Jemari Bastian yang berotot karena sering digunakan untuk berolahraga kini sudah mencengkeram kenop pintu toilet, dimana Stella bersembunyi di dalamnya. Karena hal itu, kenop pintu sampai bergerak-gerak, seperti seseorang yang memaksa masuk.
"Hah!" sentak Stella kaget. Dengan segera gadis itu membekap mulutnya sendiri. Matanya yang cantik membeliak, kakinya yang ramping mundur secara perlahan ke belakang sampai membuat punggungnya membentur tembok. "Si-siapa itu?"
Stella kebingungan. "Teman-teman? Apa itu teman-teman?" bisik gadis itu sembari menahan ketakutan dan juga pikiran liar yang menggeliat di dalam kepalanya. "Tapi kalau teman-teman, kenapa mereka tidak berbicara sama sekali?"
Tidak salah Stella terkadang dijuluki otak encer oleh teman-temannya, karena gadis itu cukup pintar dan cukup ahli dalam menganalisis keadaan. Jika saja Stella langsung beranggapan yang sedang mencoba membuka pintu adalah teman-temannya, pasti posisinya yang sedang bersembunyi di dalam toilet itu akan ketahuan. Itu nanti akan menyebabkan Bastian bisa tahu kalau Stella ternyata bersekolah di SMA Bintang, SMA dimana Bastian mengenyam pendidikan. Kemungkinan lebih parah lagi, Bastian bisa tahu bahwa Stella yang anak lelaki itu kenal adalah Stella si anak tukang bully, ketua dari The Angle Wings.
KREK! KREK! Bastian masih mencoba untuk membuka pintu, bahkan kini mulai mengeluarkan tenaga lebih agar pintu itu bisa segera dibuka. Di tengah itu, dirinya menyeletuk, "Kenapa tidak kebuka sih? Macet ya engselnya? Tidak biasanya toilet ini macet pintunya."
Suara Bastian yang khas itu segera mengagetkan Stella. Setelah mematung dan membelalak cukup lama, gadis itu pun mengendap-endap untuk bisa berdiri tepat di belakang pintu kamar mandi, menempelkan telinganya di daun pintu.
"Bastian," bisik Stella cemas. "Jadi yang mau membuka pintu si Bastian? Aduh, bisa gawat ini!" Stella pun segera menarik ponsel miliknya dari dalam saku, mencoba untuk mengirim pesan pada teman-temannya.
"Girls, lakukan sesuatu! Kalian tidak mau Bastian menemukanku di sini, kan?" Pesan itu terkirim di group chat mereka, yang beranggotakan empat orang saja.
Drrrt! Drrrt!
Naura, Raya, dan Lisa memeriksa ponsel mereka untuk melihat isi notifikasi.
"Girls, Tuan Putri Stella membutuhkan bantuan kita! Apa yang harus kita lakukan?"
Naura menoleh pada Raya yang baru saja berbicara. Gadis itu sedang mengamati pesan yang dikirimkan oleh Stella. "Saking kita kebingungan, kita jadi lupa begini."
"Terus kita harus gimana, Girls? Kita tidak mungkin membiarkan Tuan Putri Stella terkena masalah. Kita harus melindunginya dan pasang badan di kondisi apa pun."
Mereka terdiam untuk berpikir, termasuk Lisa, walaupun gadis itu tidak berbicara apa pun layaknya teman-temannya. Gadis polos itu sibuk dengan suara pikirannya sendiri, yang memintanya untuk melakukan ini dan itu.
"Aduh, gimana ini, Girls?" Naura dan Raya semakin heboh karena kebingungan. Apalagi saat menemukan chat dari Stella yang sudah semakin menumpuk karena meminta pertolongan.
Terdengar Bastian yang masih mencoba untuk membuka pintu , sampai akhirnya dia tersentak karena mendengar Lisa berteriak.
"Kak Bastian, di situ toiletnya rusak!" Tadinya suara Lisa terdengar kecil dan lirih, menunjukkan kalau gadis itu masih tidak yakin apa dia perlu berteriak begitu. Tapi, demi Stella!
Naura dan Raya terkesiap dan segera menoleh pada Lisa. Mata mereka berkaca-kaca, memberikan tatapan memuja. Padahal biasanya mereka selalu anti dengan Lisa. Kasihan, Lisa!
Sementara itu, Bastian yang tadi masih mencoba untuk masuk toilet pun akhirnya menoleh. Suara Lisa ternyata kencang juga sehingga membuat Bastian akhirnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke toilet.
