"Kenapa diem aja, huh?!" bentaknya kembali, mendengar suara keras membuat Fito menangis histeris. Hanya karena aku telat bangun, mereka itu.
"Diam! Berisik tau!" umpat Mas Bo'eng. Bukannya berhenti menangis, Fito malah semakin histeris dan memekakkan telinga.
"Makanya, sudah dibilang cari istri itu jangan sembarang pilih! Begini, kan, akhirnya?" timpal mertuaku kembali. Mereka memang tidak suka dengan jerit tangis Fito, aku ingin menangis saja rasanya.
Padahal yang bangun siang itu adalah Mas Bo'eng, harusnya dia bangun pagi dan mencari pekerjaan. Ibu dan anak itu kembali masuk ke dalam kamar masing-masing, tinggalkan aku yang masih berdiri seperti orang bodoh.
Mendengar tangisan Fito, hampir saja membuatku hilap. Ada dorongan untuk membanting anak ini, untungnya masih dapat tersadar dari bisikan-bisikan itu. Jeritan Fito membuatku semakin tersiksa, serba salah karenanya. Kesal.
Sementara aku membiarkan Fito terus menangis, kopi yang tadi aku seduh pun telah berada di wastafel cucian piring. Padahal belum tersentuh sedikitpun olehku, ia lebih rela membuangnya daripada terminum oleh menantunya sendiri.
"Tenang, ya, Fito. Mama bingung kalau kamu nangis," ucapku menenangkan. Belanjaan yang tadi aku bawa, segera menyulapnya menjadi sayuran matang. Tentu saja memasak dengan menggendong Fito. Lelah jangan ditanya lagi.
Setelah semua matang, aku segera menyuapi Fito dengan lauk yang telah tersaji. Ada ikan sambal, sayur sop, tempe goreng, dan tak lupa sambal terasi kesukaan suamiku. Jam di dinding ruang tamu telah menunjukkan angka 12.15 WIB, tanda sebentar lagi Rian pulang sekolah.
Setelah Fito tertidur, aku segera menyetrika pakaian seragam sekolah, maupun baju kerja Risa. Ibu dan anak itu—Mas Bo'eng—seperti sedang berlomba tidur.
Suara berisik terdengar dari luar rumah, ternyata Rian yang sedang menggedor-gedor pintu pagar hingga menyebabkan suara gaduh. Tergopoh-gopoh aku menghampirinya, takut jika nyonya besar itu terganggu dari tidurnya.
"Lama amat, sih! Gak tau apa orang kepanasan?!" Bukannya berterima kasih telah dibukakan pintu, Rian malah membentak. Ingin rasanya membalas bentakannya, tapi hati ini masih mencoba bersabar. Lebih baik diam menyimpan segala kepahitan.
"Ada apa, sih? Berisik banget!" Mertuaku telah berada di pintu dalam, terlihat wajahnya begitu kesal saat melihatku.
"Ini, nih! Lama bener bukain pintunya! Udah tau diluar panas!" ucap Rian sambil berjalan masuk ke rumah. Membanting ransel ke sembarang tempat. Seperti orang bodoh, aku memungutnya kembali.
"Budek kali, tuh, kupingnya!" Mertuaku merangkul Rian berjalan ke dalam rumah. Masih mencoba sabar, berharap ada kekuatan dan pergi dari sini. Hanya menangis dalam diam.
Setelah menutup pintu pagar, aku melanjutkan kembali tugas harian yang sempat tertunda tadi, melewati mereka yang telah duduk bersiap untuk makan siang. Tanpa bertanya siapa yang memasaknya. Sungguh bodoh diri ini, tapi aku bisa apa selain bersabar?
"Panggil Bo'eng, suruh dia makan. Sudah siang ini, kan!" titahnya tanpa menyebutkan nama. Sempat bingung, apakah mertuaku sedang berbicara pada diri ini, ataukah dengan si Rian?
"Denger gak, sih?!" sambungnya kembali.
"Oh, iya, Mi." Mereka tidak pernah menanyakan aku ataupun Fito sudah makan atau belum.
Hal yang tidak kusukai adalah membangunkan suamiku dari tidurnya. Selain marah, ia akan menendang kakiku layaknya anak kecil yang tidak suka.
"Aduh! Kenapa, sih?!" bentaknya tanpa membuka mata.
Aku kembali menggoyangkan badannya. "Mas, bangun, sudah siang ini!"
"Bisa gak, sih, kalau orang lagi tidur itu jangan ganggu?!" bentaknya kembali.
