"Gendhis, hari ini pulang kerja kita nge-mall yuk," Rina, salah seorang teman Gendhis mendatangi perempuan yang masih sibuk dengan email-email penting yang harus segera dikirim sebelum jam makan siang.
"Okay, eh apa? Nge-mall? Aduh, lain kali saja ya, Rin. Aku ada urusan penting dirumah." Jawab Gendhis tanpa menjelaskan secara detail acaranya.
"Acara apa sih? Aku boleh ikutan tidak?"
"Hanya acara keluarga. Bukan acara untuk umum. Hehehe," Gendhis berusaha mengelak sebisa mungkin agar Rina tidak bertanya lebih jauh.
"Ooh, ya sudahlah. Kalau besok, bisa tidak? Aku lagi mau refresing nih. Bosan dirumah terus." Ujar perempuan yang sangat kewanitaan itu.
"Hmm, lihat besok ya. Aku akan telpon kamu nanti malam, bisa tidaknya besok kita jalan." Jawab Gendhis.
"Okay," Rina pun berlalu meninggalkan Gendhis yang langsung menghela napas lega.
Acara pertunangan ini jangan sampai ada yang tahu. Bahkan kalau bisa, ketika dia menikah dengan Erlangga pun, teman-teman sekantornya tidak perlu tahu. Ada sosok Rara yang Gendhis masih merasa enggan untuk membagi kabar bahagia ini. Rara begitu berharap sekali bisa menikah dengan seorang tentara yang merupakan sosok menantu idaman ibunya.
Tiba-tiba telpon Gendhis berdering bertepatan dengan jam makan siang dimulai.
"Halo,"
"Hai, baru mau makan siang ya?" Suara Erlangga terdengar sangat ringan menyapa setelah kejadian semalam.
"Oh, iya. Kamu juga?"
"Iya. Aku … mau ajak kamu makan siang sekarang. Bisa?" Tanya Erlangga tiba-tiba.
"Hah? Oh … bagaimana ya?"
"Kamu takut kalau akan ketahuan teman kamu itu?" Gendhis tidak menyangkalnya. Dia masih belum siap menerima tatapan benci dan sinis Rara, kalau sampai dia mengetahui, pria yang kopi darat dengannya dan telah menolaknya dua kali, justru dekat dengan teman yang diajaknya.
"Kalau begitu, kita bertemu di restoran yang aku share lokasinya sekarang ya. Aku jamin, dia tidak akan ada disana. Bagaimana?"
Gendhis masih ragu-ragu. Seragu-ragu keputusannya apakah benar dia akan menikah dengan pria yang telah menyelamatkan hidupnya. Sementara itu, benih-benih cinta belum tumbuh di hatinya.
"Baiklah, share sekarang lokasinya. Tapi, aku tidak bisa lama-lama. Sebelum jam satu, aku harus sudah sampai kantor." Jawab Gendhis.
"Tidak masalah. Okay, aku tunggu kamu disini."
Sambil menunggu alamat yang akan diberikan Erlangga, Gendhis bersiap-siap untuk segera berangkat. Beruntung Rina tidak ada ditempat. Kemungkinan temannya itu sedang berada di toilet untuk touch up seperti biasa sebelum turun makan siang. Karena perempuan itu pasti akan ikut kemanapun dia pergi kalau sampai melihat Gendhis keluar makan siang sendirian.
Sesampainya Gendhis didalam lift yang akan membawanya turun ke lobi, sebuah pesan singkat masuk dari pria yang akan mentraktirnya makan siang. Gendhis memiringkan dagunya.
"Kalau tempat ini aku tahu arahnya." Gendhis menutup ponselnya dan bergegas meninggalkan gedung kantor untuk segera memanggil taksi yang biasa mangkal di sekitar gedung kantornya.
TIIIN TIIIN …
Baru saja perempuan yang sedang berlari-lari kecil itu akan menuju halte, tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh bunyi klakson mobil dari arah belakang. Gendhis langsung menepi untuk memberi jalan pada mobil yang akan lewat itu. Namun ternyata, kaca pengemudi diturunkan dan terlihatlah seorang pria yang sepertinya Gendhis pernah lihat tapi entah dimana.
