"Karena kalian ingin melakukannya?" ketus Bu Galih, yang seperti mempersiapkan taring-taring di dalam mulutnya. Perlahan aura gelap seperti menyelimuti Bu Galih sehingga membuatnya semakin mengerikan saja. Kalau ada taring yang keluar, pasti anak-anak akan menjerit di tempatnya, lalu memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Karena tanpa taring pun guru itu sudah bisa mengintimidasi anak didiknya. "Kalian pikir kalian bisa bertindak semaunya di sini? Apa kalian merasa memiliki sekolah ini?"
"Kami membayar di sini." Stella melipat kedua lengan di depan dada, memainkan rambut ikal hitamnya sesekali. "Jadi kami berhak melakukan apa pun yang kami mau."
"Tapi siswa yang lain juga ikut membayar, Stella." Guru ramah itu menyeletuk, rupanya menyimak perbincangan di ruangan itu sejak tadi. Jawabannya yang terkesan menginterupsi sesi interogasi seketika membuat guru ikal menoleh kaget. Di wajahnya tertulis, "Kenapa kau ikut bicara?"
Guru ramah itu akhirnya menunduk dan pura-pura mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai kembali terutama setelah melihat Bu Galih seperti melayangkan tatapan mengerikan miliknya.
"Siswa lain memang ikut membayar, dan kalau mereka mau melakukan hal seperti yang saya mau ya silakan. Saya tidak peduli," kata Stella acuh tak acuh.
"Jadi kau mau mengeset dunia ini untuk saling menyerang? Untuk saling berkonflik begitu?" decih Bu Galih menggelengkan kepala.
'Kalau iya memangnya kenapa?' batin Stella, yang dipendam rapat-rapat. Saat ini wajah gadis itu masih saja kaku. Seperti joker face, dia tidak ingin memperlihatkan ekspresi sebenarnya.
Bu Galih tertawa merendahkan. Sejak tadi yang dia perhatikan hanya Stella. Tapi kini bu guru itu sudah menoleh pada Naura, Raya, dan Lisa. Matanya yang tajam memandang mereka dengan galak. "Kalian bertiga kenapa ikut-ikutan?"
Naura memainkan jemari, Raya pun sama. Lisa juga begitu pada mulanya. Tapi dia satu-satunya gadis yang berani menjawab. "Karena kami… karena kami…"
"Mereka hanya mengikuti perintah saya," kata Stella dengan angkuh, seperti tidak punya tata krama. Kalau saja identitasnya tertutupi pasti tidak ada yang tahu kalau dirinya ternyata anak dari Tuan Beni yang kaya itu. Yeah, kecuali memang fisiknya yang sangat cantik dan bak putri bangsawan. "Jadi mereka tidak bersalah."
'Stella mencoba untuk melindungi teman-temannya,' batin guru yang ramah. 'Kalau dilihat sebenarnya dia anak yang baik. Hanya saja dia memiliki 'cacat' yang tidak kuketahui sebabnya.'
Bu Galih tidak banyak bicara lagi. Guru itu menarik beberapa kertas dari dalam laci, lalu mulai menulis nama-nama dari anggota geng The Angel Wings dan kemudian memberikan kertas itu pada mereka.
"Serahkan ini pada orang tua kalian!" kata Bu Galih, yang seketika itu juga melihat Lisa menangis tersedu-sedu. Stella menerima dengan tanpa ekspresi.
"Jangan, Bu! Nanti Mama Papa saya bisa marah. Saya mohon, Bu," isak Lisa sangat dramatis.
"Kalau memang kau tidak mau dimarahi, maka jangan berbuat onar!" ujar Bu Galih dingin. "Kalian tahu kalau di dunia ini bukan hanya kalian saja yang hidup. Ada banyak orang yang berhak untuk hidup. Jadi jangan pernah mengusik orang lain jika kalian tidak mau diusik!"
'Aku tidak pernah mengusik orang tuaku. Tapi mereka selalu mengusikku,' batin Stella.
Lisa masih saja menangis di tempatnya karena tidak bisa berbuat apa pun. Raya dan Naura hanya menunduk sembari memandangi kertas di tangan mereka. sebenarnya Naura dan Raya memiliki keluarga yang utuh. Hanya saja keluarga mereka terlalu sibuk bekerja, jadi mereka tidak banyak mendapatkan perhatian. Tapi sebenarnya keluarga mereka sangat menyayangi mereka.
