"Oh... hai, Svard. Lama tidak melihatmu di kastil ini."
Svard tak merespon, menatap dingin wanita itu seraya melipat tangannya di depan dada. Namun, wanita lewat paruh baya dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih itu tampak tidak terintimidasi sama sekali. Malah lanjut saja ia melangkah, melewati Svard menuju kursi dan meja di sisi kiri ruangan, duduk bersantai sembari memeriksa barang-barang yang sedari tadi dibawanya, bersikap seolah dirinyalah pemilik ruangan itu.
"Apa yang kau lakukan dengan datang kesini?" tanya Svard, sedikit menoleh pada orang yang diajaknya bicara.
"Tentu saja aku ingin mengunjungimu, berbisnis, dan berbelanja. Mereka baru saja menugaskanku kembali setelah sekian lama," jawab wanita itu, mencoba mengenakan gelang berlian yang baru saja dibelinya entah dari mana.
Svard menghela, "Apa lagi rencana mereka? Untuk apa juga kau datang lagi kesini?"
"Mungkin... aku akan membantumu. Benar-benar membantumu kali ini?" ujarnya, tersenyum misterius pada Svard yang bahkan tidak tertarik untuk penasaran sedikitpun. "Kami para Seraph dan Sylph sungguh peduli padamu, Svard."
Svard tersenyum miring, melangkah mendekat ke lubang dinding besar bercahaya violet di depannya, berbelok sedikit, berhenti di depan sebuah deret panjang lukisan. "Gelar kalian memang terkesan baik dan cerah sekali: "Seraph" dan "Sylph", setara malaikat dan bidadari. Tapi apa yang kalian lakukan sangat sebaliknya. Kalian hanya mempersulitku selama ini."
"Kami tidak menyulitkanmu. Itu hanya takdir yang belum merestuimu bertemu dengannya," bantah wanita itu.
"Persetan dengan takdir. Aku membencinya."
"Maka Dia akan lebih membencimu lagi jika kau membencinya."
Svard menghela nafasnya berat, malas menimpali ucapan menyebalkan wanita itu. Tangannya lantas tergerak, menyentuh lukisan dengan potret seorang gadis muda yang tersenyum di atas kanvas. Gadis dalam lukisan itu terlihat sangat nyata, persis potret asli paras dan penampilannya yang dilihat Svard ratusan tahun lalu.
Oh, tidak hanya parasnya yang sama, tetapi juga dengan emosinya ketika melihat wajah anggun gadis itu. "Jika Dia memang membenciku, kenapa Dia tidak membunuhku saja?"
"Dia hanya Maha Kejam, tidak pantas disebut Yang Maha Pengasih dan Pengampun," lanjut Svard, berbicara dari relung hatinya yang terdalam.
Bagi Svard, sesuatu yang disebut oleh para manusia, Seraph, atau Sylph sebagai takdir, pun yang turut melekat pada jiwanya selama ini hanyalah karma dan kutukan, tidak memberikan kebaikan apapun di dalamnya. Svard hanya hidup penuh derita dan kesedihan berkepanjangan tanpa akhir atas dosa-dosanya yang mungkin tidak akan pernah diampuni oleh Dia, yang diagung-agungkan di seluruh semesta.
"Mungkin itulah salah satu bentuk kasih sayang-Nya yang tersisa untukmu, Svard." Wanita tadi mendekat pada Svard, turut memperhatikan seksama sosok gadis dalam lukisan bergaya realisme yang dilukis sendiri oleh Svard itu. "Mengapa kau terus melukisnya? Bukankah satu yang asli dan pertama ini saja cukup?"
"Agar aku tidak melupakan wajahnya."
Wanita itu terdiam, mengerutkan dahinya penuh tanda tanya.
"Setiap tahun, aku selalu menemukan minimal seseorang yang mirip dengannya..." Svard menunjuk puluhan lukisan gadis yang sama dengan atribut pakaian dan aksesoris berbeda dari ujung kanan sampai ke ujung kiri. "Namun tidak satu pun dari mereka adalah gadis itu."
Wanita itu mengerutkan dahi, "Terkadang aku tidak mengerti, bagaimana kau bisa merasakan bahwa gadis-gadis dalam lukisan ini adalah gadis itu atau bukan. Bagaimana caranya? Aku justru khawatir bahwa kau telah melewatkan seseorang yang nyatanya benar-benar gadis itu, jika dinilai dari parasnya saja."
