"Bagaimana istriku, apakah kamu bersedia untuk menjadi pendampingku sampai akhir kelak dan menjadi ibu dari anak-anakku?" Erlangga mendekatkan dirinya pada sang perempuan yang jarak diantara mereka hanya terpisah sejengkal sepatu saja.
"Kamu tahu? Kita belum menikah tapi kamu terlalu banyak menuntut. Sepertinya, aku akan berpikir 1000 kali kalau aku harus menerima lamaranmu." Aura dingin itu kembali muncul dalam diri Gendhis.
"Sepertinya aku banyak bicara malam ini. Maafkan aku. Kalau begitu, aku permisi pulang dulu. Mengenai besok …"
"Ada apa dengan besok?" Gendhis mengeluarkan pertanyaan dengan nada mengetes lawan bicara.
"Aku sudah berjanji pada ibumu kalau aku akan membawa kedua orangtuaku besok. Tapi, aku belum memberitahukan kedua orangtuaku. Kalau kamu … tidak bersedia, tolong katakan sekarang juga." Erlangga benar-benar takluk dibuatnya. Aura yang keluar dari diri Gendhis sanggup membuat pak tentara ini kehabisan kata-kata.
"Aku bersedia menikah denganmu, asalkan kamu mau memenuhi semua syarat yang aku ajukan. Dan, maaf … aku tidak suka dengan lelaki bawel." Erlangga langsung mengatupkan bibirnya.
"Benar-benar bukan perempuan yang bisa dianggap enteng. Tapi, aku suka. Hehehe," Gendhis mengernyitkan alis melihat mimic wajah pria didepannya yang sedang tersenyum diam-diam.
"Sudah malam, sebaiknya kamu pulang sekarang sebelum satpam perumahan datang dan mereka menyergap kita malam-malam masih berduaan."
"Wah, itu lebih baik lagi. Aku bisa langsung menikah hari ini juga." Jawab Erlangga sambil tertawa lebar.
"Dasar!"
"Sampai jumpa besok. Aku akan datang bersama papi mamiku sekitar jam 7 malam." Jawab Erlangga setelah menghidupkan mesin mobilnya.
"Okay, hati-hati di jalan." Gendhis melambaikan tangan pada pria yang beranjak pergi meninggalkan depan rumahnya.
"Aku akan menikah dengan seorang tentara yang bawel. Huft!"
"Aku akan menikah dengan perempuan yang keras kepala."
Keduanya saling bergumam sendiri.
-----
"Huhuhuhu, tolong berikan aku dan ibuku keadilan. Dia sudah terlalu kejam kepada kami." Seorang perempuan muda sedang membuat laporan sambil menangis tersedu-sedu dengan napasnya tersengal-sengal dihadapan seorang petugas polisi dibagian seksi pengaduan umum.
"Sejak kapan kejadian itu berlangsung?" Tanya seorang petugas yang sedang mencatat kronologis kejadian yang dilaporkan perempuan muda dengan pakaian santai kaos lengan pendek dan rok selutut.
"Dia sudah menyiksa ibuku sangat lama. Tapi ibuku baru berani mengatakannya kemarin. Aku sudah sering memergoki dia bertindak kasar pada ibuku namun ibuku selalu membelanya." Jawab perempuan itu.
Usut punya usut, ternyata perempuan muda itu sedang melaporkan tindakan KDRT yang dilakukan ayah tirinya pada ibu kandungnya saat dia tidak didalam rumah. Ayah tirinya selalu bertindak kasar jika keinginannya tidak dituruti. Perempuan bernama lengkap Sandra Puspita itu menceritakan dengan rinci semua yang dialaminya dan juga yang dialami ibunya.
"Sandra, sudah ayo kita pulang. Yang penting ayahmu tidak akan lagi berani macam-macam pada kita." Jawab sang ibu yang turut menemani namun selalu diam sejak tadi.
"Dia bukan ayahku dan aku tidak pernah mengakui dia sebagai ayahku." Jawab perempuan itu dengan nada sinis. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri kalau dia berani macam-macam ke ibu lagi." Lanjutnya. Perempuan itu pun memapah ibunya yang belum terlalu renta namun jejak garis-garis halus sudah bertebaran disekitar wajah dan tangannnya.
"Kenapa itu, Jek?"
"Pelaporan tindakan KDRT, Let." Jawab pria berseragam coklat yang pangkatnya dibawah orang yang bertanya, Angger Pradipta.
