Chereads / Mertua rasa Pelakor move to new link / Chapter 3 - Serba salah

Chapter 3 - Serba salah

Aku tahu, mereka mendengar alarm dari perutku. Tubuhku terasa begitu lemas, gemetar, dan perih pada bagian perut.

Mereka memuaskan diri menyindirku, tak apa, Tuhan tidak tidur. Aku pun yakin akan adanya karma kehidupan, siapa yang menabur, dia yang akan menuai. Meskipun aku tak pernah tahu, kapan karma itu datang pada mereka. Tak sekali dua kali mereka membandingkan aku dengan iparku. Ada saja bahan untuk menyudutkan diri ini. Sepertinya, selalu saja salah di mata mereka.

"Liat, tuh, Mbak Lisa. Dia rajin, ya, Mi?" Lisa adalah adik iparku, istri dari Azam, adiknya Mas Bo'eng. Rian membandingkan, seolah aku adalah benalu.

Sebenarnya nama Mas Bo'eng itu adalah Arka, tapi entah kenapa dipanggil Bo'eng. Azam anak kedua, hanya berselisih satu tahun dengan sumiku. Hanya dia yang menganggapku manusia di rumah ini. Azam tinggal di Depok, sedangkan kami tinggal di Tangerang.

"Iya, lah. Dia rajin cari duit juga, penampilannya pun cantik dan modis," cerosos nyonya besar itu. Tentu saja Lisa memikirkan penampilan, ekonomi mereka jauh lebih baik dibandingkan kami. Usaha Azam di mana-mana, sedangkan Lisa pun dibukakan usaha oleh suaminya. Aku? Jangan ditanya. Mengontrak saja, kami tak mampu.

Pernah, Azam menyuruh Mas Bo'eng untuk bekerjasama dengannya. Namun, suamiku memiliki sifat yang tidak bisa bekerja dalam satu tim. Azam memberikan kepercayaan untuk memegang konter HP padanya, tetapi ia malah pergunakan untuk menggoda para karyawan. Sakit hatiku, sudah tak bisa terobati lagi.

"Makanya, Mi. Cariin Mas Bo'eng istri yang seperti Mbak Lisa, dong." Mendengar ucapan Rian, membuat tanganku berhenti sejenak. Tanpa sadar, aku mengepalkan jemariku di atas gagang setrikaan. Untung saja cepat sadar, kalau tidak, bisa-bisa pakaian ini gosong.

Ada rasa dalam hati, ingin menempelkan setrika yang panas ini, ke wajah dan kulit mereka tanpa ampun. Bisikan-bisikan itu terus saja terngiang di telingaku. Bahkan, adegan-adegan penyiksaan itu mengalir begitu saja. Untungnya, hasutan setan itu dapat kutahan.

'Sabar, sabar!' gumamku dalam hati.

Meskipun sudah terbiasa mendengar sindiran mereka, hati ini masih terasa sakit. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku tak sudi menerima lamaran Mas Bo'eng kala itu. Aku kembali mengingat semuanya. Tidak seharusnya menyesali yang telah terjadi.

Saat aku lagi membayangkan penyiksaan itu, tiba-tiba aku tersentak ketika mendengar teriakan dari ipar bungsuku. "Woy! Nguping lu, ya?!" Rian menggebrak meja.

"Dasar benalu, udah bagus dikasih numpang tinggal!" cibir mertuaku.

Aku memang menumpang di rumah kecil ini, tapi tidak gratis seperti yang selalu mereka ucapkan. Ada tenagaku di rumah ini. Jika saja tidak malu untuk kembali pulang ke kampung halaman, mungkin hari ini aku dan Fito sudah tidak ada di sini lagi.

Aku tak ingin membuat orang tuaku tahu kesusahan anaknya di sini. Aku tak ingin menjadi beban pikiran mereka nantinya.

Tanpa memedulikan ucapan mereka, aku menyelesaikan tugasku. Setelah semua beres, tumpukan baju itu pun segera kususun ke dalam lemari masing-masing.

Jam 14.36 WIB, perutku sudah tidak tahan lagi untuk meminta segera diisi. Wajar saja, dari pagi aku belum memakan apa pun selain meminum air putih. Sayur yang ada di meja makan pun hanya tersisa sedikit, cukup untuk satu orang saja. Mereka selalu sengaja menyisakan sedikit, hanya untuk Mas Bo'eng saja. Salahnya, aku selalu mengalah hingga mereka menjadi semena-mena terhadapku.

Sebelum makan, aku mengelap sisa-sisa tumpahan sayur yang ada di atas meja. Menyingkirkan terlebih dahulu piring-piring kotor yang baru saja mereka makan dan tinggalkan begitu saja, lalu mengelapnya. Hanya sepiring nasi putih, segera menambahkan sedikit sambal ke piringku.

Bahkan, ingin menangis pun sudah tak ada lagi asupan air mata. 'Tuhan, sampai kapan aku seperti ini?' gumamku menahan tangis.