"Ketika Dia menurunkan karma itu, Dia mengatakan bahwa aku tidak akan mudah menemukannya. Ketika gadis itu muncul, aku mungkin akan merasakan sakit yang luar biasa, dan sejauh ini..." Svard menggeleng lelah, "Aku tidak merasakan hal-hal itu dari mereka yang kutemui selama ini."
"Hanya itu saja? Rasa sakit?"
"Tidak juga. Aku pikir... aku memang sangat mengenali emosiku sendiri. Ketika aku melihat salah satu dari mereka," ujarnya, kembali menunjuk lukisan-lukisan di depan, "Hatiku seketika berpaling, meyakini penuh bahwa mereka bukan orang yang kucari..."
"Gadis-gadis ini seolah hanya meminjam wajah dan tubuh gadis itu, memerangkap jiwa mereka yang berbeda di dalamnya."
Wanita itu hanya geleng-geleng kepala, "Ini bahkan terdengar sangat rumit bagiku. Miliaran orang hidup dan mati di dunia ini. Bagaimana caranya kau akan menemukannya? Dunia buatanmu bahkan tak kunjung berhasil menemukannya."
"Ya, maka kukatakan tadi, Dia memang sangat membenciku, Sera," ujar Svard pada kesimpulannya yang sama. Wanita bernama Sera itu tak bisa lagi berkomentar. Cerita perjalanan hidup abadi Svard bahkan turut membebaninya.
"Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Apakah kau akan menyerah saja dan hidup di dunia ini selamanya?"
"Sepertinya tidak. Aku masih menginginkan kematian itu."
"Dimana lagi kau akan mencari gadis itu?"
Svard menghela, menatap tajam nan lurus cahaya violet di lubang dinding itu kembali. "Aku akan memperbesar skala penjelajahan LUBEL..."
"Mungkin kau benar,bawa selama ini aku melewatkan seseorang di salah satu atau lebih zaman yang kulewati."
Sera mengangguk, "Ya, lakukan saja apa yang menurutmu benar. Tapi ngomong-ngomong, Festival Tahunan Yaimore akan kembali diadakan lusa. Apakah kau akan datang? Barangkali..."
"Gadis itu juga ada disana."
****
Visby, Gotland
18 Maret 2058
08.30 AM CEST
Andrea mengepal-ngepalkan tangannya selagi menunggu mesin ATM memproses transaksi pemeriksaan saldo tabungan miliknya. Momen-momen seperti ini kerap kali menjadi yang paling menegangkan bagi Andrea. Penghasilannya yang tidak tetap dan tidak terlalu besar membuat tabungannya juga pas-pasan. Lalu kini, ia harus membayar ganti rugi atas Lennart, adik laki-lakinya yang gemar sekali membuat masalah dengan aparat keamanan.
Orang yang menghubungi Andrea kemarin itu adalah polisi, mengabari bahwa adiknya itu terlibat perkelahian dan pencurian di sebuah minimarket di Visby.
Astaga, Andrea ingin menghilang saja rasanya, tidak perlu susah-susah bertanggung jawab untuk adiknya yang tidak tahu diuntung. Tapi apa boleh buat? Bersikap tidak peduli hanya akan menyulitkan ibunya yang sedang sakit dan tidak bekerja.
Selama ini Andrea telah menjadi tulang punggung keluarga sebisanya. Meski pekerjaannya bisa dikatakan serabutan, setidaknya Andrea masih mampu membayar kebutuhan dasar ibu dan adiknya. Namun, untuk pengeluaran denda seperti ini tentu saja diluar perencanaannya.
[Saldo dalam tabungan: 32000 SEK]
Andrea menghela nafasnya berat, "Ya Tuhan, ini akan menghabiskan setengahnya," keluhnya frustasi. Denda dari kepolisian yang ditagihkan padanya adalah sebesar 12000 SEK (Swedish Krona).
"Kau benar-benar kurang ajar, Lennart!" umpat Andrea, seraya berat tangannya itu memilih opsi transfer menuju rekening kepolisian. Dalam hati ia sudah menangis, karena uang yang disisihkannya dari hasil penjualan empat lukisannya selama dua bulan terakhir harus raib sia-sia tanpa bekas selain bocah itu yang mungkin akan kembali berulah.
DRING!
[Transaksi sukses]
[Terima kasih]
Andrea menurunkan bahunya lesu seiring dirinya yang melangkah keluar mesin ATM, "Harus kuapakan lagi dirimu, Lennart. Aku lelah menjadi kakakmu."