(Sebastian Xu)
Badanku tertekan ke dinding, sulit sekali aku melepaskan diri. Seperti ada magnet kuat yang membuatku terpaku di dinding. Sosok wanita bergaun merah muncul di balik kegelapan. Bibir merah ranum menyunggingkan senyuman mengejek. Aku melihat John berdiri, mencabut perlahan pecahan kaca yang cukup besar menusuk perutnya, melemparnya ke sembarang tempat. Dia berjalan tertatih-tatih, darah menetes di sepanjang jalan. Mata sayu pria itu semakin sayu. Tapi, aku melihat keteguhan di dalam mata itu.
Tak kala Anaya mengamuk kesana-kemari, tidak menggentarkan John untuk tetap menghampiri Anaya. Tekad yang sangat kuat sekali. Tapi Anaya dikuasai kegelapan. Angin ribut menghempaskan apa saja yang ada di dalam rumah. Sekuat tenaga, aku mengalirkan kekuatan spirit ke seluruh tubuhku. tekanan berat yang menghantam tubuhku menghilang. Aku bisa bergerak lagi.
Barang-barang bertebaran kemana-mana. John merintih kesakitan, menahan pecahan kaca yang menusuk perutnya. Sebuah balok kayu terbang, mengarah ke John. Tanganku terentang ke depan, tameng transparan melindungi John dari hantaman kayu.
John menatap nanar istri tercintanya yang mengamuk. "Na-na-naya, maafkan aku, apa yang sudah aku lakukan padamu. Semua salahku. A-a-aku minta maaf."
Anaya meraung bagaikan hewan buas, berlari ke arah John. Kuku tangannya yang memancang siap mencakar wajah John. Aku dengan sigap, mencengkram kedua lengan wanita itu.
Anaya menyunggingkan senyum mengerikan. Tanda adanya bahaya. Tubuhku terangkat dan terlempar membentur dinding. Anaya begitu kuat sekali saat dirasuki kegelapan. Tidak gentar, ingin menyerang John. Tanganku terentang ke depan, gelombang kejut membuat Anaya terpental dan mendarat keras di lantai.
"Anaya." Erangan pelan, John menatap kasihan istrinya.
Anaya kembali berdiri, merasa tidak terjadi apa-apa. Anaya meraung sekali lagi dan berlari ke arah John. Aku sekali lagi memberi gelombang kejut. Tapi, Anaya bisa menghindari gelombang kejut ku. Sedikit lagi Anaya berhasil mencapai Eka, sayangnya terhalang oleh tameng transparan yang aku buat. Anaya meraung-raung marah, memukul dan mencakar tameng ku. Tameng ku tidak muda dirusak begitu saja.
Kesempatan bagus. Aku mencekal tangan Anaya, agar wanita itu tidak menyerang. Tanganku yang satunya memegang kepala Anaya, aku masuk ke dalam alam bawah sadar Anaya.
Aku melihat Anaya meringkuk di pojokan sebuah ruangan gelap, hanya menyisakan cahaya yang menerangi Anaya. Memilih berada dikesendirian di balik kegelapan. Samar-samar aku melihat John bersama kedua anak-anak mereka mengulurkan tangan. Seakan adanya cahaya kehangatan, menerangkan ruangan yang gelap. Anaya masih sangat mencintai John, sisi gelapnya kian menghilang. Aku kembali lagi ke dunia nyata, melihat John dan Anaya.
Guratan hitam di wajah dan badan itu mulai menghilang, bola mata putih kembali normal. Anaya kembali tersadar, dengan membawa kesedihan dan keputus asaan.
"Maafkan a-a-aku, Nayaku sa-sa-sayang." John terbata-bata. Mereka berdua jatuh ke lantai bersamaan, dengan kesadaran mereka yang kian mengikis. Tameng transparan yang melindungi John menghilang.
Keadaan mereka berdua tidak sadarkan diri, yang lebih parahnya, John mengalami pendarahan diluka tusukan. Aku menghubungi ambulan, menunggu ambulan yang masih di perjalanan. Aku merobek asal kain gorden dan menekan luka diperut John yang masih mengucurkan darah.
"Hei kamu, bantu aku. Aku ini lebih tua, aku juga terluka ini," rengek Pak Inara memegang pahanya yang berdarah.
Sebenarnya aku malas meladeni pak tua itu, tetapi aku tidak bisa berdiam diri saja. Aku mengikat keras kain diperut John, menghentikan pendarahannya, setelah itu aku mengobati luka dikaki Pak Inara. Menulikan pendengarannya, dari pada mendengarkan ocehan memuaskan. Toh pak tua itu akan mendapat ganjarannya.
Terdengar sirine di luar sana. Satu persatu, petugas rumah sakit membawa brankar, menempatkan John dan Anaya di atas brankar.
