"Menemani bicara? Kamu mau bicara apa?" Tanya Gendhis langsung, padahal dia juga belum duduk.
"Kamu duduk dulu, tidak sopan berkata sambil berdiri seorang diri." Ujar Dewi. Gendhis patuh pada perintah ibunya dan perempuan yang belum berganti baju itu pun duduk di sebelah ibunya dan dihadapan sang perwira.
"Maafkan saya malam-malam begini bertamu. Saya ingin menyampaikan sesuatu pada ibu Dewi." Suasana pun langsung sunyi karena Erlangga berhenti sejenak melanjutkan ucapannya.
"Maksud kedatangan saya malam ini adalah … saya ingin melamar anak ibu, Gendhis, menjadi istri saya." Spontan mulut bu Dewi dan Gendhis menganga lebar, ditambah sepasang mata yang melotot.
"Apa? Apa … saya tidak salah dengar?" Dewi menatap anak sulungnya dan tamunya bergantian. Gendhis menundukkan wajahnya tidak tahu harus menjawab apa.
Dalam perjalanan pulang tadi, Erlangga menghentikan mobilnya dan mendadak putar balik. Sejak momen dia mencium Gendhis, hatinya langsung mantab untuk memperistri perempuan yang belum lama dikenalnya itu. Sebelum dirinya terlambat, dia sudah bertekad harus mensahkan Gendhis lebih dulu. Resepsi bisa dilakukan nanti sepulang dari tugas dari luar negeri.
"Saya akan meminta orangtua saya untuk kesini melamar Gendhis besok. Saya harap ibu tidak menolak lamaran saya ini." Ujar Erlangga lagi.
"Saya … terserah Gendhis saja. Karena yang akan menjalani itu dia." Jawab Dewi dengan bijak. Gendhis benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, dia juga tidak mungkin mengharapkan pria yang belum tentu akan menjadi suaminya kelak, lalu membuang pria yang sudah jelas-jelas melamarnya.
"Terserah ibu saja, Gendhis … setuju." Jawab perempuan itu dengan wajah masih tertunduk malu.
"Gendhis, tatap wajah ibu. Apa kamu benar-benar ikhlas ingin menjadi istri nak Erlangga? Jangan ada keterpaksaan karena menikah itu bukan untuk satu dua hari. Menikah itu untuk selamanya." Jawab Dewi lagi.
"I-iya ibu," Biasanya Gendhis akan bersikap galak dan penuh percaya diri dihadapan siapapun. Kini, Gendhis merasa malu jika harus menatap wajah pria yang sudah mencuri ciuman pertamanya. Dewi menghela napasnya,
"Baiklah kalau begitu. Tapi untuk nak Erlangga ketahui, karena kondisi saya sebagai orangtua tunggal Gendhis dan ekonomi kami juga seperti ini, jadi … saya harap nak Erlangga mengerti … dan tidak memaksakan untuk mengadakan resepsi yang meriah." Jawab Dewi sedikit sungkan. Ini akan jadi pernikahan pertama dari ketiga anaknya. Sebagai seorang ibu, sudah pasti Dewi ingin memberikan yang terbaik pada anak-anaknya. Namun, keadaannya tidak memungkinkan.
"Ibu jangan khawatir. Aku berencana untuk ijab kabulnya dahulu. Karena diperkirakan, paling cepat dua bulan lagi saya akan menjadi tim kontingen Garuda ke luar negeri selama satu tahun." Jawab Erlangga mantab.
"Apa? Nak Erlangga akan menjalani misi perdamaian ke luar negeri? Ndis, kamu siap untuk ditinggalkan dan berpisah lama saat suami bertugas?" Dewi mengusap lengan anaknya sambil berkata lembut.
"Ibu lupa? Aku sudah terbiasa hidup kemana-mana sendiri tanpa pengawal."
"Tapi ini berbeda nak. Kalau kamu sudah menikah nanti, maka kehidupan kamu bukan hanya milikmu saja. Kamu harus menghadiri banyak kegiatan di kantor suamimu nanti." Dewi meskipun bukan seorang istri tentara, tapi dia tahu sedikit banyak kehidupan seorang istri tentara dari para pelanggan jahitannya.
