Bab 17
"Masa, sih?" tanyaku tanpa melihatnya.
"Iya, coba deh Mbak dekati wajahnya ke wajahku!"
Aleysa menarik tanganku agar mendekat padanya. Dengan terpaksa aku pun mendekat, dan kini wajah kami sudah saling berdampingan. Memang benar apa yang dikatakan oleh Aleysa, mata, hidung dan bibir kami sangat mirip.
Tentu saja mirip, karena memang Aleysa itu anakku. Untung saja bentuk wajah dan warna kulit Aleysa mirip papanya.
"Mirip, kan, Mbak?" tanya Aleysa lagi.
Dia selalu cerdas untuk anak berusia lima tahun dan aku tahu dia mendapatkan kulit dari mana. Tentu saja dari diriku. Karena kata Ibu aku sudah lancar bicara pada usia satu tahun dan sudah bisa membaca di usia empat tahun.
"Gak, Sayang. Hanya mirip sedikit saja, kamu itu mirip dengan papa kamu, kok," jawabku akhirnya.
Tiba-tiba saja wajah Aleysa berubah menjadi mendung.
"Kok tiba-tiba jadi sedih?" tanyaku.
"Aku kangen sama Mama," jawabnya sedih.
Ada rasa sedikit cemburu di hatiku mendengar jawabannya. Mama kamu itu adalah aku, Aleysa!
"Nanti juga kalau Mama sudah sembuh, kamu bisa main sama dia sepuasnya," ujarku kemudian.
"Tapi kapan? Mama sudah lama banget sakitnya," keluh Aleysa.
"Hmm, Mbak juga gak tahu. Tapi kamu gak boleh sedih, kamu boleh anggap M akan sebagai pengganti Mama kamu."
"Benarkah? Jadi aku panggil Mama Intan gitu?"
"Eh, jangan. Nanti Papa kamu marah. Kamu panggil Ibu saja," jawabku cepat.
Bisa berabe kalau sampai dia mengadu pada Pak Arfan kalau aku menyuruhnya memanggil Mama
"Bu Intan?" ulang Aleysa.
Aku mengangguk sambil mengacungkan jempol. Lalu berkata kalau dia tak boleh bilang ke papanya kalau aku yang suruh dia panggil ibu.
"Kenapa gak boleh bilang sama Papa?" tanyanya dengan bingung.
"Nanti Papa marah, terus Bu Intan disuruh pergi. Apa kamu mau kalau Bu Intan pergi?"
"Gak mau, Bu Intan gak boleh pergi. Nanti aku gak ada teman lagi," jawabnya cepat.
Aleysa pun memelukku begitu eratnya seolah dia takut jika akan kehilangan diriku. Hatiku rasanya sangat senang tak terkira. Anakku, darah dagingku yang dikandung selama sembilan bulan kurang kini bisa kupeluk dengan sepuas hati.
Semoga saja ini berlangsung untuk selamanya. Harapku di dalam hati.
_____
POV Gupta
Drrrtt! Drrrtt! Drrrtt!
Suara ponsel yang berdering sejak tadi tak kuhiraukan. Aku tengah fokus pada pekerjaanku yang harus selesai secepatnya. Aku baru kembali dari kampung dan mulai beraktifitas di kantor kembali.
Hari pertamaku bekerja langsung disambut dengan tumpukan berkas yang harus kutandatangani. Maklum saja, soalnya sudah dua Minggu aku tinggal di kampung.
Setelah selesai pemakaman kedua orang tuaku, aku masih harus mengurus perkebunan milik mereka. Tak mungkin kutinggalkan begitu saja, kasihan para pekerja jika mereka sampai terlantar akhlbat kematian kedua orang tuaku yang tiba-tiba.
Untung saja aku menemukan Mang Ujang, orang yang cocok untuk menggantikan mereka mengurus perkebunan. Aku hanya tinggal mengawasi jalannya perusahaan, mungkin sebulan sekali aku akan kembali ke sana untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
Ponselku kembali berteriak minta diangkat. Pasti itu telepon dari Kristin, tak mungkin dari orang lain apalagi Intan.
Intan, mengingat namanya mendadak hatiku merasa resah. Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu terbayang wajahnya. Juga terbayang kebohongan yang sudah diciptakannya di antara kami berdua. Andai saja dia mau jujur dan berterus terang, mungkin aku bisa mempertimbangkan kelanjutan hubungan kami.