"Hey, kenapa kalian tidak menolong aku? Malah menolong wanita kesurupan itu. Penjarakan dia, dia yang membuat saya hampir mati," Pak Inara mengoceh tidak jelas, menunjuk perawat dan polisi.
Tanpa disangka, yang membuat Pak Inara terkejut. Kedua polisi memborgol tangan Pak Inara.
"Apa-apaan ini? Saya tidak salah, tapi wanita gila itu yang mengamuk dan melukai saya."
"Maaf, Pak. Anda kami tangkap atas perbuatan kekerasan dalam keluarga."
"Apanya yang kekerasan? Saya mengajarkan anak dan cucu saya yang benar."
Kedua polisi itu membawa Pak Inara keluar, tidak peduli rontaan dan mulut cerewet pak tua itu terus berkomat-kamit. Yang terpenting, masalah ini menemui titik akhir. Pak Inara kemungkinan akan di penjara, sedangkan Anaya mungkin juga di penjara atas pembunuhan kedua anak-anaknya. Kemungkinan bisa di ringankan karena depresi atau... akan berat, karena ini sesuatu yang tidak orang biasa pahami.
Aku kembali ke lantai bawah. Pandanganku tertuju pada sebuah pintu yang terbuka sendiri. Aku melihat sekilas sosok wanita bergaun merah berada di ruangan yang pintunya terbuka. Aku baru sadar, wanita tadi menghilang begitu saja. Rasa penasaran, aku masuk ke dalam ruangan itu.
Apa yang aku lihat benar-benar membuatku terkejut. Bau kemenyan dan wangi-wangian yang menusuk Indra penciumanku, membuat ku sedikit pusing. Aku menatap sekeliling ruangan ini. Di lantai aku melihat sebuah lingkaran membentuk pentagram, dengan di tengah ada gambar kepala kambing. Aku tahu ini apa. Gambar ini biasa di gambar untuk melakukan ritual pemujaan iblis. Di atas meja, aku melihat sebuah persembahan dan wangi-wangian. Mungkin ini adalah altar persembahan.
Mataku menangkap sesuatu yang sangat menarik. Sebuah topeng wayang berwajah manusia. Wajah putih, bibir merah ranum yang tipis, bulir mata kecil menyerupai padi. Aku menyentuh topeng wayang itu.
Seperti ada kilasan gambaran yang aku lihat. Sosok wanita bergaun merah itu muncul dengan samaran yang tidak bisa aku lihat jelas. Penglihatan beralih ke sebuah ruangan, ada sosok pria berpakaian merah, duduk di sebuah kursi. Hanya sekilas. Aku tidak bisa melihat wajah pria itu. Gambaran kembali sesuatu yang aku lihat. Seorang pria juga, pria itu meringkuk di pojokan. Aku melihat tatapan matanya yang kosong, seakan kenangan bahagia hilang dari sorot mata itu. Aku tidak bisa melihat begitu jelas sosok pria itu, karena gambaran itu sudah berganti. Pemandangan yang berbeda. Di atas gedung tinggi. Aku melihat siluet dua orang, seseorang berbadan ramping dan satu orang lainnya berada di balkon. Sosok ramping itu menjatuhkan sosok lainnya ke bawah. Sekilas aku mendengar jeritan tidak aku kenal. Dan kilasan penglihatan itu menghilang begitu saja. Menyisakan ruangan hening dan bau wangi-wangian.
Suara jeritan dan gambaran itu mengingatkan aku pada masa laluku yang kelam, masa lalu yang tidak ingin aku lihat lagi.
***
(Ryandra Lim)
Perasaan tidak nyaman itu kembali lagi. Sosok wanita bergaun merah dan sosok manusia yang di lempar dari atas ketinggian. Terakhir, sosok diriku yang lain, menatap sedih dan nanar.
Aku terbangun dari tidurku, merasakan keringat membasahi kaos yang aku pakai. Rasa sakit di kepala yang kembali menjalar. Tanganku dengan sendirinya memegang kepala, merasakan denyut yang masih terasa. Rasa sakit itu membuat detak jantungku berpacu, sedikit merasa sesak. Aku menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan diri. Merasakan denyut di kepalaku mereda. Aku bisa melihat jelas, saat ini aku berada di mana.
Nuansa cat dinding yang didominasi warna biru gelap. Aku turun dari tempat tidur, berjalan ke arah cermin besar. Aku memandang diriku di depan cermin, dari balik cermin aku bisa melihat wajahku sendiri yang begitu mengerikan sekali. Lingkaran hitam di pelupuk mata kecilku dan wajahku yang sedikit pucat. Mimpi itu seperti hantu yang selalu menggangguku setiap malam.
