Chapter 4 - Azam

Erna melihatku begitu iba, dia sering menasehati untuk tinggal terpisah dari mertuaku. Namun, kendalanya adalah Mas Bo'eng yang belum bekerja. Bagaimana mungkin tinggal terpisah? Sedangkan membeli beras saja kami tidak mampu.

Aku menghela napas secara kasar, "Mas Bo'eng aja belum kerja, gimana mau ngontrak," jawabku apa adanya.

"Suruh dia kerja, dong. Masa' mau seperti ini terus? Aku kasihan sama kamu, Jul." Setelah 10 menit kupakai untuk istirahat, aku pamit untuk menyiapkan makan malam mereka.

Lumayan cukup mengistirahatkan dengan merebahkan tubuh di teras Erna, betapa enaknya tiduran seperti ini. "Belum dapet kerjaan, Er," jawabku lagi, "aku pulang dulu, ya."

Rumah Erna persis di belakang rumah kontrakan kami, hanya berjarak beberapa langkah saja. Ketika sampai di pintu dapur, ternyata mertuaku ada di sana, tangannya dilipat seperti sedang mengintrogasi.

"Udah gosipnya?" celetuk mertuaku. Tentu saja aku terkejut.

Menutup pintu dan berusaha tidak termakan emosi, sudah lelah siapa pun akan cepat terbakar amarah. "Abis ambil air tadi, Mi."

"Halah, palingan juga gosipin Mami!" tuduhnya.

"Sumpah, gak gosipin siapa-siapa." Aku mulai memanas, sembari menggendong Fito aku beranjak mendekat ke tempat Mas Bo'eng.

Di ruang tamu, suamiku terlihat begitu santai menikmati cemilan sambil bermain game di ponselnya. Aku mendekatinya untuk meminta tolong agar menjaga Fito barang sejenak.

"Mas, titip Fino bentar, ya," ujarku seraya menurunkan Fito dari gendongan. Sekejap dia malah menangis, tidak mau ditaruh.

"Apaan, sih? Gak liat orang lagi main? Lagian anak cengeng begini, bikin orang males aja!" Tanpa sengaja, cemilan dan kopi Mas Bo'eng tersandung kaki Fito, menyebabkan karpet ruang tamu itu menjadi kotor.

"Aduh! Woy! Kopi sama cemilan jadi tumpah, kan!" Mas Bo'eng memukul kaki Fito, buru-buru aku mengangkatnya kembali. Fito terkejut dan menangis kembali.

"Aku mau mandi, Mas! Tolong bantu jaga! Aku capek dengan semua ini!" teriakku seperti sedang kesurupan. Baru kali ini aku meluapkan segala beban. Mertuaku, Rian, dan juga Mas Bo'eng hanya terdiam meski detik kemudian mereka malah balik meneriaki.

"Kalau capek, pergi aja! Bawa, tuh, anak sekalian!" bentak Mas Bo'eng. Kakinya menendang piring cemilan.

"Dasar perempuan gak tau diri, pake bilang capek segala! Sudah bagus makan tidur gratis di sini!" Mertuaku ikut menimpali. Selalu itu saja yang dibahas. Apakah tenagaku tidak ada harganya?

"Makan tidur gratis?! Apa kalian pernah mikir? Baju yang kalian pakai memangnya bisa bersih sendiri? Bisa licin sendiri tanpa ada yang menyetrika? Sayur yang kalian makan, apa bisa matang dengan sendirinya? Huh?!" Aku sudah lupa siapa yang sedang kuajak bicara. Rian dan Mas Bo'eng mendekatiku.

"Kurang ajar lu, ya! Berani-beraninya bicara kasar sama Mami!" Untuk kesekian kalinya, Mas Bo'eng menamparku. Aku hanya bisa menangis juga Fito yang semakin menjadi. Sementara Rian, menjambak rambutku seperti biasa. Kurang ajar memang, mereka selalu seperti itu. Pernah ingin melaporkan mereka ke kantor polisi, belum juga kaki ini sampai, mereka mengancamku jika sampai polisi datang ke sini, Fito akan diambil oleh mereka.

Aku menyesal telah melawan mertuaku tadi. Harusnya, anak kecil ini, tidak boleh melihat kami bertengkar seperti ini. Harusnya, aku bisa lebih menahan diri lagi. Akan tetapi, hatiku tidak dapat menahan sakitnya.

"Wah, kurang ajar bener, nih. Sudah berani bentak-bentak Mami!" Kali ini, Rian menambahkan bensin dalam kobaran api.

