Chereads / Cerdaslah Mencintaiku / Chapter 6 - Keluarga Rarendra

Chapter 6 - Keluarga Rarendra

Embun pagi baru saja menguap, Kanaya, Mahis dan Rafka berjalan bersama untuk pulang. Mereka memasuki rumah bercat putih salju.

"Assalamualaikum Oma," ucap Aya menghampiri dengan langkah cepat dan memeluk Omanya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Oma mengecup pipi Aya.

"Caper," gumam Mahis yang lalu meraih tangan Oma lalu masuk ke dalam rumah.

Sepeda motor scoppy terparkir, gadis cantik manis melepas helm, Aya menoleh kebelakang.

Gadis cantik itu berdiri di belakang Aya dengan tersenyum manis menyapa istri Mahis.

"Alisya," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

"Kanaya sering dipanggil Aya," kata Aya menjabat tangannya.

"O ... yang dibilang Rafka kan? Mau mengasuh Aidil?" tanya Oma, gadis itu tersenyum. "Mari," ajak Oma berjalan lebih dulu.

"Mbak istri dari kakaknya Rafka?" tanya Alisya.

"Iya," jawab lirih Aya.

"O ... kita bisa jadi teman?" ujar Aya berbisik agar tidak merasa canggung.

"Iya Mbak, aku baru saja kerja, aku yakin betah karena keluarga Rarendra keluarga baik dan religi," kata Alisa , Aya pun merasa seperti itu.

Keduanya masuk sambil tersenyum.

"Heh, cepat ganti baju lalu ikut aku. Ayam ... ayo cepat ganti, sudah ditunggu," ujar Mahis sambil menggigit apel. Panggilan itu sungguh menyebalkan dan membuat Aya malu. Aya bergegas ke kamarnya.

"Mahis!" seru Oma, Mahis berjalan melintasi Oma.

"Heh ... kamu kalau manggil istrimu dengan Ayam lagi, jangan harap kamu ketemu Oma!" ancam Oma sambil menarik telinganya.

"Ampun ... Oma stop deh," ujar Mahis menurunkan tangan Oma.

"Ayo sayang ... gitu lo," tegur Oma memberi contoh sambil menginjak kaki cucunya.

"A ... sudah bercandanya. Duh ... kenapa pakaianmu seperti itu," ujar Mahis yang lalu melihat Kanaya keluar dari kamar.

"Kalau begitu pilihkan sana," titah Oma.

"Ayo cepat," titah Mahis kembali ke kamar, Aya tersenyum kepada Oma lalu mengikuti langkah sang suami.

Ruang makan sangat ramai, Mahis berada di rumah besar dengan empat saudaranya, 3 ART, Oma dan dua gadis cantik yang satu suster dan satunya bany sitter. CEO ini anak kedua dari lima bersaudara, Rahmat kakak pertama memiliki rumah sendiri, sementara di rumah itu ada Fanan adik pas Mahis yang sudah menjadi duda anak satu, lalu si kembar Rafka dan Arga.

"Tante Isya ...." panggil Aidil langsung memeluk Alisya. Gadis ini sangat cantik.

"Halo ... saatnya makan ya, ayo makan," ujar Alisya sambil menggendong putra kecil Fanan.

"Oma juga saatnya makan," panggil Arina, mereka berbincang diruang makan.

Sedang di dalam kamar Mahis memilihkan baju untuk Anna. Jas ungu dengan celana komprang dan hijab senada sudah dipilihkan. Anna memakainya.

"Ayo ...." ajak Mahis tanpa memandang Aya. Aya melangkah di depannya lalu membenarkan dasi sang suami. Mahis menepis tangan istrinya.

"Ingat surat perjanjian!"

"Kalau tidak rapi nanti Oma marah, sudah sini," kata Aya yang lalu memandang suaminya. Tatapan singkat saling bertemu. "Aku cantik ya ...?" tanya Aya sambil mengembangkan bibir tipisnya.

"Hilangkan tuh kotoran coklat di gigimu." Mahis menepis dan melangkah panjang, Aya mengikuti dan bercermin dengan ponselnya.

"Tidak ada dasar tukang alasan," gumamnya. "Oma pamit ..." ujar Aya bergegas keluar, dan salipan dengan Arga, Arga hanya melihat mereka masuk mobil terburu-buru.

"Mbak Aya lebih cantik dari pada mantannya, semoga Mas Mahis segera mencintainya," gumamnya lalu masuk.

"Assalamualaikum Oma ...."

"Wa'alaikumsalam, dari mana saja? Sudah dua hari tidak pulang. Awasnya kalau membuat onar," tegur Omanya, Arga sungkem matanya tetap memandang wanita yang sedang membuatkan makanan gizi untuk Omanya.

Tin tin ....

Sudah jelas itu klakson mobil Ayahnya, Aidil lari Alisya mengikuti langkah Aidil lalu menggandengnya.

"Aidil ... Ayah kangen," ujar Fanan jongkok menyambut putra kecilnya dengan pelukan.

