua demi anakku.

Namaku July, merantau dari rumah ke Jakarta pada saat usiaku 21 tahun. Terlahir dari keluarga miskin, membuatku bertekad mengadu nasib ke Ibu kota.

Aku mengunjungi temanku bernama Irma, ia bekerja di salah satu warung nasi di daerah Poris Indah, tangerang. Irma mengajakku untuk bekerja bersama dengannya. Pemilik warung pun memberi kesempatan padaku, hingga akhirnya aku tak sengaja bertemu dengan Mas Bo'eng.

Kegiatan Mas Bo'eng adalah sebagai karyawan pabrik lampu di daerah Cengkareng, ia sering mampir ke warung ini di jam-jam makan siang. Ternyata, rumahnya pun di dekat sini juga.

Awalnya, aku tak begitu memperhatikan Mas Bo'eng. Ia lebih akrab dengan Irma, karena memang Irma adalah karyawan lama di warung nasi milik Mpok Minah. Seorang janda paruh baya yang masih seksi itu sangat ramah kepada siapa saja.

Setelah tiga bulan bekerja, aku baru menyadari jika warung ini lebih banyak laki-laki yang datang, dan memiliki rahasia lain. Aku pernah bertanya pada Irma, kenapa pengunjung lebih banyak laki-laki. Ia mengatakan, jika wanita pasti memasak dan jarang membeli sayur atau sekedar makan di sini.

Irma dan karyawan lainnya sering digoda oleh pria-pria itu, tak jarang mereka meraba bokong Irma ataupun teman-teman lainnya. Aku sedikit risih bila ada yang bersikap kurang ajar seperti itu.

Selama bekerja, aku masih menumpang pada Irma. Ia menyewa kamar kost di belakang perumahan ini. Lambat laun, aku mengenal Mas Bo'eng dari Irma. Aku pikir, Irma dan Mas Bo'eng ada hubungan spesial tadinya. Ternyata aku salah. Irma adalah seorang PSK, sejak tahu aku lebih memilih pindah.

Semua berlalu begitu saja, kedekatan aku dengan Mas Bo'eng pun semakin intens. Gadis polos bertemu dengan pria kota, banyak hal yang diajarkan oleh Mas Bo'eng padaku. Anehnya, aku begitu penurut dengannya. Apapun yang ia suruh, dengan polos mengikutinya.

Hingga sampai suatu saat, Mas Bo'eng dan aku tinggal dalam satu kamar yang sama. Berkali-kali juga menyaksikan kegilaannya bersama perempuan lain selain diri ini, seperti orang yang bodoh ketika ia berkata tidak seperti apa yang terlihat, dan kembali memaafkannya lagi.

Banyak yang memberitakan jika Mas Bo'eng memakai susuk pengasihan, tetapi aku tak mempercayai ucapan mereka. Aku tahu jika Irma juga menjalin hubungan dengan Mas Bo'eng, tetapi mereka selalu menyangkalnya.

Irma memang cantik dan seksi, ia pun begitu memikat. Pernah suatu ketika, Irma menginap di kost kami. Aku terlelap begitu saja, sedangkan mereka masih terjaga. Entah kenapa aku terbangun saat mendengar rintihan halus, menyaksikan sendiri Mas Bo'eng meraba tubuh Irma.

Mereka terkejut, Mas Bo'eng meminta maaf padaku, ia berkata kalau salah sentuh. Mas Bo'eng mengira, Irma adalah aku. Tentu saja alasan yang tidak masuk diakal. Aku luluh kembali untuk kesekian kalinya.