"Tidak ada yang ingin kamu katakan padaku?" Setelah sekian lama menunggu ada yang membuka percakapan, akhirnya Erlangga terpaksa yang memulainya.
"Apa yang harus aku katakan" Tanya Gendhis balik.
"Memangnya kamu tidak ingin tahu seperti apa sifat kedua orangtuaku, kebiasaanku sehari-hari, dan apa saja makanan favoritku?" Tanya Erlangga sambil menenggak air putih mineral untuk membasahi tenggorokannya.
"Kamu itu suka makan apa saja. Karena seorang tentara bukankah tidak boleh pilah pilih makanan? Sifat papi kamu sangat tegas dan tidak suka basa-basi. Sifat mami kamu ceria dan mudah bergaul. Terus apalagi? Oya, aku belum pernah tahu seperti apa adik kamu. Katanya adik kamu itu seorang polisi ya?"
-----
"MINGGIR! Kalian hanya berani pada perempuan! Apa kalian tidak malu?" Seorang perempuan dengan rambut hitam di kuncir kuda, terpojok di sebuah jalan buntu dan dikelilingi oleh lima orang preman.
"Hah! Tidak tahu malu? Kalian dengar itu? Kami kesini dibayar dan kami akan melakukan pekerjaan dengan sangat rapih tanpa meninggalkan jejak sama sekali." Jawab salah seorang preman.
"Apa maksud kalian? Apa pria sialan itu yang membayar kalian? Kalian sama hinanya dengan dia!" Sandra, nama perempuan itu berkata dengan suara tertahan bersenandung gemeretak gigi.
"Hahahaha, sayang sekali perempuan secantik kamu harus mengalami nasib sial seperti ini. Makanya, jangan main-main dengan Tedi. Dia itu pentolan preman, tahu tidak? Hahaha, sudah! Jangan banyak cakap! Ayo kita perkosa dia bergiliran. Setelah itu kita buang ke kanal." Sandra terkejut mendengar bahwa dirinya sebentar lagi akan jadi korban kejahatan. Pemerkosaan dan dibuang?
"Aku bisa karate tapi kalau harus melawan mereka semuanya, aku tidak sanggup. Dan, aku juga lapar berat dari pagi belum makan sama sekali karena semua uangku habis untuk membayar DP kontrakan aku dan ibu."
"Hahaha, ayo bos! Sudah lama kita tidak 'makan enak'."
"Hahaha," Sorak sorai tertawa licik dan penuh aura iblis menggema di ujung Lorong buntu yang tidak ada satupun orang lewat karena jalanan itu jauh dari jalan raya. Sandra terpojok ke jalan itu setelah tasnya dijambret dan dia mengejar penjambretnya yang ternyata salah satu dari komplotan anak buah Tedi, ayah tirinya, yang telah menyiksa ibunya.
"Dari wajahnya yang ketakutan, dia pasti masih perawan. Aku akan mencicipinya lebih dahulu, setelah itu kalian bisa ramai-ramai memakannya. Hehehe," Sandra semakin terpojok dan tidak ada satu bendapun yang bisa dijadikan senjata. Habis sudah malam ini hidupnya. Sandra menghela napas sambil mengepalkan tangannya dan akan berjuang sampai mati untuk mempertahankan harga dirinya.
"Apa kalian tidak malu menghadapi seorang perempuan beramai-ramai? Kalian pasti lelaki banci yang beraninya sama perempuan." Sebuah suara asing yang tegas, terdengar dari arah belakang. Semua penjahat itu memalingkan wajah dan tubuh mereka untuk mencari asal suara. Sandra tidak bisa melihat dengan jelas karena wajah pria itu terhalang oleh cahaya lampu jalan yang membelakanginya.
"Sialan! Hajar dia! Berani ikut campur urusan orang." Lelaki yang dipanggil bos itu memerintahkan anak buahnya untuk menghajar lelaki yang baru muncul tiba-tiba. Perkelahian yang tidak seimbang dalam jumlah pun tidak bisa dihindarkan. Namun, ternyata sekumpulan preman itu kalah telak oleh pria yang baru datang hanya dengan mengandalkan tangan kosong.
Setelah kawanan penjahat itu berhasil dilumpuhkan, pria yang baru datang segera menghampiri Sandra yang masih shock.
