"Apa kau pikir nilai akademis yang bagus satu-satunya hal yang penting?" Bu Galih berkata dengan lugas pada Stella, yang tampak masih mempertahankan egonya. Mata tajam guru itu mengawasi anak didiknya, seperti akan menembakkan peluru. Ini bukan main-main. Jika Bu Galih sudah emosi dan membentak, satu sekolah bisa saja gempar dan terguncang.
Stella berdecih, meremehkan. Akan tetapi dirinya tidak memperlihatkan secara terang-terangan. Meskipun dirinya suka membully orang lain, akan tetapi ambisinya untuk menjadi nomor satu di sekolah seperti memberikannya benang merah agar gadis itu tetap berlaku dengan baik pada para guru. Karena biar bagaimana pun, yang memberikan mereka nilai adalah guru.
Jika seorang anak didik cerdas dan berprestasi, akan tetapi para guru tidak menyukainya karena disebabkan oleh beberapa hal, maka kepintaran anak itu tidak akan benar-benar berguna di masa sekolahnya.
Orang-orang bilang, pintarmu kalah dengan attitude-mu.
"Bukankah memang nilai bagus yang dikejar oleh anak-anak, Bu?" Stella berbicara selembut dan sesopan mungkin. "Tanpa nilai yang bagus, seorang anak tidak akan sukses di dunia pendidikan."
"Dan kau pasti tau bagaimana proses pemberian nilai itu dilakukan, kan?" Bu Galih mengenakan kacamata, yang beberapa saat yang lalu baru saja dikenakan saat guru itu menuliskan nama orang tua para murid dan nama para murid di surat panggilan. Kacamata itu masih bertengger di hidung mancung dan ramping miliknya, seperti sapu tua yang sangat sakti.
Stella tidak menjawab apa pun, membuat Bu Galih melanjutkan kata-katanya, "Karena kau tidak menjawab, maka akan saya jelaskan." Bu Galih masih duduk di kursi miliknya, yang terlihat seperti sebuah singgasana. Auranya menguar, dengan kulitnya yang tampak agak pucat. Padahal Bu Galih tidak tergolong memiliki kulit yang cerah. Tapi mungkin karena sifat dominannya memberikan guru itu gambaran sedemikian rupa.
"Pemberian nilai dilakukan oleh para tenaga didik, yang dilakukan tidak hanya, tidak semata-mata, berdasarkan dari nilai akademis para anak didik. Kami memberikannya juga karena didasari oleh sifat mereka. Itu masih dalam poin penilaian kami," jelas Bu Galih panjang lebar. Guru itu tidak terlalu mau berbicara panjang lebar, apalagi jika harus menjelaskan ini dan itu pada para anak didik, terutama jika mereka sebenarnya tau.
Karena baginya, untuk apa menekankan sesuatu pada orang-orang yang tidak mau tau? Tidak ada sudut pandang lain yang bisa diperbaiki. Maka pada akhirnya, itu hanya akan sia-sia.
"Kau berusaha keras untuk menjadi nomor satu," ujar Bu Galih. "Tapi attitude-mu buruknya seperti ini. Kau merusak sesuatu yang tidak perlu kau rusak. Kau bahkan menghancurkan sesuatu yang baik. Jika kau terus mendorong dirimu dan berusaha lebih keras, kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Tapi karena kau memiliki cara lain yang tidak benar, maka inilah hasilnya. Pada akhirnya, apa yang kau rencanakan akan gagal semuanya."
Mata Stella berkaca-kaca. Tangan gadis itu mengepal. Ini adalah salah satu momen paling dramatis di dalam hidupnya. Dia jarang menangisi sesuatu kecuali jika terjadi permasalahan di tengah keluarganya.
Paling banter, gadis itu akan menangis jika ada masalah dengan teman-temannya, teman-teman yang dirinya anggap penting. Selebihnya Stella tidak benar-benar mau memikirkannya, apa pun itu, seburuk apa pun itu.
Kecuali akhir-akhir ini, setelah dirinya mengenal Bastian dan Bisma. Kedekatannya dengan Bastian semakin intens, dan Stella merasa dia sangat cocok dengan anak lelaki itu. Melihat kemungkinan hubungan mereka memburuk jika Bastian tau siapa Stella sebenarnya, tentu membuat gadis itu kacau balau. Sesak menerpa dadanya juga keseimbangan yang hampir limbung.
