Sebenarnya mereka berempat sangat ketakutan, apalagi Lisa. Dipanggil di ruang BK setelah mereka mengerjai kakak kelas sampai kakak kelas itu masuk rumah sakit. Yang benar saja. Hukuman apalagi yang pantas mereka terima selain dikeluarkan?
"Kalau aku nanti dikeluarkan, apa yang harus kulakukan untuk menjelaskannya pada Papa dan Mama? Kalau mereka marah dan kecewa padaku bagaimana? Kalau nanti…" Lisa menyeka ingus di hidungnya. Air mata terus mengucur di pipi. "Kalau nanti aku dicoret dari KK bagaimana? Huaaaa!"
Tangisan Lisa semakin keras saja, sampai membuat Raya terganggu. Karena sudah tidak tahan, gadis itu pun membentak Lisa. "Hih, bisa diem tidak sih? Kau pikir hanya kau saja yang takut kalau dikeluarkan hah? Kami juga. Jadi jangan mendramatisir dan membuat suasana semakin buruk!"
Lisa memang sudah tidak menangis kencang, tapi gadis itu tetap saja masih mengeluarkan air mata. Pundaknya masih terguncang karena tidak bisa berhenti menangis.
Naura melirik Lisa karena iba. Meskipun gadis itu seringkali kesal pada kelakuan Lisa yang terlalu polos dan terlalu baik, tapi jika melihat Lisa menangis begini, hatinya goyah juga. Dirinya yang tadi berjalan tepat di samping Raya kini mundur untuk menggenggam tangan Lisa. "Sudahlah! Kita akan baik-baik saja kok. Di sini ada Tuan Putri Stella. Jadi jangan takut! Dia pasti akan menyelesaikan semuanya. Okay?" Bahkan Naura menyeka air mata di pipi Lisa.
Stella menghela napas panjang. Kini dirinya dan teman-temannya berjalan menyusuri lobi sekolah, melewati beberapa kelas yang berderet. Lapangan luas terhampar di samping mereka, yang hijaunya bukan main. Lapangan itu biasanya digunakan sebagai tempat para siswa melakukan berbagai kegiatan akademis dan non akademis. Ada lapangan basket di ujung yang lain, yang ring-nya seperti melambai dari kejauhan.
'Bastian biasanya main basket di sana,' batin Stella, mengingat momen saat dirinya belum terlalu mengenal Bastian.
Saat masih menjadi siswi baru, Stella seringkali duduk di depan kelas, sembari memandangi ke luar. Dari tempatnya duduk, gadis itu sering melihat siswa-siswi yang lain melakukan berbagai macam kegiatan, salah satunya adalah pertandingan basket.
Pada momen itulah Stella bisa bertemu atau melihat Bastian, si kakak kelas dari jurusan IPA yang ternyata pandai dalam bidang olahraga. Padahal biasanya anak-anak dari jurusan IPA, apalagi yang cukup cerdas seperti Bastian, tidak terlalu menyukai kegiatan yang memerlukan ketahanan fisik.
Melihat Bastian yang bermain basket membuat Stella sadar kalau Bastian adalah lelaki yang sangat hebat dan layak untuk diperjuangkan.
"Melihat Bastian yang cerdas tapi masih hebat bermain basket, pasti dia orang yang ambisius sepertiku. Aku yakin dia pantas jika menjadi pacarku," angguk Stella waktu itu.
Tapi, kenangan itu memudar tiba-tiba saat angin di siang hari itu menerpa permukaan lapangan basket. Terik yang semakin terasa, meskipun banyak pohon yang ditanam di pinggiran lapangan.
Lamunan Stella dibuyarkan oleh isakan Lisa yang belum berhenti. Padahal tadinya Stella tidak mau menegur Lisa. Tapi karena tangisan temannya itu semakin menjadi-jadi, Stella pun membentak, "Diamlah, Lisa! Apakah masalah akan selesai jika kau menangis begini, hah?"
Seketika Lisa terdiam, dalam kondisi yang masih dirangkul oleh Naura.
Menarik napas panjang, Stella sedikit merasa bersalah. 'Padahal aku ingin menjadi nomor satu, maka dari itu aku melakukan hal sampai sejauh ini. Tapi rupanya membungkam semua orang sangatlah sulit. Aku juga sampai melibatkan teman-temanku.'
