Suasana pesta tahun baru masih menggema di langit kampus, tapi tak ada satu pun sorakan yang mampu menembus ruang sepi dalam kepala Karin. Dia berdiri di sebuah tempat asing—ruangan cermin tak berujung, wajah-wajahnya sendiri memantul dari berbagai arah.
"Siapa aku?" bisiknya.
Suara lain menyahut dari bayangan cermin yang retak, "Kau hanya wadah. Kini aku di sini."
Mata Karin membelalak. Refleksi dirinya tersenyum aneh, bukan senyum miliknya. Wajahnya, tapi bukan dirinya. Rambut dikuncir rapi, riasan feminim, senyum menggoda. Bukan Karin. Itu Widya.
---
Di dunia nyata, di ranjang apartemen mewah Garin Anggara, seorang gadis dengan tubuh Karin memeluk pria itu dengan penuh gairah. Tapi mata dan sorotnya adalah milik Widya.
"Widya... nanti saja," bisik Garin, menghentikan cumbuan mereka.
Widya menahan geram. "Kenapa?"
"Tubuh ini belum milikku secara halal. Minggu depan kita menikah. Aku ingin kamu datang di pelaminan sebagai perempuan yang utuh, tak ternoda."
Widya diam sejenak. Ia menatap bayangan dirinya di cermin lemari. Itu wajah Karin. Tapi di dalamnya, jiwanya sendiri sedang tertawa kecil. Ia memeluk Garin kembali, seolah menyetujui.
"Baiklah, calon suamiku."
Garin tersenyum, lalu berdiri. "Ayo kita ke rumahmu. Aku ingin melihat sisi lain dari Karin yang tak kukenal."
---
Rumah kontrakan Karin sunyi dan wangi lavender. Garin terkagum. "Karin... ternyata kamu bukan cuma tomboi ugal-ugalan, tapi juga rapi dan... kaya rupanya," katanya setelah melihat isi dompet dan koleksi jam tangan mahal di rak kaca.
Widya, masih dalam tubuh Karin, hanya tersenyum. "Aku suka mengejutkan orang."
Belum sempat mereka duduk, bel pintu berbunyi. Bella dan Katrina datang, tertawa sambil membawa sisa snack dari pesta.
"Hei! Kami cari kamu sampai capek di pesta! Eh, kamu malah pulang duluan!" seru Katrina.
"Maaf... aku capek banget tadi," ujar Widya, menirukan gaya bicara Karin, tapi agak terlalu lembut.
Katrina mengernyit. Ada yang aneh. Tapi ia mengabaikannya.
Ketiganya masuk. Saat melihat Garin duduk santai di sofa, mata Katrina membulat. "Lho... Garin? Ngapain di sini?!"
"Mengantar Karin pulang. Dia pingsan tadi, aku khawatir."
"Oh... ya, ya. Aku lupa... kamu pamit tadi ya? Duh, bego banget kita, Bel!"
Mereka tertawa kecil. Tapi Belia menatap Karin lebih lama. Ada yang tidak beres.
---
Keesokan harinya, di kampus, Karin datang dengan dandanan berbeda. Dress pastel, lip gloss, cat kuku. Senyum yang terlalu... manis.
"Aku menerima lamaran Garin," katanya datar, tapi tegas.
"APA?!" seru Katrina dan Belia bersamaan.
"Kami akan menikah minggu depan."
"Kamu ngga waras? Kamu benci banget sama dia!"
"Aku berubah pikiran. Dia... baik. Lihat nih, dia beliin jam tangan untukku."
Katrina dan Belia saling tatap. Karin berubah. Terlalu drastis. Seperti bukan Karin.
Widya dalam tubuh Karin tersenyum. Ia menyerahkan kartu ATM, kartu kredit, dan uang dolar milik Karin kepada kedua sahabat itu.
"Pergilah liburan ke Hongkong. Itu mimpimu, kan? Aku nggak bisa ikut, tapi... anggap saja ini pengganti diriku."
Belia menatap mata Karin. Di sana, sekilas, dia melihat... Widya. Ia mengucek matanya cepat.
"Aku... capek banget deh. Kayaknya ngelantur, ya?"
Tapi dalam hatinya, Belia tahu. Sesuatu telah berubah. Bukan hanya gaya bicara. Bukan hanya pakaian. Tapi jiwa. Jiwa Karin... telah pergi.
Dan jiwa lain—jiwa yang tidak seharusnya—telah mengambil tempatnya.
---