Aku berjalan ke kamar mandi, menyalakan keran. Percikan air yang turun. Teringat sosok diriku dan dua sosok lainnya masih menempel di kepalaku, seakan sulit ingatan itu lenyap di kepalaku. Aku membasuh wajahku, agar aku terlihat lebih segar, tidak seperti orang yang sakit. Pikiranku masih berkelana, rasa penasaran yang kian membesar. Aku keluar dari kamar, berjalan-jalan tak tentu arah di dalam rumah.
Bisik-bisik aku mendengar suara Kak Annabelle yang tengah berdebat dengan papa, aku melihat di balik pintu ruang kerja papa yang sedikit terbuka. Aku melihat Kak Annabelle berdebat dengan papa, seraut wajah marah tertuju pada papa.
Aku mendengarkan seksama apa yang mereka perdebatkan.
"Terserah Papa, kalau di pikiran Papa dan Mama hanya ada Kak Kristal dan Ryan. Aku tidak pernah dianggap oleh kalian."
Kenapa namaku dibawa-bawa.
Ya. Aku dan Kak Annabelle, hubungan kami sebagai saudara semakin memburuk. Setiap kali aku pulang ke rumah, tatapan Kak Annabelle padaku penuh dengan kebencian. Aku kembali mendengar Kaka Annabelle dan papa masih berdebat.
"Kita dari Keluarga Bangsawan Magis, kamu memilih kuliah, menjadi orang normal. Jangan dengarkan mama kamu. Anna, kamu punya bakat sebagai Spirit Magis."
"Papa pernah tidak, sekali saja bertanya sama aku. Apa yang buat aku nyaman? Memilih menjalani hidup normal, seperti mereka. Yang ada di pikiran papa hanya Kristal dan Ryan."
"Kamu jangan seperti itu sama saudara kamu. Ryan sakit dari kecil, harusnya kamu mengerti keadaan adik laki-laki kamu. Kristal, dia punya kehidupannya sendiri dan sekarang sudah berkeluarga."
Aku masih mendengarkan seksama, papa yang masih menyalahkan Kak Annabelle. Hatiku merasa tak tega melihat Annabelle di perlakukan tidak adil.
"Lihat kan. Papa tidak mempermasalahkan jalan hidupnya Kristal. Dia punya kehidupan sendiri, aku juga punya tujuan dan kehidupan sendiri. Aku tidak mau berada di keluarga kuno seperti ini. Biarkan putra gila Papa yang meneruskan Keluarga Bangsawan Lim, sebagai Spirit Magis."
"Ryan adik kamu, Anna. Adikmu sakit mental, bukan gila." Papa membentak Kak Annabelle yang menatap benci. Papa menghembuskan napas pelan. "Kamu ini, selalu saja seperti itu. Kamu punya potensi besar sebagai Spirit Magis, belajar dan latih kekuatan kamu di tempat yang terbaik. Untuk apa kamu mengikuti kemauan Mama kamu, sekolah normal."
"Papa dan Mama sama saja, mementingkan diri kalian sendiri. Kalau begitu, papa silahkan berdebat dengan mama. Aku tidak mau diatur oleh kalian."
Setelah Kak Annabelle puas mengeluarkan semua unek-uneknya. Keluar dari ruang kerja Papa. Tak sengaja aku yang mengintip mendengarkan pertengkaran mereka, terkejut dengan tatapan Kak Annabelle. Ada kobaran api kebencian yang tertuju padaku. Tanpa mengatakan apa pun, Kak Annabelle pergi begitu saja.
Aku sempat melihat seperti bayangan gelap mengikuti Kak Annabelle dari belakang. Aku tidak tahu bayangan gelap apa itu yang terus mengikuti Kak Annabelle. Terlepas dari bayangan gelap yang membuatku terpikirkan. Fakta lainnya, Kak Annabelle begitu membenciku dan Kak Kristal.
Dulu, Kak Annabelle sangat menyayangiku. Aku memiliki riwayat penyakit mental dan penyakit bawaan dari Mama, Kak Annabelle yang selalu merawatku dikala penyakitku kambuh. Saat aku memasuki perkuliahan, penyakit ku kembali kambuh. Aku kembali di rawat di rumah sakit. Selama itu juga, tanpa ada raut kebencian. Dia orang pertama yang mengkhawatirkan aku, merawatku dengan tulus di banding Kak Kristal yang sudah berkeluarga. Kak Kristal begitu sibuk dengan keluarganya, tidak ada waktu luang untuk melihat adik-adiknya.
Aku sedih, harus kehilangan sosok yang selalu menyayangiku. Aku tidak ingat, berawal dari mana kebencian Kak Annabelle padaku mulai tumbuh.