Chereads / Cerdaslah Mencintaiku / Chapter 4 - Perjanjian Pernikahan

Chapter 4 - Perjanjian Pernikahan

Meresa perbincangannya dengan Hanif sudah lama, Rania pamit.

"Aku masuk, sudah malam, hati-hati ya, tidak usah ngebut." Rania masih menunjukkan perhatiannya. Hanif tersenyum.

"Beh, jan, jangan terlalu." tegur Mahis. "Nanti tambah tersiksa, cepat pulang sana." Mahis mengusir Hanif, karena memahami perasaan temannya itu.

Wajah Hanif sangat sedih. "Selamat tinggal," ujar Hanif melangkah pergi, begitu sakit perkataan itu, singkat namun menusuk hati.

"Cintaku ..." panggil Rania yang khusus unyuk Hanif, Rania mendekat, baru pertama kalinya mereka dekat, sangat dekat, Rania meraih lalu menjabat tangan Hanif, dan mencium punggung tangan. Basah terasa, air mata Rania jatuh di punggung tangan sang mantan.

Semakin sakit rasanya, Hanif tak sanggup, ia melepas, "Semoga kamu bahagia, Assalamualaikum," Hanif pergi begitu saja.

"Wa'alaikumsalam." suara pelan dari Rania, Hanif tersenyum walau sangat jelas air matanya berlinang. Rania melihat kepergian Hanif, sampai benar-benar tak terlihat dan tak terdengar suara motor jupitternya. Mahis dan Rania berjalan.

"Aku tak percaya ini, kalian selama ini pacaran tapi tidak pacaran kuatnya, kok bisa ya tidak timbul gairah ingin ..." Mahis belum selesai, Rania faham.

"Karena kami jauh, dan ingat dosa, dia selalu mengajariku untuk tropeksi diri, bercermin dan melihat apa yang perlu di perbaiki," jelas Rania, Mahis tersenyum

"Eh, bagaimana sih, pengantinnya kok di tinggal. Kasian tau ..." Rania ingat Kanaya duduk sendiri di pelaminan.

"Biar saja," kata Mahis acuh, Rania mendorong Mahis, ia berjalan ke pelaminan tapi tak melihat keberadaan Kanaya. Mahis menyapa para tamu.

"Mungkin dia solat, ini juga sudah malam. Aku juga solatlah" ujar Rania.

Mahis berjalan masuk rumah.

Wajah lelah Mahis mengusap wajahnya dengan tangan, tangan kirinya mendorong pintu ia kamarnya.

'Aku, ingin mengusir, tapi Oma, ah, situasi genting, ah nginap di rumah Mas Rahmat saja,' fikir Mahis, tidak mau sekamar. Tapi ia ingat kejadian sore tadi saat Rahmat dan Jihan mengumbar kemesraan. Mahis pun hanya dapat menghela napas pasrah.

"Maaf, saya akan tidur di kursi." Kanaya mengambil bantal, walau satu ruangan Kanaya tidak melepas hijabnya.

Mahis melepas baju, dan membuat Kanaya gugup, suara telanan ludah terdengar.

"Jangan pernah mengira aku bisa membuka hati untukmu!" ujar Mahis mengambil map lalu memberikan map biru itu kepada sang istri.

"Ini apa?"

"Baca!" Mahis mengambil kaos lalu masuk kamar mandi.

Kanaya membuang nafas, lalu membaca.

(Perjanjian dalam pernikahan. Satu, kita hanya bermesraan jika di depan keluarga kita. dua aku dan kamu tidak memiliki larangan untuk bertemu dengan siapapun kita sama-sama bebas. 3 aku dan kamu tidak akan saling merepotkan Aku tidak akan meminta kamu untuk mencucikan bajuku atau melayaniku, kamu juga tidak boleh meminta sesuatu hal yang tidak mungkin aku lakukan yaitu memberimu nafkah batin. empat Aku tidak akan menceraikanmu walaupun kamu Meminta cerai, tapi aku bisa mengabulkan permintaanmu jika keadaan Oma membaik. Lima kita hanya berbicara hal penting atau keadaan darurat tentang pernikahan dan tidur terpisah. Enam ini hanya rahasia kita. Jika salah satu dari kita melanggar maka salah satu dari kita akan diberi hukuman dan mengabulkan segala permintaan dari yang tidak melanggar.)

"Aku sadar namun aku akan berusaha memperjuangkan bahtera ini. Bismillah."

