Selepas magrib, seseorang yang di luar dugaan Reygan, muncul di pintu dengan tergesa. Langkahnya tergopoh-gopoh. Wajahnya penuh keringat. Seakan dia habis lari dari bandara menuju ke rumah sakit.
"Mas Dikta habis lari dari bandara?" Aneska bertanya takjub, alih-alih menyapa.
"Iya."
Eh, sungguhan ternyata. Reygan mencoba menghitung jarak bandara ke sini. Seniat itu? Memangnya tidak ada transportasi satu pun? Seolah orang ini baru saja time travel dari zaman purba ke zaman serba modern ini/
Mas Dikta mendekat ke ranjang, melewati Reygan begitu saja. Fokusnya memang hanya tertuju pada Aneska. Oke, Reygan cuma angin di sini.
"Jahat banget nggak ada yang ngabarin kalau kamu sakit." Mas Kinan mungkin baru mengabarinya kemarin.
Aneska tersenyum. "Duduk dulu, Mas. Kamu kelihatan capek."
Reygan menuju kulkas, mencoba bersikap peka, mengambilkan sekaleng soda untuk Mas Dikta. Dia menerimanya sambil berterima kasih. Lalu kembali lagi ke Aneska. "Lupus itu nggak-"