MALAM PERTAMA
Pasangan Garin & Widya
Malam itu adalah malam pertama Garin dan Widya sebagai pasangan suami istri.
Mereka menghabiskannya di sebuah hotel mewah di kawasan Puncak. Angin dingin bertiup lembut di luar jendela, tapi di dalam kamar, kehangatan mulai tumbuh.
“Sayang… aku kok jadi gugup ya?” bisik Widya pelan.
“Sama. Aku juga.” Garin Anggara membalas dengan senyum menahan tawa.
Namun ini bukan malam pengantin biasa. Malam ini adalah malam pertama Widya dalam tubuh Karin Meydina.
Garin Anggara membayangkan lekuk tubuh Karin—kulitnya yang kecokelatan, atletis, berbeda jauh dari tubuh Widya yang asli: putih pucat, ramping, rapuh. Widya manis dan lembut. Karin? Tomboy, kuat, dan tak suka basa-basi.
Hati Garin bingung—dua jiwa, satu tubuh.
"Karin Meydina masih bisa muncul di tubuhnya sendiri." Ayahnya, Ki Joko, pernah memperingatkan. Tapi Garin tak peduli. Bahkan diam-diam, ia menantikannya.
---
Sementara itu, jauh di ruang perawatan khusus Rumah Medika—
Jiwa Karin yang terjebak dalam tubuh Widya meronta. Ia seperti dipaku pada tempatnya—tak bisa bergerak, tak bisa berbicara.
Tubuhnya terasa dikoyak. Sakit. Perih. Tapi lalu… tenang. Lalu hangat. Lalu nikmat.
Di tempat lain, tubuh Karin telah menyatu dengan tubuh Garin.
Widya menangis.
“Sayang, kenapa kamu menangis?” tanya Garin lembut, memeluknya dari belakang.
“Aku nggak ngerasa apa-apa...” Widya menoleh. Wajahnya bingung. “Kayak... aku nggak di sini tadi.”
“Lho, padahal kamu... tadi keliatannya nikmat banget,” Garin pura-pura heran.
“Sumpah... aku kayak lagi di tempat lain.”
Garin menyembunyikan senyumnya. “Kalau gitu, kita ulangin aja lagi,” bisiknya genit.
“Ogah. Besok aja. Kita masih punya waktu panjang.” Widya membalik badan, kecewa.
Garin memandangi tubuh istrinya. Dalam diam, ia tahu: yang tadi bersamanya bukan Widya. Tapi Karin.
Dan ya, ayah benar. Karin bisa muncul sewaktu-waktu.
Dan Garin menyukainya.
---
Yang sebenarnya terjadi—
Karin memang kembali ke tubuhnya, tepat saat Garin bersatu dengannya. Rasa sakit, rasa nikmat, semuanya dirasakan Karin. Widya terlempar sejenak ke tubuhnya yang asli—lalu kembali lagi ke tubuh Karin, sesaat setelah Garin mencapai klimaks.
Itulah sebabnya Widya merasa hampa. Tak merasakan malam pertamanya sendiri.
---
Bulan madu mereka berlangsung singkat.
Sore itu, menjelang pulang, Widya bicara pada ayah mertuanya.
“Ayah... kita mau apakan jiwa Karin?”
“Karin harus ikut mati bersama tubuhnya.”
Jawaban Ki Joko membuat Widya menggigil.
Ia ingin kembali ke tubuhnya. Tapi... tubuh itu sudah sekarat.
Dan kini... ia mulai mencintai tubuh ini—tubuh Karin.
---
CHAPTER 1
Perjalanan Supranatural Karin Meydina
Beberapa minggu sebelumnya—
Siang itu hujan deras mengguyur kota.
Karin baru saja menerima pesan singkat dari ibunya. Tapi kali ini bukan melalui telepon seperti biasa. Seorang wanita asing yang tak sempat ia kenali menyampaikan surat kecil, tulisan tangan:
“PULANG.”
Hanya satu kata. Tapi cukup membuat Karin meninggalkan segalanya.
Ia langsung tancap gas dengan motornya—Si Jago Merah, Honda tua tahun 80-an warisan kakek. Biasanya rewel, susah hidup, sering mogok di kampus. Tapi hari ini... hidup sekali sentuh. Lancar. Kencang. Seperti tahu ini misi penting.
Ajaibnya, hujan juga mereda begitu Karin lewat.
Biasanya jarak kampus ke rumah butuh satu jam. Hari ini? Dua puluh menit.
Sampai di rumah, suasana berbeda. Sepi. Tidak seperti biasanya, karena rumah Nyonya Ana selalu ramai pasien.
Nyonya Ana—ibunya Karin—bukan orang biasa. Ia bukan dokter. Bukan profesor. Tapi namanya dikenal sampai Asia dan Timur Tengah. Ia penyembuh supranatural.
Bahkan bisa membantu pejabat lolos dari kejahatan politik—asal memang tak bersalah.
Karin langsung menuju kamar ibunya.
Di sana, Nyonya Ana sedang menyiapkan seperangkat perhiasan batu alam: kalung, cincin, anting—batu hitam Kalimantan, warisan nenek buyut.
“Pakailah,” kata ibunya lembut.
“Ogah, kayak dukun,” canda Karin, hendak pergi.
Namun tubuhnya seperti terkunci. Kakinya mundur sendiri, lalu mendekat. Dan tanpa perlawanan, membiarkan sang ibu memakaikan semua perhiasan itu ke tubuhnya.
Karin menatap cermin.
Bayangannya berubah. Ia bukan lagi gadis tomboy. Ia... cantik. Sangat cantik.
“Berangkatlah ke Turki. Tugas negara,” ujar Nyonya Ana, sambil merapikan rambutnya.
“Tugas apa? Aku nggak punya paspor.”
“Berkasmu sudah diurus. Kamu tinggal berangkat.”
Karin melongo.
“Setibanya di sana, serahkan perhiasan ini. Lalu ambil bungkusannya.”
“Bungkusan?”
“Kristal ungu. Benda gaib. Orang awam cuma lihat vas biasa. Tapi jangan buka. Jika kamu menyentuhnya, kristal itu akan menyala.”
Sebelum Karin bisa bertanya, ibunya menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Gelap.
---
Karin terbangun di dalam mobil, menuju bandara.
Sudah berpakaian rapi. Tasnya siap.
Seseorang menyodorkan tiket. Semua berkas lengkap. Penerbangan: Istanbul, Turki.
Beberapa jam kemudian, ia tiba di Bandara Istanbul.
Baru saja check-in, seorang wanita cantik dengan aura magis mendekatinya. Langkahnya ringan, nyaris melayang.
“Karin.”
Suaranya lembut, seperti suara ibunya dari kejauhan.
Karin terdiam. Terhipnotis.
Ia memejamkan mata.
Saat membuka mata kembali, Karin sudah di dalam pesawat pulang.
Pakaian berganti. Perhiasan hilang.
Dan di dalam tas, sebuah bungkusan...
---