Aku hanya bisa menangis dalam diam. Menjerit tanpa mengeluarkan suara. Hal yang amat menyakitkan. Sakit tak berdarah.

Pintu kamar terbuka, Mas Bo'eng keluar, sempat ia melirik ke arahku juga Fito yang masih tertidur di sofa.

"Enak, ya. Kerjanya makan tidur aja kamu," sindirnya. Tangannya sambil menggaruk-garuk perut buncitnya yang sedikit terbuka.

"Ya, ampun, Mas. Aku baru aja makan, setelah seharian jadi pembantu!" umpatku kesal. Ya, aku sudah tidak tahan lagi meluapkan emosiku. Amarah memuncak sampai ke ubun-ubun, bahuku gemetar hebat tak kuat menahan kekesalan yang sedari tadi ditahan.

"Eh, kalau ngomong gak usah sembarangan lu!" Mas Bo'eng terlihat begitu kesal mendengar ucapanku tadi.

Aku diam, tidak ada untungnya berdebat dengan dia. Mas Bo'eng mengambil piring dan menuju meja makan, "Hmm, makanan abis semua? Kalau makan, kira-kira, dong! Mikir gue belum makan!" Mas Bo'eng membanting piring ke atas meja makan. Sontak, piring tersebut terpantul jatuh ke bawah dan pecah.

Fito terbangun dan menangis. Gegas, aku menghampiri Fito meski tangan masih berlumur sambel terasi. Rian dan ibunya pun keluar dari kamar mereka, sementara Mas Bo'eng masih terus memaki sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.

"Ada apa lagi, sih?! Sejak kalian datang, rumah ini gak ada tenangnya sekali!" hardik mertuaku.

"Cup ... cup ... cup, tenang, ya." Aku mencoba menenangkan kembali seperti pagi tadi.

"Perempuan ini kalau makan, gak inget orang sudah makan apa belum!" Terlihat mertuaku juga Rian seperti salah tingkah. Sebab, yang menghabiskan lauk pauk adalah mereka berdua.

"Ya, ampun, July! Kalau makan inget suami, dong! Rakus banget, sih, jadi perempuan." Mertuaku berjalan ke dapur, membuatkan telur mata sapi untuk suamiku. Seolah aku yang tidak tahu diri, seolah hanya dialah yang memikirkan Bo'eng.

"Cukup! Aku yang masak aja, gak kebagian sayur! Tanya Ibu dan adikmu itu, ke mana sayur itu berpindah!" Aku mencoba melawan, tapi tamparan dari suamiku, melayang ke pipi ini seperti biasa.

"Perempuan gak tau diri, pake nuduh-nuduh kita lagi," timpal Rian, setelah itu ia masuk ke kamar.

"Pungutin, tuh, nasi! Awas, pecahan piringnya jangan sampe tersisa!" Mas Bo'eng berlalu begitu saja.

"Makanya, Bo'eng. Lain kali itu, nurut apa kata orang tua!" teriak mertuaku dari dapur.

Pecahan piring sedikit menggores jariku, darah mengalir pun tak terasa sakit. Ya, karena hatiku lebih merasakan perih hingga menyamarkan rasa yang sebenarnya. Fito mulai mereda tangisnya, ia terus saja memperhatikan tetesan darah segar ini.

Aku tak bisa apa-apa selain bertahan, kampung halamanku begitu jauh. Jangankan berharap mempunyai ongkos pulang, untuk membeli kecap seribuan pun aku tak mampu. Hampir dua tahun aku tinggal di neraka ini, selama itu juga aku memendam kepedihan seorang diri.

Setelah selesai membersihkan tumpahan nasi dan pecahan piring, aku kembali ke rutinitas lainnya. Mengangkat air untuk mandi kami, di sumur belakang kontrakan ini. Jaraknya hanya 20 langkah saja dari rumah, sementara Fito bermain di teras tetangga seperti biasanya.

Mas Bo'eng dan ibunya asik mengobrol di meja makan. Bukankah yang seharusnya menemani makan adalah istrinya? Ya, tugas istri selalu diambil alih oleh mertuaku, kecuali tugas yang satu itu.

Ketika jatah tidak diberikan, suamiku pasti akan mencari gara-gara denganku. Namun, ketika hasrat telah tersalurkan, sikapnya manis dan perhatian padaku. Meski hanya bertahan dalam hitungan jam saja, setelahnya kembali ke tabiat aslinya.

Entah sudah ember ke berapa, aku mulai merasakan lelah di sekujur tubuhku. Setelah cukup penuh, aku beristirahat sebentar di teras tetangga. Lelah jangan ditanya lagi. Badan kurus dan tak terawat, itulah gambaran diriku.

"Sudah penuh bak mandinya?" tanya Erna, tetanggaku sekaligus seperti saudara. Satu-satunya yang peduli padaku juga Fito.

"Sudah. Cukuplah untuk mandi dan keperluan nanti malam, jika Fito buang air besar," jawabku dengan meluruskan kaki sambil berselonjoran. Tangan tak henti-hentinya memijit kaki, Erna menggelengkan kepala melihat tingkahku yang begitu miris.