(Ryandra Lim)
Merasakan tangan seseorang mengguncang tubuhku, seseorang memanggilku. Aku membuka mataku. Mataku yang telah terbuka, melihat wajah Eriska yang memandangku dengan bingung. Aku kembali tersadar, aku masih berada di meja makan dan apa yang aku pegang di tanganku, sebuah topeng wayang menyerupai wajah manusia, berwarna putih, bibir merona merah dan mata kecil seperti bulir padi.
Mereka yang berada di meja makan menatapku heran. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku sebenarnya. Yang aku ingat, Paman Jay dan papa sedang berbincang-bincang membahas koleksi topeng milik papa. Paman Jay memintaku mengambil salah satu koleksi topeng yang tersimpan di ruang bawah tanah. Aku masih mengingat jelas, sangat jelas sekali. Sosok memakai jubah merah dan mengenakan topeng wayang menyerangku. Aku berada tempat yang aneh. Aku melihat sosok yang mirip denganku dan terakhir, sosok manusia yang dilempar sosok berjubah merah dan memakai topeng wayang.
Yang aku lihat seperti benar-benar nyata. Aku jatuhkan topeng wayang itu ke meja, tidak ingin melihat topeng itu lagi. Mata kecilku memandang wajah cantik Eriska yang menatapku bingung. Ketakutan yang menyeruak di dalam hatiku, takut kehilangan orang-orang yang aku cintai.
Ada tangan yang menepuk bahuku. Ku toleh ke samping, siapa yang menepuk bahuku. Ternyata Paman Jay.
"Ada apa Riri? Wajahmu pucat sekali, seperti orang ketakutan."
"Tidak ada apa-apa Paman. Aku hanya lelah aja," kataku berbohong.
Entah perasaan tidak nyaman apa ini, selalu mengusik dimana pun aku berada.
***
(Sebastian Xu)
Di kantor polisi. Aku menemui Anaya, tersangka yang menewaskan ketiga anak-anaknya. Wanita itu berada di sel lain, dipantau 24 jam oleh tim pengawas. Aku di sambut Pak David, seseorang di kepolisian. Kami berjabat tangan dan berbincang-bincang sebentar, menanyakan keadaan tersangka bernama Anaya.
"Bu Anaya, kami sudah mengintrogasi. Selama kami mengintrogasi, seperti ada yang janggal. Dia seperti orang aneh, tapi dia mengakui membunuh anak-anaknya."
"Anehnya seperti apa Pak David?" tanyaku penasaran.
"Saya juga kurang tahu. Mungkin seperti seseorang yang mengalami depresi berat. Tapi, dengan bantuan Pak Bash di sini. Selain anda sebagai seorang pengacara dan, ahli psikologi seseorang."
Aku mencoba memahami apa yang sudah di sampaikan Pak David, sebagian informasi yang didapatkan. Aku juga sudah melihat masa lalu Anaya dan keluarganya sebelum peristiwa pembunuhan terjadi.
"Kami ada rekaman CCTV saat kami mengintrogasinya."
Pak David mengantarku ke ruangan lain, di situ beliau membuka laptop dan membuka folder video CCTV. Aku bersama beliau melihat lagi video rekaman saat terdakwa Anaya sedang diintrogasi. Dari balik layar, aku bisa melihatnya. Wanita cantik berusia 20an, yang aku lihat sekarang berbeda sekali dengan yang aku lihat dikabut tabir masa lalunya. Tidak ada raut wajah bahagia lagi, hanya ada sorot mata kesedihan dan tatapan kosong, rambut panjang wanita itu dibiarkan tergerai.
Aku mendengarkan setiap percakapan yang terjadi di layar laptop. Wanita itu duduk di bangku, berhadapan dengan seorang polisi yang mengintrogasi.
"Pak, boleh saya minta minum? Saya haus," ujar Anaya pelan.
Polisi berbadan tegap itu mengambil segelas air, memberikannya pada Anaya. Wanita itu menenggak segelas air sampai habis, tak bersisa sedikit pun.
"Bu Anaya."
"Ya."
"Bu Anaya, kenapa anda tega bunuh ketiga anak-anak anda? Coba ceritakan, mungkin saya bisa bantu anda."
"Tidak bisa. Anda tidak bisa bantu saya, masalah saya sangat besar sekali."
"Maka dari itu, saya mau membantu Ibu."
"Tetap saja, anda tidak bisa membantu saya."
"Kenapa tidak bisa Bu?"
