Rania dan Kanaya berjalan, Rania membuka pintu, dan mulai masuk ke kamar Mahis, Rania dan Kanaya terkejut dengan pemandangan kamar yang hancur.
"Ya Allah," ujar Rania membersihkan kamar yang berantakan penuh dengan pecahan kaca. Bunga mawar tergeletak tanpa vas. "Jangan menyerah, aku kenal kamu dan kamu kuat," kata Rania yang lalu merangkul Kanaya. Kanaya hanya menahan rasa yang sesakkan dada.
Kanaya takut melihat Mahis, jelas saja Mahis masih terlihat marah dan tidak terima, Rania dan Kanaya membersihkan pecahan kaca yang berserakan.
Pintu tertutup rapat. "Sampai kapan Abang begini? Dewasalah Bang." Rania menegur Mahis yang diam dan meratapi layar hpnya.
Rania merebut ponsel itu, ponsel itu di rebut kembali oleh Mahis dan meleparnya dengan cepat, hampir saja mengenai Kanaya yang sedari tadi mematung, ponsel itu terbang di samping pipi Kanaya, terlembar dan mental dari dinding lalu hancur. Kanaya sangat terkejut dan takut.
"Astagfirullah, dengan marah tidak bisa menyelesaikan masalah, orang yang ku kagumi, ternyata seperti anak-anak, ceh," Rania kecewa.
Suara pintu di ketuk, "Perias pengantin sudah datang, apa pengantinnya di dalam?" suara dari balik pintu, Rania bergegas membuka pintu.
"Ajak pengantin ke kamar lain" ujar Rania, Kanaya didorong pelan Rania, Kanaya dan perias pergi. Rania kembali menutup pintu. Mahis menatapnya dengan tajam.
"Aku tahu, kamu kecewa, tapi bukan seperti ini caranya? Sekarang aku tanya, kamu marah sama siapa? Plis, demi aku, bersikap baik dengan Aya, jika tidak cinta tidak apa, tapi tolong bersikap baik. Setidaknya takut atas janjimu dipernikahan. Janjimu kepada Allah." Rania memberi pengertian, Mahis tidak memperdulikan.
"Aku menghargaimu Rania. Tapi aku belum bisa melupakannya."
"Heh, ya Allah ... bukalah pintu hati orang ini." Rania kesal tapi ia harus bicara.
"Kamu dan Hanif bagaimana?"
"Aku dan Hanif sudah putus," ujar Rania membuat Mahis mengangkat wajah dan terkejut. Rania duduk di samping Mahis.
"Kami saling mencintai dan terus membuktikan, tapi semua itu tidak berguna dan sia-sia, aku dan Hanif iklas karena mencari ridho dari kedua orang tua, kami harus melepaskan, satu sama lain. Dan aku akan menikah satu bulan lagi, aku mengundangnya, dan meminta restunya, aku minta agar dia mendoakan aku. Dia akan mengabulkan. Memang beda kisahku dan kisahmu, tapi berfikirlah, untuk apa di sesali, hidup hanya sekali dan mencari yang terbaik. Jujur saja selama ini aku tidak suka dengan sikap, prilaku dari pilihanmu itu. Please jangan bodoh lagi!" kejujuran Rania membuat Mahis merasa bodoh.
"Begitulah cinta, cinta yang di butakan. Belajarlah iklas dan terima jalan ini," ucap Rania kembali mengambil serpihan kaca dan memasukkan di kotak sampah.
"Selama ini aku memang bodoh, aku sadar, tapi walaupun dia hamil dengan orang lain, aku bisa menerimanya." ucap Mahis penuh kesadaran, Rania terkejut, dan tidak habis fikir seorang CEO cerdas dan suka menolong bisa segitunya karena cinta buta.
"Astagfirullah ... memang sulit di tegur orang seperti Abang, terlalu bodoh, pura-pura tuli, pura-pura buta, walau tahu yang sebenarnya." Rania sangat kesal dan berbicara kasar.