"Selamat siang, mba. Saya diutus bang Erlangga untuk menjemput mba." Gendhis baru ingat kalau pria ini yang menemani Erlangga ke pertemuan dengan Rara dan dirinya.
"Oh benarkah? Aku bisa berangkat sendiri kesana." Jawab Gendhis sambil menolak secara halus.
"Kalau mba tidak percaya, mba bisa telpon bang Erl," Jawab pria itu lagi, yang bernama Tio.
Gendhis memang meragukan ucapan pria ini dan benar saja dia langsung menelpon Erlangga.
"Ya sayang, ada apa?"
"Ihh, sayang sayang. Kamu mengirim teman kamu untuk menjemput aku?"
"Iya, Tio akan mengantarkan kamu lebih cepat kesini." Jawab Erlangga dengan suara khas baritonnya.
"Baiklah," Gendhis menutup telponnya dan menghampiri kaca jendela Tio, pria yang dari tadi menunggu Gendhis sambil tersenyum-senyum ramah. Sepertinya pria yang senang tersenyum.
"Bagaimana mba? Apa kata bang Erl?" Tanya Tio.
"Tolong antarkan aku segera kesana. Aku harus cepat kembali sebelum jam makan siang berakhir." Gendhis masuk ke dalam mobil yang merknya paling banyak dimiliki semua orang.
"Siap," Tio langsung menghidupkan mesin mobil dan mereka pun segera melesat meninggalkan gedung menuju restoran dimana Erlangga sudah duduk manis sambil menunggu menu makanan yang sudah diordernya untuk mempersingkat waktu.
Hanya perlu waktu lima belas menit, mobil yang dikemudikan Tio sudah sampai di restoran yang dituju.
"Anda tidak sekalian masuk?" Gendhis terheran-heran karena Tio tidak mematikan mesin mobil dan ikut turun.
"Aku ada urusan penting lainnya, mba. Nanti pulangnya diantara bang Erl ya mba. Selamat makan siang," Tio memberikan kode berupa telapak tangan diarahkan ke dahinya dan ditarik ke depan seperti memberi hormat. Gendhis hanya tersenyum lirih dan mengucapkan terima kasih karena sudah diantar. Gendhis mengikuti petunjuk letak restoran yang dimaksud. Ternyata, dia harus menaiki escalator menuju lantai tiga dan letak restoran itu ada di sudut yang bisa dibilang tidak semua orang bisa makan di tempat ini sebelum memesan tempat jauh-jauh hari sebelumnya. Karena restoran ini buka lebih cepat dan tutup lebih cepat.
Gendhis berjalan mengikuti seorang pelayan yang ketika disebutkan nama Erlangga, pelayan itu pun langsung meminta Gendhis untuk mengikuti langkahnya. Perempuan dengan rambut hitam tergerai indah itu begitu takjub dengan interior restoring yang sangat sejuk dan tenang. Cahaya penerangan sengaja dibuat teduh lebih terkesan romantic sehingga para pengunjung restoran akan merasakan hati yang tenang dan nyaman.
"Aku hanya punya waktu setengah jam sebelum aku pergi lagi." Kalimat pertama yang diucapkan Gendhis begitu bertemu pria yang sudah menunggunya cukup lama itu, membuat pria itu terkekeh. Sepertinya Erlangga sudah terbiasa dengan sikap Gendhis yang terlalu terus terang dan tanpa basa-basi.
"Baiklah tuan putri. Sebentar lagi makanannya akan datang jadi kita bisa langsung makan siang." Jawab Erlangga dengan senyum lebarnya.
"Oh sudah pesan ya? Syukurlah, jadi mempersingkat waktu."
"Tentu saja. Aku kan tahu kalau calon istriku ini waktunya sangat padat."
Tidak berapa lama kemudian, dua porsi nasi dan sop iga juga sate daging sapi dihidangkan. Lengkap dengan dua gelas jus jeruk dan dua botol air mineral. Air liur Gendhis nyaris tumpah di bibirnya dan itu membuat Erlangga tertawa diam-diam. Tanpa membuang waktu lagi, mereka pun segera menyantap makan siang bersama.
"Tidak ada yang ingin kamu katakan padaku?" Setelah sekian lama menunggu ada yang membuka percakapan, akhirnya Erlangga terpaksa yang memulainya.
"Apa yang harus aku katakan" Tanya Gendhis balik.