"Nanti anda juga ikut kena masalah, sama seperti saya."
Merasakan ada yang aneh dari ucapan wanita itu. Tapi entah apa itu, aku masih fokus pada layar laptop.
"Tidak akan Bu. Coba ceritakan, kenapa anda membunuh anak-anak anda?"
"Saya hanya ingin menyelamatkan mereka, biar mereka tidak disakiti lagi, tidak ada yang akan menyakiti mereka. Seperti saya yang pernah disakiti orang jahat."
"Nyatanya mereka sakit, sedih karena anda menyakiti anak-anak anda."
"Tidak. Itu tidak benar. Saya melakukannya agar dia tidak mengejar-ngejar anak-anak saya lagi."
"Siapa yang mengejar anak anda? Siapa yang menyakitinya? Suami anda?"
"Bukan. Suami saya jauh, dia merantau di seberang pulau. Saya takut sama bapak saya yang jahat. Dia selalu menyakiti saya, bahkan saat saya sudah berkeluarga."
"Kalau begitu dimana bapak anda?"
"Saya tidak mau kasih tahu."
"Kenapa tidak mau kasih tahu? Ini bisa meringankan hukuman anda."
"Tidak. Saya takut, nanti dia kejar saya lagi."
Wanita itu ketakutan sekali. Aku bisa melihat dari layar laptop, setiap gerak-gerik wanita itu. Kedua tangan bergetar, mata yang tidak fokus kesana-kemari. Apa ada yang mengancam wanita itu, sampai-sampai wanita itu berani membunuh dua anaknya? Suaminya bekerja di luar pulau, ayah dari wanita itu sering menyiksanya. Beban mental yang begitu berat, biasanya menciptakan ilusi lain atau bisikan dari seseorang yang sudah jatuh ke dalam kegelapan. Simpelnya, sisi tergelap manusia itu sendiri.
"Saya takut sama semuanya. Saya sakit saja tidak ada yang memperdulikan saya, cuma dia yang peduli sama saya. Tapi saya juga takut."
"Anda jangan takut, saya bisa bantu anda."
"SUDAH SAYA BILANG, ANDA TIDAK BISA BANTU SAYA!"
Wanita itu tiba-tiba mengamuk tidak jelas, dengan tangan yang masih terborgol. Wanita itu naik ke atas meja, menyerang seorang polisi yang mengintrogasinya. Seketika ruang interogasi menjadi ricuh. Butuh lima orang untuk menghentikan wanita itu yang menyerang anggota polisi yang diserangnya. Sebelum akhirnya bisa terlepas, wanita itu diseret kembali ke dalam sel penjara.
"Anggota kami yang mengintrogasinya, mengalami luka memar dan cakaran di beberapa bagian tubuhnya. Wanita itu benar-benar aneh. Terkadang seperti orang normal, terkadang menampilkan sisi sedih dan ini, dia mengamuk."
Aku bisa membaca dari gerak-gerik wanita itu di layar laptop, seperti dua orang berbeda, tetapi dalam satu tubuh. Sisi kegelapan yang mendominasi, mengendalikan wanita itu.
***
Aku putuskan hari itu juga, aku menemui Anaya. Wanita itu termangu, terdiam di pojokan sel penjara. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajah tirus wanita itu, terlihat cekungan dikelopak mata. Aku bisa melihat sosok bayangan gelap selalu menempel di dekat wanita itu. Aura yang begitu gelap. Keputusasaan, kesedihan dan marah saling bercampur aduk menjadi satu.
Pak David bersamaku melihat wanita itu di balik sel penjara. "Dia sudah kembali tenang. Saya meminta dokter kejiwaan ke sini, memberi obat bius agar tenang. Tapi, sepertinya bukan gangguan jiwa saja, hanya anda yang mungkin bisa dan kami tidak bisa."
Ku hembuskan napasku. Aura gelap yang dimiliki wanita itu terlampau besar. Mungkinkah aku bisa membantunya? Semoga saja bisa.
"Tolong buka pintunya, aku akan masuk. Aku akan mencoba bertanya baik-baik dengannya."
"Tapi Pak Bash, sangat berbahaya sekali," kata Pak David memperingatkan aku.
"Aku yakinkan semuanya akan baik-baik saja."
Mendapat persetujuan dari Pak David. Beliau membukakan pintu sel penjara, aku masuk ke dalam dengan pintu sel masih terbuka. Dua orang anggota polisi berjaga-jaga di depan pintu. Aku masuk ke dalam. Wanita itu masih terdiam di pojokan, tidak terganggu dengan kehadiranku.