Satu-satunya alasan kenapa mereka mau menjadi satu geng dengan Stella karena mereka ingin mendapatkan perhatian dan pengakuan karena orang tua mereka tidak sempat melihat prestasi Naura dan Raya yang sesungguhnya.
"Sekarang kalian pergi saja!" tunjuk Bu Galih pada tiga anak itu. "Kau tetap di sini!" Yang ditujukan untuk Stella.
Teman-teman Stella ingin membawa Stella untuk pergi bersama mereka. Bagi mereka, meninggalkan Stella di ruang BK sendirian bukanlah keputusan yang tepat. Apalagi saat ini mereka baru saja dilanda masalah besar.
Tapi mereka tidak bisa berbuat apa pun. Melawan Bu Galih tidaklah mungkin. Sementara itu Stella juga memberikan kode agar mereka menurut saja. Jadi, dengan berat hati mereka keluar dari ruang BK. Sebelum itu mereka sempat menggenggam pelan tangan Stella.
"Maafkan kami, Tuan Putri Stella," bisik Lisa, yang mengekori Raya dan Naura untuk keluar dari ruang BK.
Sekarang mereka sudah berada di luar, kebingungan dan panik.
"Pasti Tuan Putri Stella akan dihukum lebih parah lagi," celetuk Naura.
Raya mengangguk. "Apalagi dia tadi membela kita lho. Dia sampai mau berkorban untuk kita agar kita tidak dihukum."
"Tapi kita tetap dihukum." Lisa menutup wajah dengan kedua tangannya.
Raya melotot pada Lisa. "Lisa, kamu kenapa egois begitu sih? Yang dihukum bukan cuma kamu, tapi kita semua. Aku dan Naura juga. Orang tua kami akan dipanggil. Kami juga akan dimarahi. Jadi jangan jadi si paling menderita di sini deh. Engga asik tau engga!"
"Betul tuh! Sesekali coba lah kau itu setia kawan, Lisa!" Naura ikut menyeletuk. "Visi misi kita itu jelas. Saat kami membully anak yang lain, kenapa kau malah diam dan terkesan melindungi mereka? Apa kau mau keluar dari geng? Keluar saja! Tapi pasti kau akan menjadi sasaran pertama kami!" Naura mengepalkan tangan dan meninju telapak tangannya beberapa kali.
Lisa pun mundur dengan takut. Gadis itu sekarang menundukkan kepala. Dulu saat pertama kali ingin berteman dengan Stella karena Stella menghampirinya terlebih dahulu. Yeah, meskipun Raya dan Naura lebih dulu berteman dengan Stella, tapi Stella tidak kalah baiknya dengan Lisa.
Karena biasanya Lisa kesepian, maka dari itu dia senang ketika Stella mengajaknya berteman. Tanpa dia tau, anak gadis yang cantik dan manis itu ternyata seorang pembully. Lisa memang kesepian, tapi jika bisa mendapatkan teman itu berarti dia harus menjadi jahat, maka dia tidak akan mau. Tapi bukan berarti dia akan meninggalkan teman-temannya, terutama Stella. Selain karena takut dibully, Lisa sudah merasa cocok berteman dengan Stella, kecuali sifatnya yang suka membully. Sebenarnya Stella itu orang baik, Lisa yakin itu.
Sementara itu, Stella masih berada di ruang BK, sendirian bersama dengan Bu Galih. Ralat, guru ramah dan guru ikal masih ada di sana. Akan tetapi mereka seperti memiliki sekat sangat besar yang tidak terlihat, menceburkan Stella ke kubangan yang jauh dan tidak terjangkau. Bahkan jika Stella tenggelam, kemungkinan mereka bisa menolong anak gadis itu sangatlah kecil.
Stella melirik pada surat panggilan orang tua di tangannya, melihat nama ayahnya di sana. Gadis itu berdecih di dalam hati, 'Memangnya Ayah akan mau datang ke sekolah hanya karena aku? Yang bisa dia lakukan hanya menuntut dan menuntut.' Tangan gadis itu mengepal, emosi memuncak di kepalanya.
Bu Galih memandangi anak didiknya itu, tau kalau ada sesuatu yang tidak beres.
***