"Tapi, kamu jangan sedih. Besok dia akan datang lagi tapi kali ini bersama kedua orangtuanya." Jawab Batari kemudian yang dibalas Erlangga dengan sorot mata melotot tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Mami! Apa mami tidak bosan menjodohkan aku dengan perempuan ini dan itu? Aku sudah besar, mam. Aku bisa mencari calon istriku sendiri." Jawab Erl sambil melepas lelah duduk di sofa single milik orangtuanya.
"Kalau kamu memang bisa mencari calon istri sendiri, kenapa sampai sekarang tidak ada satupun yang dikenalkan ke mami papi?" Sang kepala keluarga turun dari anak tangga dan menyambut kedatangan sang anak dengan suaranya yang menggema.
"Papi," Erl langsung menghampiri papinya yang merupakan pensiunan tentara juga. Mereka sekeluarga memang turun temurun berasal dari keluarga tentara, kecuali adiknya yang menjadi seorang polisi, Rangga Pradipta.
"Usia kamu tidak muda lagi. Menjadi tentara dan fokus dengan karir kamu itu bagus. Tapi, lebih bagus lagi kamu memikirkan masa depan kamu. Memangnya kamu tidak iri melihat adik kamu sudah punya tunangan dan teman-teman kamu sudah menimang anak?" Ujar papinya, Eko Pradipta.
"Pi, teman-temanku bukan tentara jadi mereka bisa menikah kapanpun tanpa syarat khusus." Elak Erl.
"Ah kamu dari dulu selalu pintar ngeles. Pokoknya besok kamu harus cepat sampai rumah pulang kerja. Mami tidak mau tahu." Ucap Batari. "Kamu pasti belum makan kan? Ayo mami temani makan malam." Ujar wanita yang usianya hampir separuh abad itu tapi masih tetap cantik dan anggun.
"Tidak usah mi, aku bisa makan sendiri. Kalau aku makan sama mami, bisa-bisa aku keselek nanti." Jawab Erlangga sambil ngeloyor pergi.
"Ih dasar ya anak itu. Semakin lama semakin bikin darah tinggi. Huh!" Batari meninggalkan suaminya yang masing menggeleng-gelengkan kepala.
-----
"Malam sekali kamu pulangnya, nak." Ibu datang membuka pintu untuk anak gadisnya yang baru pulang kerja. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Wajar saja Dewi, ibu dari Gendhis, merasa khawatir takut terjadi sesuatu pada anaknya.
"Banyak kerjaan di kantor bu. Dan, tadi juga susah sekali dapetin kendaraannya." Jawab Gendhis setelah mengucapkan Assalammualaikum lalu masuk ke dalam rumah.
"Bimo dan Arkha kemana bu?" Rumah yang tampak sepi membuat Gendhis merasa ada yang kurang.
"Bimo seperti biasa kerja sambilan di kafe. Arkha ijin mengerjakan tugas kelompok dengan teman-temannya di rumah salah seorang temannya." Ucap Dewi.
"Oh, ya sudah aku mau langsung mandi saja ya bu. Ibu juga jangan menjahit sampai malam." Ucap Gendhis.
"Ini sebentar lagi selesai kok. Ibu harus mengantarkan pesanan baju ini pada pelanggan tetap ibu karena besok mau dipakai katanya." Jawab Dewi. Gendhis menghela napas pasrah. Hasil jahitan ibunya memang sudah terkenal kemana-mana. Berawal dari mulut ke mulut, banyak yang mulai mengenal dan akhirnya melanggan ke ibunya. Itulah yang menjadi modal sang ibu membiayai dia dan dua adiknya bersekolah hingga ke perguruan tinggi.
Gendhis mulai beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai dan berganti baju, Gendhis keluar kamar dan mendapati ibunya sudah selesai menutup mesin jahitnya.
"Ndhis, ibu minta tolong boleh?" Ujar Dewi.
"Ya ibu, mau minta tolong apa?" Jawab Gendhis dengan penuh kelembutan.
