PLAK!
PLAK!
Dua tamparan keras mendarat mulus di kedua pipi Lennart. Telapak tangan Andrea membekas disana, membuat wajah anak SMA berpenampilan urak-urakan dan kumuh itu merah. Sedikit ia meringis, cukup gengsi dan malu untuk menunjukkan ngilu yang dirasakannya saat ini.
Sudah tak terhitung berapa kali Andrea harus menampar Lennart seperti ini. Gadis itu sejatinya bahkan tidak suka bermain fisik dan kekerasan, ia gadis yang lemah lembut.
Uangnya yang terkuras setengah untuk membayar ganti rugi atas kelakuan Lennart juga bukan menjadi alasan Andrea harus main tangan sekali lagi. Ada alasan lain yang lebih membuatnya marah dari itu.
"Matamu masih lengkap, bukan?" Andrea mendorong-dorong bahu Lennart sampai anak itu terpojok ke tembok tanpa perlawanan. "Seharusnya kau urusi Ibu, memberitahuku bahwa Ibu sakit sejak seminggu lalu, bukan malah berbuat onar!"
"Apa yang salah dengan kepalamu yang batu ini, hah?!" lanjut Andrea menyentak. "Kau benar-benar tahu diuntung, Lennart! Ibu bekerja, aku bekerja, sementara dirimu?"
"Apa?" Lennart menatap Andrea menantang. "Apa yang ingin kau katakan? Aku hanya menghabiskan uangmu dan Ibu? Ya, memang benar seperti itu, karena aku benci keluarga ini!"
PLAKK!
"Andrea!"
DRRRK!
BRUK!
"Ah..."
"Andrea! Lennart! Hentikan!" seru Marina, ibu dari kedua anak itu. Langkahnya tertatih membantu Andrea yang terseungkur di dekat lemari hias usai Lennart mendorongnya sampai terjatuh.
"Minta maaf pada kakakmu, Lennart!"
Lennart tersenyum miring, "Kau selalu membelanya, Ibu. Apa kau tidak lihat? Dia bahkan menamparku tiga kali!"
"Kau tetap salah lebih besar," jawab Marina tenang, tepatnya lemas karena sakitnya yang belum kunjung sembuh. Andrea lantas memapahnya duduk di sofa, "Lebih baik kau pergi dari pada Ibu semakin sakit melihat wajahmu."
"Andre..."
BRAKK!
Lennart meraih tas nya kasar, berjalan keluar dan membanting pintu. Entah kemana anak itu pergi, yang Andrea khawatirkan adalah dimana lagi ia akan berulah selanjutnya?
"Jangan terlalu keras padanya, Andre... hukk!"
Andrea lekas mencari air minum. Ibunya itu mengidap penyakit paru-paru dengan batuk menahun, tak kunjung sembuh sepenuhnya meski telah membaik beberapa kali. Pengobatannya telah ditanggung penuh oleh asuransi, tetapi mungkin kondisi tubuhnya yang sudah renta membuatnya tidak cukup berobat sekali.
"Minumlah dulu, Ibu."
Marina mengangguk, menerima segelas air mineral hangat dari Andrea secukupnya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku jika kau sakit, Bu? Kau bahkan tahu Lennart tidak mungkin bisa mengurusmu," ujar Andrea, duduk di sebelah ibunya, menggenggam tangan yang mulai keriput itu erat.
Marina menghela, terlihat berat, "Ibu tidak ingin mengganggumu. Ibu tahu kau sedang sibuk mencari pekerjaan di Gothenburg. Pulang kesini juga tidak murah biayanya"
"Tapi tetap saja, aku ini anakmu. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padamu? Uang bahkan tidak ada harganya lagi jika aku terlambat menolongmu, Bu," bantah Andrea, lanjut mengomeli ibunya yang terkesan selalu berusaha mampu padahal sebenarnya tidak.
Marina mengangguk, merangkul anak perempuannya itu sayang, "Terima kasih, Andrea. Tapi sungguh, aku baik-baik saja."
"Ya, kau nampaknya baik-baik saja. Tapi bisakah Ibu marah sekali saja ketika anak itu berbuat ulah? Aku bahkan tidak bisa membayangkan betapa ngilunya memiliki anak berkelakuan seperti Lennart."