"Ayah ... muahc, muahc," Aidil mengecup semua wajah Ayahnya. Alisya hanya tertunduk.

"Apa Aidil nakal? Kamu juga pasti lelah dia aktif banget," ujar Fanan berdiri.

"Tidak nakal, kan malah sehat kalau lincah," jelas Alisya, mereka berjalan bersama hendak masuk ke rumah.

Drettt

Drettt

Fanan menghentikan langkahnya. "Ya Allah, maaf Dik, aku lupa, baik ... aku ke restoran sekarang," ujarnya.

"Ayah mau pegi lagi?" tanya Aidil yang merasa kecewa.

"E ... kalian ikut ya, nanti Ayah belikan mainan setelah rapat, Ayah rapatnya sebentar kok, lagian ada paman Rafka. Ayo Mbak Alisya," ajak Fanan, "Kalian tunggu di mobil Ayah pamit dulu," jelasnya berlari ke Omanya.

"Oma ... aku baru datang Rafka telpon. Ini mau rapat doakan ya," jelas Fanan sungkem lalu bergegas.

"Semua cucu-cucu mempunyai kelebihan dan kekurangan, Mahis memang dingin tapi dia sudah cukup disiplin dalam mendidik Adik-adiknya. Kalau Fanan sangat sopan dari dulu. Kalau Rafka walau dia culun dan pemuda beruang dia tidak menunjukkan kekayaannya. Kalau kamu Ga, sampai kapan kamu pengangguran. Lalukan hobimu yang sekiranya bisa membuahkan hasil gitu lo. Kamu harus mandiri Cucuku. Oma sudah ngik-ngik kalau napas. Heh ... Oma hanya ingin melihat kamu serius tapi ya me jadi diri sendiri. Oma sayang sama kamu, Oma peduli," jelas Omanya ke Arga, Arga tidak nafsu makan.

'Malunya ditegur dihadapan wanita yang aku incar. Heh ... Oma tidak memihakku. Arga ... sadar kamu memang perlu mrmperbaiki diri kalau mau mendekati Arina.' batinnya.

"Oma aku hobinya trek-trekan, Oma tidak memperbolehkan, padahal bisa dapat uang dengan cepat," ujar Arga, Omanya memegang dadanya.

"Oma yang tenang," ujar Arina sambil menuntun mengatur napas. Lalu mengambilkan air putih.

"Maaf Oma, ini aku mulai otodidak, aku akan belajar terjun seperti Mas Fanan. Nanti maksudnya. Aku tidak akan ngetrek lagi, tapi kalau patah hati obatnya itu lo Oma," jelas Arga, mbuat Arina tertawa kecil.

"Heh ... Oma mendukungmu Nan, eh Ga ... kalau trekkan nyawa juga. Jadi ya ... Oma tidak setuju. Kalau sakit hati memding makan tuh. Buatan Mbak Gifamu, pasti rileks," jelas Oma menunjuk toples.

"Mbak Gifa itu sangat handal. Mudah-mudahan Mas Hanan bisa membuka hati, " ucapan Arga sedikit nyambung tidak seperti biasa.

"Aamiin, Alhamdulillah sedikit naral cucuku ini," ledek Oma, kedua mata pemuda dan pemudi itu menatap Oma.

"Ya Allah, aku nalar," ujar Arga membuat Arina yang menyimak hanya merunduk. "Oh ya kemarin itu Rafka ditolak cintanya. Sekarang sekertaris songong itu tau kalau Rafka adik kandung Mas Mahis, dia terus menempel Ma, tidak tau malu kan?" jelas Arga, Oma menaikan wajah.

"Tapi ... Rafka bagaimana?" tanya Oma.

"Rafka sih ... tidak mau dengan wanita yang seperti itu. Orang pertama itu Rafka dibilang sadar diri, ngaca dulu. Dasar wanita matre itulah. Oh ya ... Mbak Arina bagaimana kabarnya? Sudah dua hari tidak jumpa, ada ... yang berbeda," ujar Arga menatap gadis itu.

"Apanya?"

"Jangan didengar dia pasti mau menggombal," ujar Omanya.

"Ya Allah gusti Oma, tau aja," ujarnya menutup mulut. Lalu melarikan diri.

"Sudah jangan dimasukkan hati Suster, dia memang seperti itu. Tapi ... bagaimana hubunganmu baikkan?" tanya Oma kepada Arina. Arina tersenyum.

"Alhamdulillah baik Oma," jelas Arina singkat.

"Aku ini inginnya Arga sukses baru deh boleh nikah. Aku takut kalau dia tidak mandiri, dia akan tergantung pada kekayaan keluarga, jadi ya ... harus membangkitkan rasa semangat dalam bertanggung jawab. Fanan memang menikah muda namun dia sudah mandiri sejak lama. Eh Suster Alisya orangnya bagaimana?" tanya Oma.

"Baik Oma, sangat ... baik. Selama dua hari ini walau Aidil bertingkah dia sangat telaten dan sabar," jelas Arina. Oma tersenyum entah apalagi idenya.