"Tolong ibu antarkan baju ini ke pelanggan ibu. Alamatnya ada di dalam kantong plastik ini. Ibu tidak bisa langsung ke alamat ini seorang diri karena ibu tidak tau cara kesana. Mau dikirim lewat kurir pun terlalu lama sampai. Tadi siang ibu terima kabar dari ibu pemilik baju ini kalau dia tidak bisa datang mengambil karena ada keperluan penting." Jawab Dewi.
Gendhis menerima plastik hitam tersebut dan ibunya dan melihat alamat yang ditulis di kertas putih kecil didalamnya. Alamat ini cukup jauh dari rumahnya.
"Aku akan mengantarkan ini pulang kerja besok. Tidak apa-apa kan bu?" Jawab Gendhis.
"Ibu akan telpon ibu pemilik baju ini. Terima kasih ya nak sudah mau menolong ibu." Jawab Dewi.
"Ini tidak seberapa dibandingkan perjuangan ibu membesarkan kami bertiga dan menyekolahkan kami sampai kami menjadi seperti ini." Gendhis tersenyum lembut dan menggenggam tangan keriput dan kasar milik sang ibu akibat terlalu lelah bekerja.
"Ibu beruntung memiliki anak seperti kamu dan adik-adik kamu. Kalian penuh pengertian dan selalu bisa menyenangkan hati kami. Andaikan ayah kalian masih hidup, kalian …"
"Sudahlah bu, jangan pernah diungkit-ungkit lagi. Ayah sudah beristirahat dengan tenang. Gendhis mau makan sedikit dulu sebelum tidur. Ibu langsung istirahat tidur biar tidak sakit." Jawab Gendhis.
"Iya nak, makan yang banyak, jangan diet-diet. Ibu tidak ingin kamu sakit juga." Dewi meremas lembut genggaman tangan anaknya dan perlahan pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Gendhis menuju meja makan dan membuka tudung penutup makanan. Tanpa mengeluh dan berpikir panjang, perempuan cantik dan sederhana itu langsung mengambil nasi dan lauk pauk yang ada dan mulai lahap makan. Perutnya sudah keroncongan sejak pulang kerja tadi. Keinginannya untuk mampir makan di restoran cepat saji diurungkannya karena hari sudah malam dan dia pun sudah ingin cepat-cepat pulang karena lelah.
-----
"Gendhis, hari ini pulang kerja kita nonton ke bioskop yuk." Wahyu, salah seorang rekan kerja Gendhis di kantor, yang sudah tersebar luas beritanya kalau dia menyukai Gendhis, mengajak perempuan yang hari ini menggerai rambut panjang setengah ikalnya dengan kemeja dan celana panjang warna navy senada itu untuk sekedar nonton film bersama.
"Maaf Wahyu, aku ada urusan lain sepulang kerja jadi aku tidak bisa." Jawab Gendhis dengan senyum lembut.
"Kamu mau kemana? Aku akan antarkan. Nanti sekalian aku antarkan pulang." Jawab pemuda Sunda tersebut.
"Tidak, aku bisa pergi sendiri." Wahyu menghela napas mendapati dirinya ditolak Gendhis untuk kesekian kalinya.
"Kamu … kenapa selalu menghindari aku? Apa karena gossip murahan itu?" Gendhis yang sedang memegang pulpen sontak mendongakkan kepalanya ke arah pria yang masih berdiri di samping mejanya.
"Kenapa? Menghindari kamu? Gosip murahan apa?" Gendhis bertanya balik.
"Gosip yang berkata kalau aku suka kamu." Jawab Wahyu. Beberapa teman mereka yang berada di dekat meja Gendhis tersenyum diam-diam. Gendhis bisa merasakan tatapan semua teman-temannya yang malu-malu.
"Wahyu, ikut aku sebentar." Perempuan itu pun menarik tangan Wahyu dan membawanya ke pantry untuk sejenak berbicara.
"Kamu bicara apa sih? Kamu tidak malu semua orang disana mendengarkan apa yang kamu ucapkan?" Perempuan cantik itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tidak peduli. Mereka bisa berkata apa saja sesuka mereka, begitu juga aku."
"Tapi ini menyangkut denganku juga. Sudahlah, aku memang ada urusan penting sepulang kerja, bukannya menghindari kamu. Paham?"
"Urusan penting apa kalau boleh tahu?"