Di rumah Qonin layaknya kontrakan berukuran 9x3 Meter, di dalam dibagi menjadi 3 ruang. Di sekat pertama menjadi ruang tamu, di sekat kedua itu menjadi tempat tidur, kalau siang buat tempat berkumpul dan makan keluarga. Sedangkan terakhir paling belakang menjadi kamar mandi, dapur menjadi satu.
"Buk, Satrio belum bayar SPP selama 3 bulan, besok harus bayar 500 ribu, Buk," rengek Satrio adik Qonin.
"Haduh!! Rio, Ibuk mana ada duit. Makanya sekolah yang pintar agar bisa dapat beasiswa seperti mbak Qonin," seru Narti.
Qonin berhenti di depan rumah, suara Narti yang cukup keras itu sampai terdengar di telinga Qonin.
"Minta Bapak lah Buk. Satrio malu ini sering ditegur sama wali kelas, kalau Rio dikeluarkan sekolah bagaimana?" protes Satrio yang sudah tidak tahan menahan malu dipanggil wali kelas, belum lagi cemoohan dari teman-temanya.
"Bapak mana ada uang sebesar itu, cukup buat makan sehari saja sudah untung. Biarlah kamu keluar, nanti biar bisa bantu Bapak jualan koran to," jawab Narti terlihat enteng, padahal dalam hatinya dia sekuat tenaga menahan pedih mendengar keluhan anaknya.
"Tidak mau, Buk. Satrio ingin sekolah!!! Pokoknya ingin sekolah!!!" teriak Satrio itu menambah pedih hati Narti.
Qonin merasakan hal yang sama, dia hampir terhuyung mendengar soal kekurangan uang, meskipun sudah sering mendengarnya tetap saja membuatnya sedih.
"Haishhh!! Qonin!! Apa yang kamu lakukan di rumah?? Ayo!! Jualan koran, cari uang!!" gumam Qonin menyemangati diri, dia berbalik untuk membantu Bapaknya yang jualan koran di perempatan lampu merah yang berjarak 30 menit dari rumah.
"Sebagai anak sulung bahumu harus kuat!!! Semangat Qonin!!" ucap Qonin mencoba menepis pikirannya yang kacau akibat pertengkarannya dengan Cika.
Dan 30 menit sudah Qonin menempuhnya dengan jalan kaki, dia sampai juga di tempat Bapakanya yang berjualan, dia melihat Bapak masih menawarkan tumpukan koran.
"Nak, kamu sudah pulang?" tanya Darman, bapak Qonin.
"Sudah Pak. Bapak istirahat saja dulu, biar koran ini Qonin yang jual," ucap Qonin tersenyum, dia selalu riang di depan keluarganya.
"Iya, Bapak istirahat sebentar ya. Dari pagi sepi hanya 3 yang laku. Kamu jangan terlalu memaksakan diri, jika merasa capek bilang sama Bapak ya," ucap Darman tersenyum.
"Tenang saja Pak, Qonin kan masih muda dan kuat. Jadi serahkan semua ini kepadaku," timpal Qonin bersemangat.
Darman mengangguk dengan senyuman yang lebih lebar, seolah keluhan dia sebelumnya terpecahkan ketika melihat semangat Qonin dan dia selalu bangga dengan anaknya itu.
"Koran!!! Korannya Bu!!! Info murah dan terkini!!! Siapa mau beli koran!!!" teriak Qonin menyaingi deru mobil di parkiran rambu lalu lintas.
Pengemudi mobil Avanza menurunkan kaca mobil, dia berseru, "Hoi!!!"
Qonin merasa dirinya di panggil langsung menghampiri pengemudi tersebut, dia menawarkan koran, "Koran kak."
"Berapa harganya?" tanya pengemudi tersebut.
"5000 Kak," jawab Qonin dengan mata berbinar, akhirnya ada juga yang beli.
Pengemudi tersebut melempar uang 5 ribu, lalu menyambar koran ditangan Qonin. Bukan dibaca, koran itu dia pakai lap tangannya yang berminyak. Kemudian membuangnya keluar jendela secara sembarangan mengenai kepala Qonin yang memungut uang di trotoar.
"Sabar!!! Yang penting dia sudah bayar, masalah koran buat apa ya terserah dia," gumam Qonin mendinginkan hati serta kepala setelah melihat kelakuan tidak pantas dari pengemudi Avanza tersebut.
Lampu rambu sudah berubah 5 menit yang lalu bersamaan hilangnya pengemudi Avanza, kini muncullah pengemudi baru menggunakan motor matic gede di trotoar dekat Qonin berdiri.
"Koran kak!! Atau majalah bobo buat adik, keponakan atau mungkin anak," tawar Qonin tersenyum manis.
