Chapter 6 - Tekad

Aku terbangun saat mendengar teriakan Risa. Aku membuka mata dengan malas, dan melirik jam yang terpajang di dinding, atas pintu kamar. "Baru jam 11 malam rupanya," ucapku. Mas Bo'eng belum juga kembali. Aku duduk bergeming. Sementara gedoran dari luar pagar semakin menjadi.

Padahal, Risa membawa kunci rumah. Aku berjalan dengan malas, sambil membenarkan ikatan rambut. Risa dan Toni menatapku penuh kebencian.

"Tidur lu, ya?!" tanyanya dengan nada tinggi. Aku mengabaikan pertanyaannya, membuka lalu masuk kembali niatnya. Tapi, ketika membalikkan badan, Risa menjambak rambutku hingga menengadah.

Refleks, tanganku memegang cengkraman Risa. "Jangan kurang ajar kamu, ya!" bentakku. Hampir saja aku ingin menjambak rambut Risa kembali, untungnya masih bisa menahan.

"Apa?! Mau apa lu? Mau mukul?" cerososnya. Toni yang baru selesai memarkir motornya pun mendekat dan bertingkah seperti preman pasar.

"Kurang puas, ya? Sudah membuat Mas Azam dan ibunya bertengkar tadi?" timpal Toni dengan tangan di pinggang.

Ya, pasti mertuaku sudah melapor kejadian tadi kepada Risa. Tidak heran lagi. Malas meladeni mereka, aku pun masuk begitu saja. Bukan berarti takut, hanya saja tidak mau menambah dosa.

"Kalau orang numpang gak tau diri, ya, gitu tingkahnya." Suara Risa seperti sengaja dibesarkan. Aku kembali menutup pintu kamar dan membaringkan kembali tubuhku.

Risa dan Toni sedang berada di kamar depan, sudah berkali-kali Pak RT datang memberi teguran kepada mereka berdua, tetapi selalu diabaikan olehnya. Pernah saat aku belum tinggal di sini, dalam keadaan rumah tengah kosong hanya ada keduanya, tetangga melaporkan mereka ke Pak RT atas kelakuan adik iparku itu.

Namun, Nyonya besar itu meyakinkan para warga, kalau Toni tidak pernah melakukan hal-hal tak senonoh kepada putrinya. Meskipun kenyataannya, mereka pasti melakukan sesuatu. Apalagi, hanya ada mereka berdua.

Sudah satu jam aku tertidur kembali, belum sepenuhnya sadar, aku mencoba untuk beranjak. Melirik jam sudah pukul satu malam. Mas Bo'eng, Nyonya besar, dan juga Rian, belum terlihat batang hidungnya.

Aku membuka pintu dan segera mengambil minum, Fito masih terlelap dan nyenyak. Anak itu tidak akan terbangun sampai pagi nanti. Samar-samar kudengar suara rintihan dari kamar depan, menjijikkan sekali rasanya. Aku merasa malu sendiri, dan memutuskan untuk kembali ke kamarku.

Pintu depan sengaja dibuka oleh mereka, agar warga tidak curiga jika mereka sedang berduaan di dalam kamar. Dasar pasangan mesum.

"Dasar perempuan murahan," cibirku pelan.

Rasa haus hilang dengan sendirinya, aku mematikan lampu teras, dan kembali untuk melanjutkan tidurku. Sempat berpikir, apakah Mas Bo'eng memikirkan istrinya sudah makan atau belum?

Sudah selarut ini, ke mana perginya Ibu dan anak itu? Apakah menginap di rumah Azam? Ah, ngapain memikirkan mereka. Toh, tidak ada yang peduli denganku juga. Suasana rumah menjadi tenang tanpa adanya mereka.

***

Sudah menjadi alarm secara alami, aku terbangun dengan sendirinya tanpa menggunakan pengingat pada ponsel. Hari ini, aku berencana untuk menjualkan barang-barang dagangan Erna. Untuk tabungan Fito kelak, pikirku. Ya, aku sudah memutuskan untuk tidak terlalu tunduk pada mereka lagi.

Entah jam berapa mereka pulang semalam. Dengan hati-hati, aku beranjak dari tempat tidur, takut jika Fito terbangun. Suasana ruang tamu seperti kapal pecah. Sampah kulit kacang, makanan lainnya, serta puntung rokok, berserakan dengan sempurna. Aku membuang napas secara kasar. Dasar manusia-manusia jorok. Aku tahu, mereka pasti sengaja melakukan ini.