"Rasanya sangat sakit jika sudah terlanjur cinta, kamu tahu perjuanganku mendapatkannya sangat sulit. Pacaran jarak jauh, meredam rasa curiga dan cemburu, dan balasannya seperti ini" jelas Mahis dengan suara lantang dan hancur.
"Aduh, bagaimana cara menjelaskannya.Tapi kamu tidak pantas bertahan Bang, sadar! Sadarlah. Astagfirullah." Rania emosi, ia membuang nafas. "Terserahmu sekarang, yang penting berjanjilah, kamu akan bersikap baik kepada Aya." pintanya ngegas.
"Jika aku jadi kamu, aku akan melarikan diri bersama orang yang aku cintai. Dan hidup berdua," ujar Mahis, tambah mengejutkan Rania yang lalu tertawa remeh.
"Hehehe, cintaku tidak membutakan aku, cintaku semakin kuat walau tidak bersama, cinta yang membawa ke arah positif, memang sangat sakit tidak memiliki cinta, bersama orang yang di cintai. Tapi Hanif adalah kekuatan tersendiri, walau jauh dia mencintaiku dalam doanya. Karena kami sangat sadar akan menyesal jika memperjuangkan cinta dengan sikap yang bodoh, karena kita hidup tidak hanya berdua, jika melarikan diri ya memang bahagia, tapi diawalnya," jelas Rania belum selesai Mahis menatapnya.
"Ya kami tahu batasan dalam agama, dosa apa yang akan didapat, jika menikah tanpa restu, jika melakukan dosa, kami takut padaNya, hingga terlihat kalah cinta kami. Kamu orang yang hebat, tapi kamu tidak berfikir dan tidak takut akan dosa. Allah memisahkanmu dengan dia, karena menyelamatkanmu, saat ini memang kamu belum sadar, apa yang terbaik untukmu, karena siapa yang tahu pada akhirnya cerita hidup selain Allah, hanya Allah yang tahu bagaimana nantinya. Kamu sudah di khianati tapi kamu pura-pura tidak melihat penghiatannya. Aku menertawakanmu, he." Tawa Rania yang terdengar merendahkan.
"Huft ... kamu diam saja!"
"Sungguh aneh, itu bukan cinta melainkan ambisi, hasrat, nafsu, semoga Allah segera membuka mata hati dan fikiranmu." teguran panjang lebar Rania keluar dari kamar Mahis.
'Masya Allah gregetnya...., heh sebel. Bagaimana bisa sebodoh itu sih Abangku, apa coba yang berharga dari Asila sampai rela menerima walau dia hamil bersama orang lain. Untung Asila pergi, Ya Allah Alhamdulillah, terimakasih dan semoga Engkau segera menyadarkan Abangku itu, Aamiin.' batin Rania.
'Walau akhirnya aku putus, apa dia akan datang kemari? Aku sangat rindu, tapi tahan Rania, jangan memberi harapan lagi pada mantan kekasihmu, agar dia segera melupakanmu. Aku tak rela tapi harus rela,' batinnya teringat pada Hanif, dan hubungannya yang berakhir tragis, Rania segera solat.
Tiga jam berlalu, Mahis masih santai dengan kaosnya, dan Kanaya sangat cantik dengan gaun jingga, seperti seorang yang mengikuti ajang putri muslimah. Anggun, cantik.
"Mahis, kok masih santai," tegur Omanya. Mahis mengambil baju yang di gantung, baju yang sangat serasi dengan yang di kenakan dengan Kanaya.
Mahis tidak mau Omanya sedih dan penyakit yang jantungnya kambuh, jadi ia menuruti, dan terpaksa berdiri di pelaminan.
Pelaminan di hias seromantis mungkin, dua pasang kursi, menjadi sepasang. Mahis sangat tampan, ia duduk di kursi pelamian.
Kanaya datang bersama Rania, mereka mengabadikan foto. Mahis memasang wajah eneg tak suka.
Beberapa tamu naik dan meminta foto, Mahis menghindar tapi melihat maminya, dengan tatapan sedih, ia bersedia berfoto.
'Rasanya sakit, walau menikah dengan orang yang tidak ku kenal. Ini sangat menyiksa, Ya Allah, sekarang aku pasrah atas kehendakMu.