Pengemudi motor adalah seorang wanita modis nan keren itu melirik Qonin dengan tertawa miris, dia menimpalinya, "Hei Mbak, ganti profesi saja. Sudah tidak laku koran di zaman serba teknologi canggih saat ini. Percaya deh!! Orang pasti memilih baca berita melalui gawainya!!"
Qonin hanya bisa tersenyum, dia sudah tahu itu jauh sebelum mulai membantu Darman. Tapi tetap saja dilakukan, karena memang hanya cara itu untuk mencukupi kehidupannya.
"Jadi kakak mau beli tidak?" tanya Qonin masih mengulas senyumannya.
"Hehe tidak Mbak," jawab pengendara tersebut sambil membatin, gajian masih 2 minggu lagi, mana duit habis lagi buat bayar tagihan, ini saja makan minta gratisan.
"Ahh iya Kak," jawab Qonin berlalu sembari menawarkan koran dengan orang yang ada di belakangnya.
Selama 2 jam sudah Qonin menjual koran, tapi hanya 1 orang saja yang beli, itu pun korannya dipakai lap dan harus Qonin lagi yang membuatnya ke tempat sampah.
"Duh!! Mana hari sudah hampir sore lagi, mana cukup buat bayar SPP Satrio?" keluh Qonin memandangi tumpukkan koran di tangan, belum lagi kakinya yang pegal karena capek berdiri, ditambah panas dari kombinasi terik matahari dan asap kendaraan.
"Memang sepi, Nak. Dari pagi bapak cuman dapat 20 ribu, tapi syukur Alhamdulillah cukup untuk beli beras sekilo sama telur seperempat. Ayo pulang!!" ajak Darman.
"Ahh!! Bapak dulu saja, Qonin mau coba pindah di perempatan dekat Mall depan sana, siapa tahu laku keras," Qonin menolak ajakkan Darman dengan lembut, semangat sore itu masih ditunjukkan olehnya.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya, Nak. Jangan paksakan diri, jika sepi langsung pulang saja," saran Darman sambil mengusap lengan Qonin.
"Iya Pak," jawab Qonin masih mengangkat kedua sudut bibirnya, ketika dia melihat punggung Darman menjauh senyuman itu berubah trenyuh dengan cara jalan Darman pincang akibat kecelakaan di tempat kerja 3 tahun silam.
Airmata Qonin mulai jatuh, dia menghela napas berat, dia pernah berharap untuk berhenti menjalani semua ini dan menyerah.
"Tidak Qonin!! Jangan menyerah sekarang!! Ayo berjuang!!" gumam Qonin menyeka sisa airmata, lalu dia pergi ke perempatan berikutnya.
Trotoar kota itu terdapat parit cukup dalam setinggi orang dewasa, Qonin hampir sampai di perempatan Mall.
"Tin!!! Tin!! Minggir Woi!!" seru pengguna jalan liar naik sepeda motor di trotoar.
"Eh ... eh!!!! Aduh sakitnya!!" seru Qonin jatuh terserempet spion motor yang gagal menghindar saat motor melaju kencang, otomatis koran di tangannya berserakan, apesnya paling banyak jatuh di parit.
"Hoi Bang!! Lu kira trotoar ini lintasan balap!!! Gila Lu!!" umpat kosong Qonin ketika si pengendara sudah tidak terlihat mata.
"Dasar Gelo!! Panon dina burit!!!" umpat keras dari Mang Asep dengan bahasa Sunda membuat Qonin melongo, "Sini Neng, Mang bantu berdiri!!"
"Makasih Pak," ucap Qonin tersenyum, dia sudah berjongkok mengambil beberapa koran di jalan.
"Jangan atuh panggil pak, panggil saja saya Mang Asep," protes Asep, dia kasihan melihat Qonin memungut koran yang kotor terlindas ban mobil, "Itu kotor Neng, mana bisa dijual lagi?"
"Hehe iya Mang, salam kenal. Saya ambil dulu Mang, nanti dipilih lagi yang bagus agar bisa dijual, lumayan bisa buat tambah bayar SPP," jawab Qonin yang masih sibuk mengumpulkan koran.
Asep merasa iba melihat Qonin yang masih memakai seragam sekolah terpaksa mencari uang, "Berapa biayanya Neng, kalau boleh tahu?"
"500 ribu Mang," jawab Qonin, dia menyusun halaman koran dengan cepat sehingga pertanyaan Asep dia jawab singkat saja tanpa ada pemikiran lain.
Duhhh!! Mana aku hanya bawa 200 ribu lagi, tapi kasihan si eneng ini, batin Asep mengernyitkan dahi untuk berpikir, selang berapa detik mendadak cerah.
"Aha!! Neng mau kerja?" tawar Asep.