"Aku juga tidak tahu nanti bagaiman, bu. Tapi, selama Erlangga mau menerima aku apa adanya, aku … siap untuk menikah." Jawab Gendhis diplomatis. Jawaban sang perempuan membuat Erlangga tersenyum hangat. Pria itu tidak bisa lagi menunda bahkan meski satu hari lagi. Dia sungguh ingin mengurung sang perempuan didalam kamar bersamanya sehari penuh melakukan apapun yang mereka ingin lakukan.
Dewi, sang ibu, hanya bisa terdiam. Anak sulungnya sudah dilamar dan artinya akan berkurang satu anggota keluarga di rumah ini. Anggota keluarga yang merupakan anak perempuan satu-satunya dan tempat curhat terbaik bagi Dewi karena sesama perempuan bisa lebih memahami satu sama lain.
"Bu, meskipun aku menikah kelak, aku akan sering datang kesini. Erl …"
"Jangan panggil suamimu hanya dengan nama."
"Tapi, dia juga belum jadi suamiku, bu."
"Tetap saja, tidak sopan. Panggil mas atau kak atau apa begitu." Jawab balik Dewi, sang ibu. Erlangga hanya tersenyum menyaksikan perdebatan ibu dan anak. Gendhis memang terlihat keras kepala dari luar. Tapi kalau sudah berhadapan dengan ibunya, dia akan menjadi anak yang penurut dan lembut.
"Baiklah, ini sudah malam. Ibu istirahat saja. Erl … maksudku … mas Erl juga akan pulang sebentar lagi." Gendhis mengalihkan pandangannya pada pria yang tersenyum diam-diam.
"Kalau besok benar akan datang calon besan, ibu harus bersiap-siap. Kami tidak punya keluarga besar disini. Semua ada di kampung. Jadi kemungkinan besar, besok hanya ada kami berempat. Saya, Gendhis, dan dua adiknya." Jawab Dewi.
"Itu tidak masalah, bu." Jawab Erlangga dengan penuh sopan santun.
Sepeninggal Dewi, Gendhis mengantarkan Erlangga sampai pintu pagar.
"Apa yang membuat kamu balik lagi? Jangan bilang karena kamu ingin bilang ke ibuku untuk melamarku buru-buru?"
"Huh, kamu yang bertanya, kamu juga yang menjawab. Sejak ciuman tadi sore, aku merasa tidak perlu menunda lagi pernikahan kita. Aku hanya ingin akad saja dulu. Resepsinya bisa dilakukan nanti."
"Kenapa harus buru-buru?" Tanya Gendhis lagi.
"Karena … bibirmu terlalu manis untuk berkata pedas." Jawab Erlangga sambil terkekeh.
"Maksud kamu apa?" Suasana yang sudah cukup malam dan tidak ada satu tetangga pun yang lewat, membuat Gendhis menahan ucapannya agar tidak terlalu kencang didengar.
"Maksudku … aku tidak sabar untuk segera malam pertama. Hehehe,"
"Kamu itu!" Spontan kedua tangan Gendhis memukul lengan sang perwira yang ternyata cukup berotot bersembunyi dibalik jaketnya.
"Aduh, pukulanmu sakit juga." Erlangga pura-pura kesakitan dengan menggosok-gosokkan lengan yang terpukul dengan tangan lainnya.
"Dengar ya, kalau kamu menikah denganku, aku bukan perempuan lemah lembut dan penurut. Jadi, sebaiknya kamu berpikir ulang sebelum menikah denganku." Jawab Gendhis dengan seringainya.
"Justru itu yang aku butuhkan. Aku tidak ingin punya istri yang terlalu penurut dan mengalah. Terkadang mental yang lemah bisa menularkan gelombang negative ke mental yang kuat. Aku ingin istriku sama kuatnya denganku, bahkan kalau bisa lebih kuat lagi. Karena, aku butuh pendamping hidup yang bisa bertahan di kerasnya kehidupan seorang tentara dan menjadi ibu yang Tangguh untuk anak-anakku kelak." Erlangga tersenyum lebar sambil memasukkan kedua kepalan tangannya ke dalam saku jaket.
Gendhis mendengarkan dengan seksama dan menghela napasnya panjang-panjang.
"Syarat yang aneh." Gumam Gendhis dalam hati.
"Bagaimana istriku, apakah kamu bersedia untuk menjadi pendampingku sampai akhir kelak dan menjadi ibu dari anak-anakku?" Erlangga mendekatkan dirinya pada sang perempuan yang jarak diantara mereka hanya terpisah sejengkal sepatu saja.