"SAH," suara beberapa kerabat yang menjadi saksi pernikahan Elisa dan Jonathan yang digelar di sebuah Kantor Urusan Agama. Semua nampak tersenyum puas ketika sang penghulu menyatakan pernikahan keduanya sudah sah dimata hukum dan agama. Sekarang mereka telah resmi menjadi sepasang suami dan istri.
Penghulu mengucapkan doa sementara semua peserta mengaminkan. Doa yang mengharapkan pasangan ini bahagia selamanya. Elisa segera menandatangani sebuah dokumen resmi yang menjadi awal terbentuknya hubungan yang lebih dekat diantara mereka. Jonathan juga nampak ragu segera membubuhkan tanda tangannya.
"Aku memang telah menjadi istrinya Jonathan," gumam Elisa di dalam hati. Walau semua bagai mimpi namun Elisa menyadari inilah kenyataan yang dia hadapi.
Elisa nampak cantik dan anggun dengan mengenakan kebaya berwarna putih yang menampakkan kecerahan kulit tubuhnya. Hari ini dia nampak bagaikan seorang putri yang membuat semua orang yang melihatnya menjadi terpukau. Elisa tersenyum dan mencium punggung tangan suaminya. Jonathan dengan sukarela membiarkan tangannya disentuh oleh gadis yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu. Bahkan, lelaki itu juga mencium kening Elisa sebagai bukti bahwa keduanya memang sudah sah menjadi pasangan.
Elisa merasa berdebar-debar meskipun dia menikah dengan seseorang yang tidak dicintainya. Walau bagaimanapun, pernikahan tetaplah sebuah pernikahan. Peristiwa itu merupakan janji manusia di hadapan Tuhan. Elisa mengerti makna sebuah pernikahan dan dia merasa bersalah karena telah mempermainkan ikatan suci tersebut demi menjaga nama baik keluarganya.
Kedua orang tua Elisa nampak berkaca-kaca menyaksikan putri sulungnya melepas masa lajang dan mulai menapaki jenjang kehidupan yang lebih serius. Setelah ini Elisa bukan lagi menjadi seorang anak melainkan seorang istri dari Jonathan. Mereka tidak menyangka waktu berlalu dengan begitu cepat.
"Semoga kalian bahagia," doa Papa ketika Elisa dan Jonathan mencium tangan untuk meminta restu. Papa yang baru keluar dari rumah sakit nampak masih lemah namun dia berusaha kuat demi acara pernikahan Elisa yang terjadi sekali dalam hidupnya.
"Mama harap kamu bisa menjadi seorang istri yang baik," kata Mama ketika Elisa meminta restu dan memeluk tubuh perempuan yang telah melahirkannya. Air mata keharuan terus menetes tanpa henti dalam peristiwa tersebut. Semuanya hening dan khidmat.
Elisa sempat melirik ke arah Jonathan yang kini menjadi suaminya. Laki-laki itu terlihat tabah dan tidak menitikkan air mata. Seperti dugaan Elisa sebelumnya, lelaki itu tidak memiliki perasaan. Dia menikahi Elisa hanya demi menutupi penyimpangan yang dilakukannya. Elisa merasa kasihan jika membayangkan kedua orang tua Jonathan mengetahui kenyataan tentang putranya.
Jonathan menoleh ke arah Elisa dengan penuh tanya.
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" tanya Jo.
Elisa menggelengkan kepalanya. Dia memang tidak mengharapkan apa-apa dari lelaki yang saat ini mengenakan stelan jas berwarna hitam. Penampilan Jonathan sangat mempesona. Jika saja Elisa tidak mengetahui kekurangan Jonathan, dia pasti akan hanyut dalam pesona yang dimiliki oleh pemuda itu.
"Sekarang kalian telah resmi menjadi sepasang suami istri, tetap jalani pernikahan sebaik mungkin. Pertengkaran memang biasa terjadi dalam rumah tangga namun selesaikanlah semua persoalan dengan kepala dingin. Emosi hanya akan membuat masalah semakin runyam dan menyebabkan penyesalan pada akhirnya," kata penghulu sebelum memberikan dua buah buku kecil sebagai bukti legalitas sebuah pernikahan.
Elisa menatap buku kecil di tangannya dengan pandangan kosong. Dia telah menikah sebatas di atas kertas. Apa yang akan dibanggakan olehnya. Jika bukan karena kehamilan ini, Elisa tidak akan mau teelibat dalam pernikahan penuh sandiwara itu.