Kanaya menghela napas lalu meletakkan kertas perjanjian dan segera berbaring di sofa, ia memejamkan mata.

'Ini sangat mengerikan, satu kamar dan rasanya setiap kali melihat, setiap kali bersamanya, jantung ku, jantungku, a ... heh. Berteriak di dalam hati, jantungku tak bisa di kendalikan, serasa copot dan berhenti berdetak. Ya Allah, dia terlalu seram ...' Kanaya mengusahakan agar ia terlelap.

Mahis ia memakai sarung dan baju takwa. Ia melaksanakan solat isya', setelah selesai ia mengaji dengan suara pelan.

'Aya kenapa kamu, tetap terjaga ayo mimpi, ayo mimpi datanglah,' batin Kanaya tersiksa.

Terdengar suara dari Mahis, ia selesai mengaji juz 26. Sekarang jam 22:30. Kanaya pura-pura tidur, dari tadi ia menahan rasa ingin pipis. Kanaya sudah tak tahan, ia bergegas ke kamar mandi, Mahis berdiri di depan pintu kamar mandi.

Kanaya bergoyang karena menahan pipisnya. Kanaya menatap melas.

"Kenapa kamu?" tanya Mahis acuh. Kanaya tanpa berkata menyrobot masuk ke kamar mandi. Mahis tersenyum miring lalu berbaring.

Sudah bermenit-menit Kanaya masih di dalam kamar mandi, "Aduh, keluar nggak ya? Dia sudah tidur tidak ya? Kacau." Kanaya bicara sendiri sambil menepuk-nepuk pipinya yang dingin. Kanaya membuat suara berisik sampai membuat Mahis yang sudah berbaring menghela napas kesal hingga bangun.

"Heh, kamu ngapain sih!"

"Ha, kok dengar sih." Kanaya menepuk jidatnya, mengambil nafas panjang dan mengeluarkan. "Kenapa yang kulakukan memalukan," gumam Aya mengeluarkan napas dan hendak menarik gagang pintu.

Klap!

Lampu padam Kanaya keluar saat Mahis menarik laci.

"Ahhh." teriak bersamaan. Mahis dan Kanaya bertabrakan dan terjatuh, tubuh Kanaya menindih tubuh Mahis.

Kanaya bergegas berdiri, "Maaf," ucap Kanaya mencari ponselnya, Mahis duduk di tempatnya terjatuh.

Kanaya menyalakan senter hpnya.

Mahis tak berdiri, kepalanya sangat pusing. Di dalam kamar berdua di kegelapan. Kanaya berbaring di sofa, mereka berdiam diri sampai setengah jam.

"Apa kau sudah tidur?" tanya Mahis yang lalu duduk di ranjang.

"Belum." Kanaya tidak bangun jarinya mencabuti bulu halus di sofa.

"Pernikahan ini sangat mendadak. Aku masih belum terima, maafkan aku menjadikanmu pelarian dan memanfaatkanmu. Agar penyakit Oma tidak parah." ujar Mahis, Kanaya duduk.

"Maafkan pula, aku tidak bisa lebih kepadamu, aku tidak bisa melakukan apa yang di lakukan seorang suami. Kewajibanku menafkahi mu, tapi aku tidak bisa menafkahi batinmu. Jika suatu saat nanti mantanku datang, aku akan tetap bersamanya walau aku sudah di khianati olehnya. Aku masih memaafkannya, aku masih ingin hidup bersamanya," pengakuan Mahis yang tidak mau berjuang untuk pernikahannya sangat menyayat hati Kanaya. Karena wanita itu mau menerima dan terus berusaha memperjuangkan ikatan pernikahan, mata berkaca-kaca, Kanaya segera menepis kesedihannya.

"Ehm, kenapa kamu sangat egois?"

"Karena kita sama-sama saling memanfaatkan dan membutuhkan. Kamu dan keluargamu hanya butuh uang dan aku demi kebaikan Oma."

Kanaya sadar betul akan ucapan Mahis, dia tertegun dan hanya dapat menahan tangis.

'Semua ucapannya memang benar, aku hanya memanfaatkannya karena uang dan untuk mendapat maaf dari Ibu.'

"Aku tidak perlu setiap waktu mengingatkan mu untuk berpura-pura mesra di depan Oma, ingat itu! Tanpa harus aku ingatkan kamu harus bisa bersikap baik dan romantis. Begitupun aku akan melakukan hal itu di depan keluargamu," kata Mahis dengan tegas.