(Ryandra Lim)
Sarapan pagi berjalan hening. Tidak ada percakapan di meja makan, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu. Papa sibuk sendiri dengan hanphone ditangan, mungkin urusan pekerjaan, Mama juga sama dan Kak Annabelle. Dia lebih banyak diam, sesekali menatapku penuh kebencian. Aku tidak nyaman dibenci oleh kakak ku sendiri.
"Aku sudah selesai makan." Kak Annabelle menyelesaikan makan sangat cepat, meski masih tersisa.
"Mama mau bicara dulu sama kamu, Anna. Duduk dulu."
Kak Annabelle duduk kembali dan menatap Mama. Aku sesekali memandang Kak Annabelle dan mama, setelah itu kembali fokus makan.
"Kuliah kamu ini bagaimana? Sudah dua tahun, tidak ada kejelasan. Kamu masih mau kuliah apa tidak? Mama turuti keinginan kamu."
"Aku tidak pernah minta untuk hidup normal, aku ingin menjalani kehidupan yang aku suka."
"Bisnis lebih baik, dari pada kamu mengikuti keinginan papa kamu." Mama melirik sinis papa. Papa yang mendapat tuduh, ikut menatap marah mama.
"Maksud kamu apa Ayu? Anna juga seorang Spirit Magis, sepantasnya dia mengikuti jejak Keluarga Lim."
"Keluargaku tidak menekankan anak-anaknya harus menjadi apa, menjadi yang lebih normal akan lebih baik," kata mama, mendongakkan kepalanya.
Aura permusuhan antara mama dan papa kembali terjadi. Saling melempar kata-kata pedas, saling menjatuhkan satu sama lain, bertengkar di depan anak-anak.
"Silahkan sepuasnya bertengkar. Pasangan serasi memang kalian, tidak berguna mendidik anak. Urus anak gila kalian." Kak Annabelle melontarkan kata-kata pedas pada mama dan papa yang bertengkar kembali. Pergi begitu saja.
"Anna, kamu jangan keterlaluan mengatakan adikmu gila," kata mama marah, tetapi Kak Annabelle keluar dari rumah membawa tas. Tidak mengindahkan perkataan mama.
Entah dia pergi kemana. Sudah dua tahun ini Kak Annabelle tidak menyelesaikan kuliah.
Kata-kata terakhir Kak Annabelle tadi, menyebut ku 'anak gila atau adik gila'. Ada rasa sakit yang menusuk hatiku tak kala kakak tersayang menyebutku adik gila. Sebesar apa bencinya Kak Annabelle padaku?
"Aku berangkat Ma, Pa."
Menyelesaikan makananku dan pamit sama papa dan mama.
"Jangan dimasukkan ke hati perkataan kakak kamu, biar saja dia seperti itu. Mau jadi apa dia nanti, menghina saudaranya sendiri."
Aku hanya menghembuskan napas, malas mendengar perkataan mama yang terus menyudutkan Kak Annabelle. Sikap Kak Annabelle tentunya karena mama dan papa yang pilih kasih pada anak-anaknya.
Buku dan laptop, semua sudah tersusun rapih di tas. Tidak ada yang tertinggal. Aku masuk ke dalam mobil dan berangkat ke akademik.
Jam 8 pagi, jalanan macet saja. Aku terjebak kemacetan yang sudah biasa, apa lagi jalanan Jakarta yang super padat dengan kendaraan. Aku berbelok ke kiri, mengambil jalan alternatif menuju akademi. Untungnya aku tidak terkena macet, jalanan sedikit lengang. Aku menambah kecepatan di jalanan yang lengang. Tak menyadari ada seorang wanita menyeberang jalan. Aku menginjak rem, hingga menimbulkan decitan. Jantungku berpacu sangat cepat, hingga bernapas pun aku tersendat-sendat.
Apa aku menabrak seorang wanita? Apa aku menabrak pejalan kaki? Bagaimana ini? Aku hendak keluar dari dalam mobil, tetapi sosok wanita itu berdiri di depan mobilku. Mataku membulat sempurna. Sosok wanita yang aku tabrak, sosok wanita bergaun merah yang selalu hadir di mimpiku. Wanita bergaun merah itu menatapku tajam. Dia naik ke atas kap mobil, merangkak ke atas. Hawa dingin yang entah datang dari mana, membuat bulu kudukku berdiri.
Tatapan dan aura tajam itu, bibir semerah darahnya yang menyunggingkan senyuman. Kuku tangan yang panjang menghantam kaca mobilku sampai pecah. Tapi, tangan wanita itu tidak berdarah sama sekali. Tangan wanita itu menarik tengkuk leherku, aku merasakan kuku-kuku tajam itu menusuk leherku, sengatan saat kuku panjang itu menusuk sakit sekali.
Rasa sakit di leherku tidak seberapa. Yang paling aku takutkan, tangan wanita itu menarik kepalaku, ingin membenturkan kepalaku ke kaca mobil. Aku tidak bisa membayangkan jika kepalaku berdarah, hanya bisa memejamkan mata, pasrah dengan nasibku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa. Aku hanya mendengar suara klakson kendaraan yang nyaring. Perlahan aku membuka mataku. Tidak terjadi apa-apa. Kaca mobil tidak pecah, kendaran di belakangku tersendat karena aku berhenti mendadak di lampu merah yang sekarang sudah hijau.