Terus terang, sebenarnya aku mulai menyukainya. Walaupun belum sebesar rasa cintaku pada Kristin. Namun, kematian orang tuaku seolah memberi isyarat kalau kamihafua segera berpisah. Ditambah lagi bekas operasi Caesar di perutnya itu sangat mengganggu diriku.
Ponselku kembali berbunyi, rupanya Kristin tak putus asa. Dia terus menghubungiku, dengan terpaksa aku pun menjawab panggilannya.
"Halo, Sayang! Tebak aku sedang ada di mana?" Suara Kristin langsung terdengar di telingaku.
"Hmm, di mana?" tanyaku dengan tak bersemangat.
Rupanya Kristin menyadari nada suaraku yang tak serakah seperti biasanya.
"Sayang, kok suaranya lemas gitu. Kamu gak suka, ya, aku hubungi?" tanyanya kemudian.
"Bukan, hanya saja saat ini aku sedang sibuk. Kami tahu kan kalau aku lama di kampung, jadi pekerjaanku menumpuk. Aku harus segera menyelesaikan semua secepatnya," jawabku menerangkan pada Kristin.
"Hmm, padahal aku mau kasih surprise sama kamu. Tapi rupanya kamu sedang sibuk. Ya, sudahlah kalau begitu, aku kembali saja ke Singapura. Sia-sia aku datang ke Jakarta, pengennya kasih kamu kejutan," beritahu Kristine enggan bahasa Indonesia nya yang mulai lancar.
"Apa! Kamu ada di Jakarta? Kenapa gak bilang sama aku dulu, Kristin!" seruku dengan kaget.
Gadis itu kalau suka sekali melakukan tindakan yang mengejutkan aku.
"Namanya juga kejutan. Mana ada orang kasih kejutan bilang-bilang dulu!" balas Kristin. Lalu memutuskan panggilan dengan sepihak.
Aku menarik napas antara kesal dan juga senang. Aku merasa kesal karena Kristin menganggu jam kerjaku. Namun, aku juga merasa senang karena dia datang untuk menemuiku.
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi dia lagi. Bisa gawat kalau dia sampai marah dan kembali ke Singapura.
"Apalagi, aku mau pulang aja sekarang!" seru Kristin di ujung telepon.
"Jangan, Sayang. Maafkan aku. Kamu jangan pulang dulu, aku kangen. Apa kamu gak mau menghibung diriku yang sedang sedih sekarang?" rayuku.
"Tapi kamu yang bilang tadi kalau kamus sedang sibuk!" tandasnya.
"Iya, memang aku sedang sibuk sekarang. Hmm, begini saja aku kirim alamat sama kamu. Kamu ke rumahku saja dulu. Nanti jika pekerjaanku sudah selesai aku langsung pulang menemui kamu. Bagaimana?"
"Ke rumah kamu? Terus istri kamu bagaimana?" tanya Kristin.
Oh, iya, aku lupa kalau aku belum memberitahunya soal Intan.
"Kamu tenang saja, pokoknya kamu sekarang ke rumahku. Nanti aku akan sediakan semuanya sama kamu. Oke, Sayang?"
Hening sejenak, sepertinya Kristin sedang berpikir dan menimbang permintaanku.
"Baiklah, kirim alamat kamu sekarang!" jawab Kristin akhirnya.
Yes! Aku pun segera mengirim alamat rumahku pada Kristin. Setelah itu, aku bergegas menyelesaikan semua berkas dan dokumen yang harus aku tandatangani sampai aku lupa untuk makan siang.
Jam di dinding baru saja menunjukkan angka tiga saat aku selesai dengan pekerjaanku. Aku pun segera membenahi meja dan barang-barang milikku lalu segera pulang.
Kristin pagi sudah tak sabar menunggu kedatanganku, mobil pun kulakukan dengan kecepatan tinggi agar bisa segera berjumpa dengannya.
"Sayang, oh, aku kangen sekali sama kamu!" sambut Kristin begitu mendengar suara mobilku di halaman rumah. Dia berlari menyongsong ku yang baru saja keluar dari dalam mobil.
Kami pun berpelukan dengan eratnya. Kemudian, aku mengajaknya ke dalam rumah sambil berpelukan.
Bersambung