"Oh, pelakunya sudah tertangkap?" Tanyanya lagi.
"Buron, Let," Jawab anggota polisi yang memiliki nama panggilan Jek oleh sesame rekan kerjanya. Angger hanya diam sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
"Oya Let, tadi ada bingkisan buah di atas meja abang, Sepertinya kami akan mendapatkan kartu undangan tidak lama lagi. Hehehe," Ujar Jek sambil sedikit menggoda pria yang pangkatnya beberapa tingkat diatasnya.
"Ah kamu itu. Mana aku lihat dulu paketnya. Nanti aku bagikan ke kalian semua … setelah aku mengambil buah kesukaanku." Jawab Angger dengan senyum lebarnya.
"Siap, bang"
Angger berjalan menuju ruangannya dan benar saja. Diatas mejanya terdapat buket buah cantik yang berukuran cukup besar. Diatas buket terdapat kertas kecil berwarna merah muda dalam bentuk hati.
"Maafkan aku, aku tidak bisa datang langsung. Aku harus segera meluncur ke Bandung karena mendadak ada pemotretan disana. Your Love, Wita." Angger tersenyum membacanya. Resiko memiliki kekasih seorang foto model terkenal, benar-benar tidak mudah menyediakan waktu berdua untuk mereka. Angger berniat akan melamar sang kekasih namun Wita meminta untuk menunda hingga tahun depan karena jadwal syutingnya masih cukup padat sampai akhir tahun. Dan, Angger pun menurut saja.
Baru saja dia hendak duduk tiba-tiba dering telpon masuk membuat pria itu mengeluarkan benda elektronik persegi warna hitam itu dari saku celananya.
"Mami?" Gumam Angger bingung. "Assalammuaalaikum, mam. Ada apa?" Angger langsung bertanya pada intinya.
"Ngger, nanti malam kamu pulang tidak?" Suara Batari tampak tergesa-gesa seperti sedang sibuk melakukan sesuatu.
"Sepertinya Angger pulang telat, mam. Ada apa?"
"Nanti malam, mami dan papi mau kerumah pacar mas kamu. Kami akan melamar anak perempuan mereka untuk menjadi istri mas mu." Jawab Batari dengan senyum merekah terlihat jelas oleh Angger meskipun tidak berada dihadapannya.
"APA? Mas Erlangga mau menikah?" Angger kaget bukan main. Karena setahu dia, kakaknya itu selalu menolak semua perempuan yang dikenalkan padanya oleh mami. Perempuan kali ini pasti sangat luar biasa bisa membuat kakaknya bertekuk lutut dan menyerah kalah.
"Kamu biasa saja dong. Tidak usah kaget begitu." Jawab Batari dari ujung telpon.
"Wah, hebat sekali. Siapa perempuan itu mam? Apa dia seorang dokter? Bidan? Pramugari? Atau, seorang guru?" Semua pertanyaan Angger membuat Batari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Semuanya salah. Yang pasti, calon menantu mami itu punya sikap yang luar biasa makanya bisa meluluhkan sifat mas kamu yang dingin dan cuek." Jawab Batari sambil terkekeh.
"Oh, bukan semuanya? Lalu mas Erl kenal dimana?"
"Ah nanti kamu tanya sendiri sama kakak kamu itu. Oya, kalau kamu pulang, mami sudah siapkan makanan. Nanti kamu minta hangatkan saja sama bibi ya. Jadi, kamu jangan mencari mami kalau sampai rumah."
"Iya mam," Angger menjawab pertanyaan sang mami dengan singkat.
"Ya sudah kalau begitu, mami tutup dulu telponnya. Wassalammualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Angger langsung berinisiatif mengirim pesan pada kakaknya yang pasti masih sibuk bekerja di jam sekarang.
"Mas, selamat ya, maaf aku tidak bisa ikut kalian melamar kakak ipar. Semoga lancar sampai pernikahan." Ketik Angger di pesan singkat yang terkirim pada kakaknya. Namun, sayang status pesannya masih centang satu.
-----
"Gendhis, hari ini pulang kerja kita nge-mall yuk," Rina, salah seorang teman Gendhis mendatangi perempuan yang masih sibuk dengan email-email penting yang harus segera dikirim sebelum jam makan siang.
"Okay, eh apa? Nge-mall? Aduh, lain kali saja ya, Rin. Aku ada urusan penting dirumah." Jawab Gendhis tanpa menjelaskan secara detail acaranya.