"Siapa yang tidak marah dan jengkel, Andrea? Ibu sungguh kesal, ingin marah, tapi rasanya sudah puluhan kali aku memarahinya. Tapi kau lihat sendiri? Ia malah semakin membangkang. Jadi sekarang..." Marina menghela nafasnya berat, "Ibu ingin membiarkannya saja. Barangkali dia ingin mencari jati dirinya sendiri, entah dimana dan bagaimana."
"Jati diri ya?" Andrea geleng-geleng kepala, "Jati diri sebagai penjahat maksudnya? Jalan yang dipilihnya sudah terlalu buruk di awal, Bu."
"Kau tidak bisa menghakiminya, Andrea. Ibu percaya, suatu saat dia akan berubah. Ibu juga yakin bahwa selama ini dia paham bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang buruk. Pasti ada alasan... perihal kenapa dia tetap melakukannya."
"Mari kita tunggu dan saksikan saja, Andrea."
****
Visby, Gotland
19 Maret 2058
11.23 PM CEST
Andrea menurunkan bahunya kecewa setelah membaca surat balasan dari dua studio tempatnya mendaftar pekerjaan beberapa minggu lalu. Sudah lama sekali ditunggu, dan hasilnya ia ditolak bersamaan. Sedih sekali rasanya, padahal ia sudah memberikan portfolio karya-karya terbaiknya. Tapi setidaknya kedua studio itu mencantumkan alasan mengapa mereka menolak lamaran Andrea sebagai kontributor tetap: aliran lukisan yang tidak sesuai dengan arus utama pasar dan fokus mereka.
Ah, lagi-lagi perihal genre, aliran lukisan. Terhitung ini adalah kali keenam Andrea ditolak karena aliran lukisannya yang cukup antimainstream. Namun, Andrea sendiri tidak memungkiri bahwa tren pasar seni lukis dua sampai lima tahun terakhir cenderung berpusat pada aliran realisme, pop, dan kontemporer. Andrea memahami selera pasar yang seperti itu, tapi di sisi lain ia sulit melepaskan idealismenya untuk menjadi seorang spesialis lukisan surealisme profesional.
Itu adalah mimpinya sejak dulu.
Mimpinya yang dibangun dan diarahkan oleh mendiang sang ayah yang juga seorang pelukis aliran surealisme populer: Johan Stenstorm.
Sejauh ini, Andrea merasa jalan untuk mewujudkan cita-cita itu sudah cukup sulit. Membuat lukisan surealisme berkualitas tinggi memang tidak terlalu sulit untuknya yang telah melukis belasan tahun. Namun, bagi Andrea hal tersulit dalam industri kreatif adalah perihal pengakuan dari orang lain, dalam hal ini adalah jumlah penggemar, pembeli, dan popularitasnya secara umum.
Era karir Johan dan Andrea berbeda. Ayahnya dulu sangat bersinar karena arus utama pasar sedang menyukai lukisan-lukisan beraliran abstrak dan surealisme yang menantang persepsi para penikmatnya. Apreasi terhadap karya seni dan filosofi juga sedang tinggi-tingginya, bahkan karya seni menjadi aset bernilai tinggi yang mampu mendongkrak perekonomian negara pascakrisis.
"Hahhh..."
"Sudahlah, Andrea. Cari jalan lain," ujarnya menyemangati diri sendiri. Andrea tidak bisa menyerah, karena ia masih butuh uang dan sumber penghidupan dari karya-karya dan bakatnya.
Gadis itu membuka laman pencarian baru, memasukkan alamat studio online rinitisannya. Studio online itu berisi seluruh dokumentasi karya-karyanya. Andrea sengaja memamerkannya secara online terlebih dahulu, berharap seorang calon pembeli akan menghubungi lewat alamat surat elektronik atau fitur percakapan langsung yang ia cantumkan disana.
Lalu kali ini sepertinya ia mendapat sedikit keberuntungan.
[Fitur Percakapan Langsung]
(Pengunjung 177; 18 Maret; 03.34 PM CEST)
Selamat siang, Andrea Stenstorm
Perkenalkan, aku Mark Odhner
Aku menyukai beberapa lukisanmu dan berniat membelinya
Bisakah kita bertemu untuk berdiskusi tentang harganya?
Aku merekomendasikannya lusa jam sembilan pagi di Gothenberg
Hubungi aku di 0304-2616101