Jika saja teman-teman Stella ada di sana saat itu, mereka pasti akan segera menggenggam tangan Stella agar gadis itu tidak jatuh dan hancur dalam kerapuhan. Karena mereka tau, momen-momen seperti apa yang menandai saat Stella sedang down.
Bu Galih meminta Stella untuk keluar. Namun sebelum itu, bu guru tersebut berpesan, "Jangan lupa berikan surat panggilan itu pada orang tuamu."
Dengan pandangan nanar yang dipaksa untuk terlihat kuat, Stella berbisik pada dirinya sendiri, "Memang aku punya orang tua?" Yang gadis itu maksud adalah, kedua orang tuanya terlalu menyayangi adiknya sampai-sampai rasanya dia tidak memiliki orang tua.
Stella akhirnya keluar dari ruang BK itu, melihat teman-temannya sudah menunggu di salah satu sudut sekolah agar tidak terlihat oleh guru-guru, sekaligus agar mereka tidak dibubarkan paksa karena masih belum masuk ke dalam kelas saat jam pelajaran masih berlangsung.
Stella sudah tahu dimana teman-temannya berada, yaitu di area belakang sekolah, tempat dimana para siswa badung biasanya berkumpul dan membolos. Ke kantin juga tidak masalah. Tapi setelah insiden hari ini, mungkin beberapa guru akan sidak di sana. Minimal para security.
"Kita tunggu di sini ya, Tuan Putri." Itu Naura, yang baru saja mengirimkan pesan pada Stella.
HP milik Stella dimasukkan kedalam saku seragam miliknya, sementara kakinya berjalan layu untuk menuju area belakang sekolah. Di genggaman tangannya masih terselip surat panggilan untuk orang tuanya.
Daripada memikirkan orang tuanya yang marah, gadis itu justru memikirkan cara agar orang tuanya benar-benar memperhatikan dirinya. 'Tapi apa itu mungkin?' decih gadis itu di dalam hati. Menarik napas panjang, wajahnya mendongak untuk menatap teriknya matahari. Saat itulah matanya berkaca-kaca dan bahkan menangis. "Bodo amat! Nanti aku minta Bibi untuk datang saja."
Bibi adalah panggilan ART di rumah Stella. Hanya Bibi yang dia miliki.
Sekarang di kepala Stella terngiang-ngiang ucapan Bu Galih. "Tapi karena kau memiliki cara lain yang tidak benar, maka inilah hasilnya. Pada akhirnya, apa yang kau rencanakan akan gagal semuanya."
"Apa itu benar?" Sayup-sayup angin berembus menerpa wajah cantik Stella, yang terlihat sangat anggun dan indah. Helai rambutnya yang legam seperti arang, serta bersih kulitnya yang terlihat seperti susu. "Yang kurencanakan pada akhirnya akan gagal? Padahal aku sudah bersusah-payah membully semua sainganku agar mereka menyerah untuk belajar dan melebihi nilaiku. Mereka mau menurut dan akhirnya membuatku meraih peringkat satu di satu angkatanku. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Sejauh ini mereka semua bungkam dan menuruti perintahku (ancamanku). Tapi…"
Tapi ternyata hanya karena satu kasus, Stella kehilangan semua reputasinya. Kasus pembullyan yang dulu hanya dikenal oleh para siswa sekarang mulai diendus oleh para guru. Stella memang terkenal membuat onar. Akan tetapi tidak pernah terlibat kasus separah ini, apalagi sampai membuat seorang siswa dilarikan ke rumah sakit.
Setelah melamun cukup lama, tanpa sadar Stella sudah sampai di area belakang sekolah. Tidak nampak teman-temannya di sana. Jadi gadis itu terus berjalan sampai menemukan sebuah ruangan kecil seperti gudang.
Tangannya yang ramping itu mencoba untuk membuka pintu. Tapi sebelumnya Stella mengetuk pintu dengan pola tertentu. Tak butuh waktu lama, pintu bisa dibuka. Di sanalah Stella melihat teman-temannya tersenyum lebar dan lega setelah melihatnya.
"Tuan Putri Stella!" Teman-teman Stella memeluk gadis itu dengan sangat erat. Mereka hampir saja melepas rindu seperti lama tidak bertemu. Akan tetapi dari kejauhan mereka mendengar sebuah suara.
"Stella! Hei! Saya tau kalian ada di sini."
Semua geng The Angel Wings membelalak. "Itu Pak Joko satpam sekolah!"
***