Pesta tahun baru kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Istimewa.
Panitia menyiapkan kembang api spektakuler, hadiah-hadiah menarik, dan makan malam gratis untuk semua mahasiswa. Ribuan orang memadati area kampus yang telah disulap menjadi lapangan pesta dengan panggung hiburan gemerlap. Halaman kampus di tepi danau ditata apik dengan bunga-bunga romantis—seperti di luar negeri!
Bella bercerita dengan penuh semangat, "Kita bakal lihat pesta kembang api spektakuler! Keren banget. Katanya, dananya disupport langsung kampus!"
Katrina terpukau. "Pokoknya rugi kalau nggak datang!"
"Karin harus ikut!" tekad Bella.
"Aku akan bujuk dia!" janji Katrina. Mereka tahu, Karin bisa berubah pikiran sewaktu-waktu. “Nggak ada dia, nggak seru!”
"Ayo kita ke rumahnya!" ajak Bella, sambil menenteng tas berisi peralatan pesta. Mereka bahkan rela membeli gaun pesta untuk Karin.
“Ayolah! Lakukan ini demi persahabatan kita!” rayu Katrina.
Karin akhirnya luluh.
Katrina dan Bella pun mengaku diri mereka sebagai “dua bidadari mimpi”. Julukan buatan sendiri. Mereka tertawa dan saling menjatuhkan diri dengan gaya centil.
“Kamu bidadari ya?” tanya Bella ke Katrina.
“MIMPI KALEEEE!” teriak mereka bersamaan.
---
Malam itu, para gadis tampil cantik mempesona. Para pemuda berdandan maksimal. Bagi yang jomblo, ini ajang cari pasangan. Bagi yang berpasangan, ini malam romantis.
Tapi bagi Garin Anggara, ini malam ritual. Malam pencarian pengantin Widya Wicaksono—tubuh baru bagi tunangannya yang telah tiada secara fisik, tapi masih hidup secara jiwa. Tubuh yang senafas, agar warisan ilmu ayahnya bisa diteruskan.
“Gadis yang berjodoh akan datang sendiri,” kata Ki Joko, ayah Garin.
---
Di lokasi pesta, nama Karin, Bella, dan Katrina tercantum di daftar VIP. Mereka bingung. Dipandu oleh Pevita, panitia BEM, mereka masuk lewat jalur khusus, melewati taman penuh lampu seri gemerlap.
Meja mereka mewah: minuman segar, buah eksotis, dan kursi empuk. Meja VIP hanya ada lima. Dua untuk dosen, dua untuk rektorat dan pejabat kampus, dan satu lagi—meja mereka. Tiga kursi masih kosong.
Sementara mahasiswa lain duduk di kursi lipat atau berdiri. Ratusan mata dari balik topeng menatap mereka dengan iri.
"Semoga hadiah liburan ke Shanghai bukan mereka yang dapat," gerutu beberapa yang melihat dari jauh.
MC membuka acara. Rektor memberi sambutan singkat tentang menjaga ketertiban dan almamater. Mahasiswa bertepuk tangan. Mereka ingin musik, bukan ceramah.
Tiba-tiba, Garin Anggara muncul. Ia duduk di meja yang sama dengan ketiga gadis. Dua perempuan cantik bertopeng duduk bersamanya. Meski wajah tertutup, postur mereka seperti artis.
Ketika MC menyebut nama mereka, Garin dan kedua gadis itu naik ke panggung. Ternyata benar, mereka artis ibu kota!
Katrina dan Bella hampir pingsan. “Ih, duduk semeja sama artis dan nggak sadar!” Mereka saling tepuk jidat.
Sementara itu, Karin tidak tertarik. Ia asyik membaca novel dari ponselnya. Namun, tiba-tiba ia merasa mual. Buah dan minuman tadi terasa aneh. Rasanya hambar dan berbau asing.
"Aku ke toilet dulu."
Toilet berada di belakang panggung. Saat melintas, ia melihat Garin sedang memeluk salah satu artis. Karin hanya menggeleng, “Playboy.”
Tapi lalu, bau dupa dan bunga rempah menusuk hidungnya. Ia mendengar lantunan syair pemujaan. Langkahnya makin cepat. Tiba-tiba—tap!—bahunya disentuh.
Garin?
Tapi sosok itu... wajahnya berubah. Menjadi pria tua.
"Dia... ayahnya Garin!" desis Karin sebelum pingsan.
---
Sudah dua jam Karin tak kembali. Bella gelisah.
“Itu dia! Tapi... kok dia digandeng Garin?” ujar Katrina.
Wajah Karin pucat.
"Karin sakit. Aku antar dia pulang," kata Garin.
"Kami ikut!"
“Tidak usah, kalian di sini saja,” suara Karin terdengar... aneh. Dingin.
Katrina dan Bella ragu, tapi menuruti.
---
Di dalam mobil, Karin bersikap mesra. Terlalu mesra. Garin memeluknya erat. Wajah Karin berubah penuh cinta.
“Widya... akhirnya kamu kembali.”
“Garin, aku merindukanmu.”
Tubuh Karin kini dihuni Widya. Jiwa yang selama ini mengembara telah mendapatkan wadah baru. Dan Garin menyambutnya seolah ia tak pernah hilang.
Sesampainya di apartemen, mereka berbicara lembut. Memori mereka saling menyatu. Tidak ada gairah fisik yang berlebihan, tapi rindu mendalam yang terobati.
Mereka saling menatap, saling menggenggam tangan, dan berpelukan dalam diam.
Namun, di sela keheningan, Garin sempat menatap wajah Widya yang kini menempati tubuh Karin. Ia melihat keanehan. Postur yang lebih kuat. Kulit sawo matang. Sentuhan berbeda. Tapi hatinya berkata—ini tetap Widya.
Dan Widya, dari balik tubuh pinjaman, membisikkan, “Aku kembali, tapi tidak selamanya. Tubuh ini hanya jembatan, Garin.”
Tatapan Garin berubah tegang.
Malam itu bukan sekadar reuni cinta—tapi awal dari sesuatu yang lebih besar. Lebih gelap. Dan lebih dalam dari sekadar rindu yang terbalas.
---