"Anaya, senang berkenalan denganmu," ujarku ramah.
Wanita itu memalingkan wajahnya, menatapku dengan pandangan aneh. Dari sorot mata itu, ada kekosongan yang tak berujung. Aku melangkah mendekati wanita itu lagi, semakin dekat, hingga jarakku hanya beberapa senti. Aku bisa melihat bayang-bayang gelap yang selalu ada di dekat Anaya.
"Mereka memintamu kesini?" tanya Anaya datar.
Tatapan mata yang datar dan ada kekosongan di dalam sorot mata itu.
"Aku kesini hanya ingin membantu kamu. Bisakah kita berbincang-bincang santai?"
Setenang mungkin aku tidak ingin memancing kemarahan Anaya. Tapi, yang aku lihat saat ini adalah Anaya yang asli.
"Tidak perlu ada yang di bicarakan. Aku melakukan semua itu, karena semua itu benar. Aku tidak ingin anak-anakku mengalami kesakitan lagi. Mereka tidak akan disiksa lagi, seperti saya yang selalu disiksa oleh bapak saya."
Anaya memilin-milin kemeja, dengan kepala yang tertunduk dan rambut panjangnya menutupi wajah. Aku tidak bisa melihat wajahnya yang kian tertunduk.
"Aku tahu apa yang kamu alami itu sangat berat sekali. Aku melihat kebahagiaanmu, bersama ketiga anak-anakmu yang lucu dan suami yang sangat menyayangimu. Kamu dan mereka sangat bahagia sekali."
Anaya mendongakkan kepalanya, memperlihatkan sebagian wajahnya yang tertutup rambut panjang. Menampilkan senyuman yang aneh. Bukan senyuman kebahagiaan, raut wajah asli Anaya. Sesuatu telah mengambil alih tubuh Anaya lagi.
"Tapi Anaya sangat bahagia melihat mereka tertidur selamanya. Tidak ada lagi rasa sakit dan sedih, seperti kamu mengiklaskan istri dan putrimu pergi selamanya," ujar wanita itu tertawa aneh.
Aku yang berada di dekat wanita itu, tersentak dengan debaran jantung yang tidak karuan. Dia seperti tahu keluargaku, sesuatu yang sangat begitu tabu untukku sendiri. Mengingatkan masa lalu keluargaku yang berakhir tragis. Sosok yang mengendalikan Anaya, sengaja memancing kemarahanku. Aku menghembuskan napasku perlahan. Tidak ingin terprovokasi oleh sosok yang mengendalikan Anaya. Aku memilih keluar.
Tiba-tiba lampu-lampu di sekitarku mati dan menyala. Pak David dan kedua petugas polisi yang berjaga-jaga di pintu masuk berteriak padaku.
"Pak Bash, cepat keluar. Keluar Pak."
Aku melihat pintu jeruji itu tertutup dengan sendirinya. Mereka bertiga yang berada di luar berusaha mencoba membuka pintu jeruji itu, tetapi tidak bisa. Seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menutupnya.
"Di belakang anda."
Pak David yang berada di luar sel penjara, dengan wajah panik dan ketakutan, memperingatkan aku sesuatu di belakangku. Aku palingkan kepalaku ke belakang, melihat sosok Anaya berlari menerjangku. Keadaan di dalam sel penjara pun tidak baik-baik saja. Berkali-kali lampu mati dan menyala dengan jeda yang sangat cepat. Ditambah sosok Anaya yang sangat menyeramkan sekali. Rambut panjangnya menutupi wajah menjuntai, tubuh itu berlari ingin menerjangku.
Kekuatan di dalam tubuhku mengalir, dalam satu kali lambayan tangan, aku memasang tameng transparan. Tamengku yang seperti gelembung mementalkan Anaya, terlempar ke balik kegelapan. Mataku memejam, seperkian detik aku tidak mendengarkan suara Pak David dan dua petugas polisi. Ku buka mataku, aku sudah berada di dunia lain, dunia yang tidak akan bisa dimasuki manusia biasa.
Anaya, wanita itu tidak lagi menyerangku. Kepalanya terkulai ke bawah, rambutnya yang panjang menutupi wajah wanita itu. Tapi, ada sosok lain di belakang Anaya. Sosok wanita bergaun merah, tersenyum ke arahku.