"Menantu kurang ajar! Kalau memang gak betah, pergi aja yang jauh!" Mertuaku menjambak rambut ini, hingga tubuhku jatuh bersama Fito. Belum hilang jambakan dari Rian, mertuaku kembali berulah.

Melihat anak dan istrinya terjatuh, Mas Bo'eng hanya diam saja. Mereka bertiga belum puas, Rian membongkar baju-baju kami dari dalam lemari dan melemparkannya ke wajahku.

"Nih! Bawa harta lu sana!" ucapnya sambil melempar pakaian-pakaian itu. Aku menatap Mas Bo'eng, berharap ia membelaku. Namun, ia malah masuk ke dalam kamar dan menutupnya. Sakit sekali rasanya.

"Tunggu apa lagi?!" Bentakan mertuaku membuat Fito semakin menjerit ketakutan.

Bagaimana ini? Aku harus ke mana? Hari sudah mulai gelap, tidak mungkin jika kami tidur di pom bensin. Akhirnya, aku merapikan pakaian yang tercecer di lantai, dan memasukkannya ke dalam plastik besar.

'Sakit hatiku akan terbayar nanti!' ucapku dalam hati. Menangis sepuasnya. Haruskah aku bahagia? Karena bisa pergi dari rumah ini, ataukah harus mengemis kembali?

Saat kaki ini hampir sampai ke pagar depan, Azam dan istrinya datang secara kebetulan. Mereka sengaja datang untuk menjemput mertuaku. Hari ini adalah hari pernikahan mereka yang kedua.

"Loh, mau ke mana, Mbak?" tanya Azam saat melihatku membawa plastik besar sambil menangis. Mata begitu sembab oleh air mata. Bahkan, pandanganku mengabur, tak dapat melihat dengan jelas wajah Azam dan istrinya.

"Ada apa ini?" tanyanya kembali. Aku hanya diam dan terus menangis. Air mataku serasa tidak dapat berhenti mengalir. Tanganku ditahan oleh Azam, ketika hendak keluar pagar.

Pipiku terasa lengket oleh air mata yang mengering, jantungku bergemuruh saat tangan Azam menyentuh tanganku. Ada rasa malu menjalar perlahan, dalam keadaan miris seperti ini, harus dilihat oleh iparku. Menyedihkan memang.

Entah kenapa, aku kembali merasakan cinta yang tulus darinya. Aku semakin terisak saat tangan Azam mempererat cengkraman tanganku, saat kaki ini memaksakan untuk melangkah lagi. Aku hanya tertunduk malu, harga diriku sudah hancur entah sejak kapan.

"Hey, kalian sudah sampai, ya?" sapa mertuaku tanpa menjawab pertanyaan dari Azam. Ia menyambut Lisa dengan senyum semanis mungkin. Aku tahu, senyum itu tersimpan kepalsuan di dalamnya. Kadang juga ia sering membicarakan Lisa di depan teman-temannya.

Lisa dan aku seperti terdapat jarak. Hanya Azam yang benar-benar manusia sejati, tidak seperti mereka yang setengah iblis. Lisa sangat jelas memperlihatkan kecemburuannya terhadapku. Ya, aku memang sempat dekat dengan Azam, jauh sebelum aku menjadi kakak iparnya.

Azam adalah laki-laki sejati terbaik yang pernah aku temui, sifatnya yang selalu mengalah dan penyayang, menjadi hal sulit untuk dilupakan. Mungkin ini adalah balasan Tuhan untukku. Menyia-nyiakan laki-laki terbaik demi seorang b*jing*n.

Lisa amat beruntung mendapatkan suami seperti Azam. Tampan, perhatian, penyayang, dan juga setia. Ah, kenapa aku jadi terlena kembali oleh kenanganku sendiri?

Tangan Azam ditepis oleh Lisa, aku tahu ia marah padaku. Siapa pun pasti akan marah dan cemburu, apalagi tahu jika aku adalah mantan dari suaminya.

"Apa-apaan, sih, kamu?!" Azam membentak Lisa.

"Kamu yang kenapa!" Lisa menendang plastik yang berisi baju-baju aku dan Fito. Posisiku serba salah, untuk menoleh pun aku tidak ada keberanian lagi. Bagaikan maling yang tertangkap basah oleh penghuni rumah, itulah yang kurasakan saat ini.

Dari dalam, Mas Bo'eng terus saja mengumpat secara kasar. Azam menggendong Fito, anak itu pun menurut saja dan tidak ada penolakan sama sekali. Bahkan, digendong sama ayahnya pun, ia menolak dan lebih memilih menangis.

(Bersambung)