"Kamu … tidak apa-apa?"
"Oh, siapa kamu? Dan, terima kasih atas pertolonganmu." Jawab Sandra yang langsung jatuh terduduk lemas diatas jalanan.
"Apa mereka sudah mencelakaimu? Ayo aku antarkan ke rumah sakit."
"Tidak-tidak, aku tidak apa-apa. Terima kasih sekali lagi." Ucap Sandra yang berusaha untuk berdiri namun tubuhnya yang lemas karena lapar ditambah lagi kaget karena aksi penjambretan itu, membuatnya tidak bisa berdiri dengan baik.
"Maafkan aku,"
"Eh apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan membawamu ke mobilku dan aku akan mengantarkan kamu pulang." Jawab pria itu lagi.
"Jangan, kamu tidak perlu seperti itu. Turunkan aku!" Tubuh Sandra diibopong dengan kedua tangan pria itu dan dibawanya menuju mobil yang terparkir di ujung jalan. Pria itu kebetulan lewat setelah kerja lemburnya dan tiba-tiba dia melihat seorang perempuan di jambret dan dia pun mengikutinya segera. Ternyata, bukan hanya di jambret. Perempuan ini pun nyaris menjadi korban pemerkosaan para lelaki bejat.
"Kamu tenang saja. Aku lelaki baik-baik. Kalau tidak percaya, ini kartu namaku." Lelaki itu pun memberikan kartu nama yang ada didalam mobilnya, setelah meletakkan Sandra di kursi penumpang sebelah kursi pengemudi. Sandra tidak bisa menolak bantuan yang ditawarkan oleh pria yang baru dikenalnya itu. Samar-samar Sandra melihat nama yang tertera diatas kartu nama yang berwarna hitam dengan warna tulisan silver tersebut. Angger Pradipta, seorang petugas polisi dengan pangkat letnan tersebut.
"Rumah kamu dimana? Biar aku antarkan." Angger, adik dari Erlangga yang pulang bekerja telat, akhirnya malah berkenalan dengan seorang perempuan di waktu yang sangat tepat. Tepat karena harga diri Sandra bisa terselamatkan sebelum terkena bahaya.
"Aku … turun di halte depan saja." Jawab Sandra ragu-ragu. Dia tidak akan melupakan momen mala mini seumur hidupnya. Kedua tangannya terkepal kencang ketika teringat kembali ucapan para penjahat yang mengatakan mereka adalah suruhan Tedi dan akan menghancurkan masa depannya. Angger melihat kepalan tangan itu sekilas.
"Aku akan antarkan kamu sampai rumah. Kamu tidak takut kalau-kalau mereka akan datang kembali?" Ujar Angger.
"Kemanapun kami pergi, kami tidak akan pernah bisa aman." Terdengar suara Sandra bergetar menahan sesak di dada dan emosi yang tertahankan membuat dadanya bergerak naik turun.
"Aku melihat kamu tadi pagi sedang membuat laporan. Apakah pria itu yang membuatmu seperti ini?"
"Ya, dia iblis berbentuk manusia. Sudah dari dulu aku tidak suka dengan tampangnya yang menjijikkan. Tapi ibu malah memaksakan diri menikah dengannya. Aku bisa apa sebagai anak? Tapi, ibuku sekarang sudah sadar namun sayangnya kami sudah terlambat. Pria itu menguras harta kami sampai habis tidak tersisa dan masih memaksa kami bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mabuk-mabukkan dan judi. Huhuhu," Jawaban Sandra diakhiri dengan tangisan yang akhirnya pecah hingga suasana didalam mobil tidak lagi hening.
-----
"Jadi begitu, bu Dewi. Anak saya ini sepertinya sudah tidak sabar ingin meminang Gendhis untuk dijadikan istri. Padahal, kami baru pertama kali melihatnya saat membawakan hasil jahitan malam itu." Batari berkata dengan suara lemah lembut pada Dewi yang saat ini mereka berlima duduk saling berhadapan membicarakan masa depan kedua anak mereka masing-masing.
"Saya sebenarnya tergantung anak saya saja. Kalau Gendhis setuju, maka saya akan mendukungnya. Begitupun kalau terjadi sebaliknya." Jawab Dewi dengan tutur kata penuh kerendahan hati.