"Mami suruh makan, Mas. Bangun, ini sudah jam satu!"
Kebiasaan suamiku adalah selalu bergadang, kalau tidak menonton acara bola, ya, bermain game di ponsel. Mas Bo'eng adalah anak pertama di keluarga ini, tapi sifatnya melebihi bocah remaja. Usia 30 tahun tidak membuatnya berkaca diri. Selain malas, sifatnya yang selalu mau menang sendiri pun begitu dominan.
"Keluar!" Bentaknya. Untung saja Fito tidur di ruang tamu, jika tidak ia akan terbangun dan menangis kembali. Aku melempar guling ke tubuhnya dan kembali melanjutkan setrikaan tadi.
Kesal. Tentu saja. Sempat berpikir jahat, mereka semua ingin kuhabisi dengan cara memberi racun! Namun, aku berpikir kembali bagaimana nasib anakku kelak jika terpenjara nanti?
Kamarku terletak di bagian belakang dekat dengan dapur dan meja makan. Jadi, jika aku keluar kamar, Mertua dan Rian pun dapat melihatnya.
"Denger, ya, Yan. Kalau cari istri itu, jangan sembarang pilih," ujarnya kepada anak bungsu itu. Mereka sengaja berbicara saat aku melewatinya.
"Iya, lah, Mi. Masa' cari istri sembarangan? Nanti yang ada malah jadi benalu lagi." Aku tau, mereka sedang menyindirku seperti biasanya. Hampir di setiap harinya, seolah itu adalah nyanyian pengantar tidur untukku.
Aku melanjutkan kembali pekerjaan menyeterika di ruang tamu, karena rumah ini terlalu sempit untuk kami, maka ruang tamu dijadikan tempat menyetrika.
Perut sudah berbunyi sedari tadi, selain air putih, tidak ada asupan apa pun.
Mereka tidak berhenti begitu saja, Ibu dan anak itu, bahkan ingin menjodohkan Mas Bo'eng kembali dengan perempuan yang lebih cantik dan pintar. Aku tertawa dalam hati saat mendengar celotehan mereka. Hanya wanita bodoh sepertiku ini yang mau hidup susah!
Jika menyesal dapat merubah kembali hidupku, aku benar-benar ingin menyesali keputusanku selama ini. Rasa sakit yang tersimpan selama ini, menguar begitu saja menusuk hatiku semakin dalam.
Kulirik Fito sebentar, ia tertidur nyenyak sekali. 'Jangan cepat besar, Nak. Menjadi dewasa itu tidaklah enak,' ucapku dalam diam. Aku menghapus air yang hampir saja menetes, "aku harus kuat," lirihku.
Mertuaku sebenarnya memiliki usaha salon, tetapi entah kenapa ia tidak melanjutkannya lagi. Peralatan salonnya pun masih tertata lengkap di halaman depan, dekat dengan tempat mencuci pakaian.
"Nyetrika itu, tangan sama telinga jalan bareng! Jangan berbelok!" sindir Rian. Suara decakan dari mulutnya, bagai irama fals membuat jijik yang mendengarnya.
Terdengar gaduh suara sendok yang beradu dengan piring, tak lama mertuaku memanggil.
"Ambilin minum dingin, dong!" titahnya. Tanpa banyak kata, aku segera mengambil air dari dalam kulkas, dan menuangkannya ke dalam gelas miliknya.
Rian pun menyodorkan gelas kosongnya kepadaku, dengan malas kembali menuangkannya. Layaknya pembantu rumah tangga yang harus selalu siap bila dibutuhkan.
"Masakin gue mie rebus, dong," titah Rian.
"Masih kurang, kamu?" tanya mertuaku kepada anak manjanya itu.
"Ga enak masakannya! Rian mau makan mie rebus aja!" serunya.
Apa aku tidak salah dengar? Tidak enak? Tapi sayur di atas meja hampir bersih! Aku beranjak ke dapur, sebelumnya sudah mematikan alat setrika. Kebetulan, rasa kesal telah berada di puncaknya.
Merebus air dan memasak mie rebus, sesuai permintaannya. Aku mengambil obat pencuci perut yang sengaja disediakan oleh mertuaku, di dalam kotak obat dekat dengan pintu dapur. Untunglah mereka tidak begitu memperhatikan gerak langkahku.
Setelah selesai memasak mie, aku segera memberikan kepada Rian yang masih duduk di meja makan bersama ibunya. Wangi embusan mie rebus, membuat perutku berbunyi.