"Benarkah?" kernyit anak lelaki itu, mundur beberapa langkah sembari menghindari pintu toilet, seolah pintu itu terkutuk. "Oh, okay." Anak laki-laki itu pun segera beranjak pergi sekaligus naik ke tangga. Masih dengan bernyanyi-nyanyi, Bastian akhirnya benar-benar pergi. Jika dilihat dari gesturenya, anak lelaki itu sebenarnya tidak terlalu urgen pergi ke toilet. Mungkin dia hanya ingin mencari-cari alasan agar bisa lebih lama masuk ke kelas.
Lisa dan teman-temannya segera melesat untuk menghampiri Stella yang masih bersembunyi di dalam kamar mandi.
Kini Lisa sudah berdiri di depan pintu kamar mandi, bertanya-tanya kenapa Stella belum juga keluar. Karena cemas, gadis polos itu mengetuk pintu. "Stell? Stella? Tuan Putri Stella?" Suaranya gemetar seperti anak kecil yang rapuh. "Kenapa kamu belum keluar? Apa kamu baik-baik saja di dalam?" Lisa menggedor pintu kamar mandi berulang kali.
Naura dan Raya pun panik. Kedua gadis itu menempelkan telinga mereka ke daun pintu, jaga-jaga saja jika mereka bisa mendengar sesuatu. Tapi hanya keheningan. Tidak ada apa pun yang bisa mereka dengar kecuali keheningan.
"Girls, jangan-jangan Tuan Putri Stella pingsan lagi!" heboh Naura, yang sudah berlari kecil di tempatnya karena cemas. "Aduh, terus gimana nih, Girls? Kita harus melakukan apa?"
"Dobrak!" cetus Raya. "Dobrak saja pintunya." Gadis itu menoleh ke berbagai arah, mencoba untuk mencari seseorang yang kuat dan berotot agar bisa membantu mereka mendobrak pintu. Tapi karena saat itu masih jam pelajaran, jadi tidak ada satu pun anak yang bisa mereka temukan.
"Ya udah, kita dobrak bareng-bareng aja, Girls!" usul Naura. Tubuhnya memang paling kurus di antara yang lain. Saat lengan bajunya digulung ke atas, bisa terlihat betapa kurus dirinya. Lengannya hampir tidak memiliki lemak dan daging sama sekali, hanya terlihat tulang dan kulit. Tapi kalau ada yang mengejek Naura kurus, maka gadis itu akan bilang kalau sebenarnya dirinya seksi. "Hanya saja bukan di tempat ini, tapi di tempat lain." Itu cukup sukses membungkam mulut orang-orang.
Mereka semua setuju, termasuk Lisa. Beberapa detik dihabiskan untuk menggulung lengan seragam mereka agar memudahkan mereka untuk mendobrak pintu.
Kini mereka sudah berbaris, siap untuk melakukan sesi penyelamatan.
"Siap, Girls?" Raya memberikan aba-aba. Gadis itu menoleh pada dua temannya itu, yang kini sudah mengangguk bersama-sama. "Kalau begitu, ayo sekarang dobrak!"
Lisa dan Naura berteriak bersama-sama. "Ayo! Demi Tuan Putri Stella! Waaaa!" Mereka justru menggila seperti akan bertarung sumo saja.
Tapi sesaat sebelum mereka bisa mendobrak pintu, tiba-tiba saja pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok Stella yang berdiri menunduk di belakangnya.
Cekiiiit! Kaki Lisa dan teman-temannya berhenti melaju, mencoba untuk menghindari tubrukan yang mungkin saja terjadi. Untungnya saja mereka bisa menghindari tubrukan itu.
"Tuan Putri Stella!" kaget Lisa dan teman-temannya. "Tuan Putri tidak apa-apa?"
Tapi Stella hanya menunduk dalam. Gadis itu sempat membisu untuk beberapa saat. Akan tetapi tak lama kemudian wajahnya mendongak.
Teman-teman Stella tersentak kaget karena melihat air mata mengalir di pipi Stella.
"Tuan Putri, ada apa?"
Tapi Stella hanya menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa. Aku hanya syok karena hampir ketahuan oleh Bastian. Aku terlalu takut tadi sampai tanpa sadar aku menangis." Stella menoleh pada Lisa dan kemudian tersenyum. "Aku mendengar suaramu berteriak tadi. Kau yang membuat Bastian pergi kan? Makasih."
Sudut bibir Lisa melengkung. Gadis itu mengangguk.
"Okay!" Stella menepuk tangannya dengan kencang, beralih menjadi ketua yang tegas kembali. "Sekarang ayo kita ke ruang BK! Kita tuntaskan masalah kita!"
Teman-teman Stella mengangguk. "Ayo!" teriak mereka bersama-sama. Berbondong-bondong mereka menuju ke ruang BK, tempat dimana seorang guru killer berada.
***