Mereka berjalan lagi, melewati kelas-kelas yang mulai terisi. Beberapa saat lalu memang jam istirahat, tapi sekarang jam istirahat sudah selesai. Niatnya mereka akan terus membolos. Tapi kalau sudah dipanggil guru BK begini, mereka tidak tahu bagaimana nasib mereka nanti.
Kaki Stella terus berjalan. Mata gadis itu tadinya kosong, memandang ke beberapa arah. Sampai kemudian dirinya melihat papan kayu yang menggantung di depan kelas. Tertulis: XI IPS-1
Membelalak, Stella yang biasanya tenang dan tidak banyak bereaksi pada sesuatu kini bahkan menganga sangat lebar. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu putar balik dan berlari sejauh mungkin.
"Lho…" Raya keheranan melihat Stella berlarian begitu, apalagi ruangan BK kan ada di depan bukan ada di belakang. "Tuan Putri! Tuan Putri Stella! Kenapa malah ke sana?"
Kebingungan, tadinya Raya tidak tahu harus bagaimana. Tapi karena insting, secara refleks Raya berlari menyusul Stella. Naura dan Lisa yang tidak tahu apa-apa pun ikut berlari.
"Itu kan kelas Bisma," engah Stella sembari berlari kencang, yang sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada teman-temannya. "Kalau sampai aku lewat di depan kelasnya, bisa saja dia melihatku."
Untuk saat ini Stella masih merahasiakan identitasnya dari Bisma dan Bastian. Gadis itu mendekati keduanya, tanpa mengaku bahwa dirinya adalah siswi dari SMA Bintang. Gila kan? Memang begitu Stella kalau sudah berambisi terhadap sesuatu.
Gadis itu masih berlari, masih membuat skenario di kepalanya kalau Bisma bisa saja melihatnya. Saat gadis itu berlari, ada kakak kelas yang dicengkeram Stella beberapa saat yang lalu. Kakak kelas itu saat ini sedang berjalan menuju ke kelasnya.
Saat melihat Stella wajahnya tampak campur aduk, antara bingung tapi juga agak takut.
Stella sempat berhenti di depan kakak kelas itu lagi, kemudian berbisik, "Ayahku dokter bedah. Kalau Kakak berani macam-macam, nanti kuadukan pada ayahku."
Kakak kelas itu gemetar dan langsung ambruk di atas lantai. Bahkan dirinya mengompol.
"Iyuh!" jijik Raya, melompati genangan air yang mengambang. Gadis itu terus mengikuti Stella meskipun tidak tahu maksud temannya itu. Tapi anehnya…
"Lho, Tuan Putri Stella kok malah putar balik?"
Yeah, Stella memang putar balik. Kenapa? Karena gadis itu melihat Bastian, yang kebetulan sedang berjalan menuju ke arah mereka. Kelas anak lelaki itu memang ada di lantai dua, sementara anak tangga berada di belakang mereka.
"Bastian! Aduh, sialan!" Stella pun bergegas putar balik untuk bersembunyi di area kamar mandi. Sementara Raya, Naura, dan Lisa gagal untuk bersembunyi. Jadi mereka berdiri tegak di posisi mereka seperti patung.
Bastian pun lewat. Anak lelaki itu hanya melirik pada Raya dan teman-temannya. Saat berjalan lagi dirinya melihat ada genangan air berwarna kekuningan. "Uh, air apa ini?" Dan untung dia melompatinya. Kakak kelas yang tadi sudah pergi entah kemana.
Beberapa saat setelah melompat, anak lelaki itu terdiam, lalu menoleh ke arah kamar mandi, yang terletak di bawah tangga. "Apa aku ke kamar mandi dulu ya?" gumam anak lelaki itu. Rupanya dia sudah membuat keputusan, terbukti saat ini kepalanya mengangguk. "Okay, ke kamar mandi dulu."
Bastian sudah berbelok dan mengurungkan niatnya untuk segera naik ke lantai dua dan menuju ke kelasnya. Anak lelaki itu bernyanyi-nyanyi.
Naura terkesiap, Raya bengong di tempatnya, sementara Lisa justru semakin kencang saat menangis.
"Ga-gawat! Kalau Bastian melihat Tuan Putri Stella, itu bisa gawat!" bisik Naura gemetar. Gadis itu kebingungan, ragu untuk melakukan apa. Kakinya maju dan mundur beberapa kali.
Sementara itu Bastian kini sudah berada di depan kamar mandi. Dengan masih berdendang, tangannya yang berotot karena sering berolahraga kini sudah menggenggam kenop pintu kamar mandi, siap untuk membukanya.
***