Sebelum membereskan ruang tamu, aku menyeduh susu untuk Fito terlebih dahulu, berjaga bila nanti ia terbangun tidak akan menangis karena kehausan. Setelah itu, mulailah dengan pertarungan seperti biasa. Pukul tujuh pagi, semua sudah siap. Risa bangun bersiap untuk kerja, sementara Rian hari ini libur sekolah.

Aku juga tidak tahu, kapan Toni pulang semalam. Yang kutahu, saat terbangun sudah tidak ada motor laki-laki mesum itu. Walaupun aku sudah muak dengan mereka, hati ini masih ikhlas menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah ini.

Kopi Nyonya besar telah siap, saat ingin membawa sampah ke halaman depan, Risa melewati diri ini dengan melilitkan handuk. Tanda merah terlihat jelas, sontak aku menunduk dan segera menggantungkan kumpulan sampah itu di pagar depan. Takut jika petugas sampah telah datang.

Air bak hampir habis, mumpung Fito tidur kembali, aku segera mengambil air di sumur belakang. Sekalian meminta izin kepada Erna nanti.

"Wih, tumben pagi-pagi sudah olahraga?" sapa Erna ketika melihatku mengangkat air.

"Iya, takut Fito buang air besar nanti gak ada air."

Padahal, rumah kontrakan kami dilengkapi oleh air PAM, tetapi Nyonya besar itu tidak mengijinkan kami memakainya. Untunglah, ada sumur umum ini. Bahkan, untuk keperluan mencuci pun mereka tak memperbolehkan aku untuk menyalakan air. Kecuali untuk mandi Ibu dan anak itu.

Saat ember terakhir aku bawa, di meja makan sudah duduk Nyonya besar dengan kedua anak-anaknya. Mendengar Fito menangis, buru-buru menyelesaikan pekerjaanku dan menggendongnya keluar kamar. Takut jika Mas Bo'eng menendangnya lagi seperti kemarin.

"Mi, hari ini kita makan di luar aja," ucap Risa sambil mengunyah roti bakar yang aku buat tadi.

"Iya, daripada boros. Paling kalau Bo'eng lapar, suruh dia beli mie aja." Nyonya besar itu menjawab sambil melirikku.

"Emangnya, dia punya uang untuk beli?" Rian pun menimpali.

"Rokok, kopi, bahkan makan pun dari mana selama ini, kalau bukan dari Mami?" jawab mertuaku kembali. Suaranya meninggi, tangannya membanting sendok ke atas piring.

Aku buru-buru pergi lewat pintu belakang. Ada Erna yang masih duduk di terasnya, mungkin ia sedang menungguku datang.

"Kamu beneran mau jualin barang jualanku?" tanya Erna dari jauh. Aku buru-buru menempelkan telunjuk ke bibir, ia pun mengerti.

Erna menjual banyak dagangan, ada baju, makanan ringan, sayur matang yang telah dibungkus, dan lain sebagainya. Awalnya aku bingung memilih yang mana, tetapi lebih baik aku memilih menjual sayur matang terlebih dahulu.

Erna membuka usaha katering di rumahnya. Andaikan Mas Bo'eng mau bekerja, mungkin aku pun akan menyisihkan sebagian dari uang pemberiannya, dan membuka dagangan kecil-kecilan di depan kontrakan.

Hari ini, semoga nasib baik berpihak padaku. Aku yakin, Tuhan akan membukakan pintu rejeki untuk umatnya, yang benar-benar berusaha. Semua ini kulakukan hanya untuk Fito. Tidak mungkin jika aku menaruh harapan kepada suamiku. Entah sampai kapan ia akan tersadar dan mau bertanggungjawab terhadap kami.

Satu bungkusnya, Erna memberiku harga tujuh ribu rupiah, aku bisa menjualnya seharga sepuluh ribu. Lumayan jika terjual sepuluh bungkus, aku akan mendapatkan upah 30 ribu rupiah. Tentu saja dengan menggendong Fito. Semoga saja, anak ini tidak rewel ketika di jalan nanti. Sebelum pergi, aku berdoa agar Tuhan memudahkan segala usahaku.