Mungkinkah aku hanya berhalusinasi saja? Aku kembali hampir dibuat terkejut, wanita yang menabrakku berdiri, menatapku kesal dan mengomel tidak jelas. Ternyata wanita itu bukan sosok wanita bergaun merah. Sadar aku telah membuat kemacetan. Aku kembali menjalankan mobil, beberapa meter aku menepikan mobil di pinggir jalan.
Kejadian tadi membuat detak jantungku berdetak cepat, seakan paru-paruku kesulitan memasok udara. Untungnya aku selalu membawa obat di dalam tas, di saat sesakku kambuh. Aku mengambil inhaler di dalam tas, menyemprotkannya ke dalam mulut, aku menghirup udara. Merasakan dada ku tidak sesak lagi, kembali membaik.
Hari ini pikiranku sangat kacau sekali. Aku menundukkan kepalaku disetiran mobil, menenangkan pikiranku yang kacau. Sekitar lima menit kemudian. Aku merasakan bahwa aku sudah baik-baik saja. Sosok wanita bergaun merah itu mencengkram tengkuk leherku. Aku meraba-raba tengkuk leherku, merasakan tidak ada bekas luka tusuk di sana. Memang benar, aku sedang berhalusinasi. Aku kembali melanjutkan perjalananku yang sempat tertunda.
***
Sesampainya di akademik, aku parkirkan mobil di basment bawah. Tidak begitu banyak mobil yang di parkir di sini. Bukannya aku keluar dari dalam mobil. Pikiranku berkelana ke kejadian beberapa menit yang lalu. Aku yakin sekali, tadi aku menabrak wanita itu. Wanita yang selalu ada di mimpiku.
Kaca jendela mobil di sampingku ada yang mengetuk. Saat aku melihatnya, tidak ada siapa-siapa. Aku mulai was-was, sudah kapok aku dihantui wanita bergaun merah itu. Entah dia sosok nyata atau bukan. Atau seseorang yang aku kenal. Aku putuskan untuk tetap di dalam mobil.
Tiba-tiba aku melihat jari-jari tangan merangkak di atas kap mobil. Jantungku kembali berdetak cepat. Sosok tangan itu semakin terus merangkak dan...
"HUAAAAA."
Hampir saja jantungku berhenti berdetak. Siapa dalang di balik sosok tadi yang menakut-nakutiku di basment. Siapa lagi kalau bukan teman menyebalkanku, orang yang selalu jahil dan mengerjaiku. Si otak udang, dengan tingkah kebodohannya. Noah Chandra tertawa terbahak-bahak, menampilkan deretan gigi rapihnya, rambutnya yang selalu kusut. Mungkin dia jarang mandi hingga malas membersihkan diri. Itu yang aku ketahui dari teman menyebalkan ku ini.
Aku membuka jendela kaca, memasang wajah datar. Tak aku hiraukan tawanya yang sudah berhasil mengerjaiku. Ingin rasanya aku menghajar wajah menyebalkan.
"Ya ampun Riri, tidak perlu memasang wajah tegang seperti itu. Wajah tampanmu tetap membuat gadis-gadis suka padamu."
Aku tetap tidak akan menanggapi bualannya itu. Lihat saja, dia malah makin tertawa keras. Untung saja basment saat ini sepi, jika ada orang yang melihatnya tertawa. Mereka mengira Noah orang gila dan aku berteman dengan orang gila.
Muka ku semakin masam melihatnya tertawa tanpa henti. Aku membuka pintu mobil kasar hingga mengenai wajah jelek Noah. Sebenarnya dia tidak jelek-jelek juga. Masih terbilang tampan, dengan alis yang sedikit tebal dan mata belonya, berbeda denganku yang memiliki mata sipit.
Aku tidak menghiraukan rengekannya, memegang pipi yang terkena hantaman pintu mobilku.
"Noah Sialan. Tidak ada yang mau dengan laki-laki kasar seperti kamu."
Dia sebenarnya memuji atau menjelekkanku? Memang aneh dia. Dan aku tidak memperdulikan rengekannya. Aku mengambil tas di dalam mobil dan pergi meninggalkannya sendirian. Tapi tetap saja Noah mengikutiku dari belakang sambil menggerutu. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum kecil, meski dia tidak menyadarinya.
Entah mengapa aku bisa berteman dengan anak bodoh ini. Sesampainya di ruangan, aku menempati kursi di samping jendela dan bocah itu juga ikut duduk di belakangku.
"Ya ampun. Aku lupa tidak mengerjakan tugas, Profesor Theo pasti akan marah."
Aku mendengar rengekannya lagi. Melihat Noah yang ketakutan setengah mati, lebih takut dengan Profesor Theo dari pada hantu. Aku memberikan buku ku pada si bodoh itu, dari pada tidak mengerjakannya. Bukan berarti aku membantunya, hanya karena kasihan saja.
"Terima kasih Riri, kamu teman terbaik aku."
Aku tidak membalasnya, hanya mendengus.