Keluarga Elisa langsung bergegas kembali ke rumah mereka, sementara Elisa pergi bersama dengan Jonathan. Mulai sekarang Elisa akan tinggal di apartemen milik Jonathan dan dia akan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri sandiwara selama satu tahun ke depan.
"Apakah kamu siap?" tanya Jo kepada istrinya.
Elisa mengangguk dan dia segera memasuki mobil mewah milik Jonathan. Hari ini Jonathan sengaja menggunakan mobilnya yang lebih mewah untuk membuktikan betapa mapannya dirinya. Sayangnya, hal itu tidak membuat Elisa tertarik untuk mengenalnya.
Elisa duduk di kursi belakang sembari menatap ke arah cincin berlian yang melingkar di jari manis tangannya. Sebuah cincin suci pengikat sebuah pernikahan yang membuat Elisa semakin merasa sedih. Dia terus memainkan cincin itu seraya memikirkan wajah anggota keluarganya satu persatu.
Jonathan melirik ke arah istrinya. Dia mengerti kalau Elisa sedang cemas untuk saat ini.
"Makanya, kalau tidak ingin menyesal, jangan pernah bermain api," ujar Jo yang membuat Elisa menoleh ke arahnya. Apa yang dimaksud oleh Jo sama sekali tidak dipahami olehnya.
"Apa maksudmu?" tanya Elisa. Dia memicingkan matanya seraya menatap lekat ke arah Jo yang tersenyum sinis padanya.
"Kamu mengerti benar apa maksudku. Percintaan yang kamu lakukan bersama kekasihmua telah menghancurkan kehidupan dan mimpi yang telah kamu rajut selama ini bukan? Jika saja kamu tidak jatuh cinta maka kamu tidak akan menderita seperti sekarang," tegas Jo dengan penuh keyakinan.
Elisa menghela napas panjang. Dia tidak mengerti cinta seperti apa yang telah menghancurkan dirinya. Elisa bahkan tidak pernah tahu bagaimana cinta bermula namun dia sudah menerima akibat yang tidak terduga. Kehamilanya bersama dengan lelaki yang tidak diketahui bukan saja menyiksa harga dirinya namun juga rasa percaya dirinya.
"Aku harap setelah ini kamu bisa belajar bahwa cinta hanya akan membuatmu kecewa. Jangan pernah jatuh cinta jika akhirnya membawa luka," simpul Jonathan sebelum mengakhiri kalimatnya. Lelaki itu segera memainkan ponselnya setelah puas memberikan ceramah kepada Elisa.
Jonathan langsung konsentrasi pada layar ponsel yang sedang dipegangnya. Sepertinya dia memang tidak mau diganggu.
Elisa menatap sekotak perhiasan yang berada tidak jauh dari dirinya. Entah mengapa benda itu masih ada disana.
"Kenapa kamu tidak meminta Beni membawakan benda itu?" tanya Elisa seraya menunjuk ke arah kotak perhiasan di dekat Jonathan.
Jonathan menoleh dan melihat sekotak perhiasan yang dimaksud oleh Elisa.
"Kenapa benda ini harus dibawa oleh Beni. Semua ini adalah miliku jadi kamu yang harus menyimpannya," kata Jo dengan santai. Dia tetap memainkan ponselnya seolah tidak ada Elisa disana.
"Kamu memberikan benda-benda berharga seperti itu untukku? Benarkah? Apakah kamu tidak merasa sayang jika harus mengeluarkan uang sebanyak itu," tanya Elisa.
Jonathan tersenyum dan sekaan menertawakan kepolosan Elisa.
"Aku bisa membeli apapun yang aku inginkan. Perhiasan ini tidak ada apa-apanya bagiku," tegas Jonathan yang semakin memperbesar rasa minder di dalam hati Elisa. Dia tidak menyangka ternyata lelaki yang telah menikahinya memang seseorang yang sangat kaya raya.
"Lagipula, perhiasan sebanyak itu bisa kamu gunakan ketika menghadiri acara perusahaan bersamaku. Tidak mungkin istri seorang CEO tampil apa adanya," ungkap Jonathan seolah membanggakan dirinya.
"Baiklah, aku mengerti," sahut Elisa dengan lemas. Dia yang tidak terlalu menyukai sebuah pesta ahirnya akan segera mendapatkan pesta kejutan untuknya. Dia membayangkan kehidupan sebagai istri CEO yang sangat menyebalkan.