Bab 19
Akhirnya, selesai sudah belanjaanku pagi ini. Senang rasanya karena bisa mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan. Hari ini Aleysa minta dimasakin nasi kuning dengan ayam bakar dan segala pernak-perniknya.
"Sudah selesai, Mbak?" tanya Pak Dirman, sopir di rumahnya Pak Arfan.
"Sudah, Pak. Sudah komplit semuanya," jawabku.
Pak Dirman kemudian mengangguk lalu mulai menjalankan mobilnya menuju pulang ke ruang Pak Arfan.
Aleysa sudah kembali ke rumah dua hari yang lalu, sedangkan Pak Arfan masih harus mondar-mandir antara rumah, rumah sakit dan kantor karena Bu Mia masih belum bisa pulang.
"Mbak Intan, saya boleh nanya, gak?" Tiba-tiba Pak Dirman bertanya padaku.
"Boleh aja, Pak. Mau nanya apa?"
"Ehm, itu mbak, kalau diperhatikan wajah Mbak Intan sama Non Aleysa kok mirip banget, ya. Kayak saudara kembar tapi beda usia gitu," ucap Pak Dirman membuatku terdiam.
Apa iya aku semirip itu dengan Aleysa? Kalau benar begitu, ini gawat. Orang-orang akan terus bertanya, contohnya seperti Pak Dirman tadi. Aku takut kalau lama kelamaan rahasiaku akan terbongkar.
"Ah, masa, sih, Pak? Masa aku mirip dengan Non Aleysa. Ya jauh banget, dong. Dia itu anak orang kaya, bos kita. Sedangkan aku cuma anak kampung yang kebetulan bernasib baik bisa bekerja pada Pak Arfan lagi," jawabku berbohong.
Entahlah, sampai kapan aku harus terus menutupi kenyataan dengan berbohong pada semua orang. Dosaku semakin bertumpuk saja rasanya.
"Iya juga, sih, Mbak. Mungkin memang kebetulan saja. Eh, kita sudah sampai," kata Pak Dirman kemudian.
Memang kami sudah sampai di rumah nya Pak Arfan. Setelah menepikan mobilnya di halaman, Pak Dirman membantu membawa belanjaanku yang lumayan banyak.
"Bawa ke dapur aja, ya, Pak. Aku mau ambil daun pisang dulu di halaman belakang," ucapku pada Pak Dirman.
"Iya, Mbak. Nanti saya minta nasi kuningnya, ya!"
"Siap, tapi gak tahu enak apa gak, he-he-he," kataku sambil bercanda.
"Ah, pasti enak. Ini sudah semua belanjaannya, saya ke depan lagi ya, Mbak," pamitnya.
Aku mengangguk, kemudian beranjak ke kamarku untuk berganti pakaian. Setelah itu aku pun mulai memasak semua bahan dengan cepat. Aleysa sepertinya masih tidur, jadi nanti saat dia bangun makannya sudah selesai.
Satu jam kemudian semuanya sudah selesai, aku pun bergegas ke kamar Aleysa. Ternyata dia masih tidur dengan nyenyaknya.
"Aleysa, bangun, Sayang! Sudah siang, lho." Aku membangunkan gadis kecilku itu sambil menyibak gorden jendelanya.
Sinar matahari langsung masuk menerangi kamar Aleysa.
"Ibu, apa pesananku sudah selesai?" tanya Aleysa sambil mengucek matanya.
"Sudah, dong. Sekarang, kamu mandi dulu. Nanti kita makan sama-sama!"
"Asyik, makan nasi kuning sama ayam bakar!" seru Aleysa dengan senang.
Aku tersenyum melihat Aleysa yang sangat bersemangat pagi itu. Semoga saja dia akan selalu tersenyum dan tertawa seperti itu. Kupeluk dia kemudian membawanya ke kamar mandi. Aleysa pun memelukku d dengan sangat eratnya.Sungguh tak pernah kusangka jika aku bisa melihat dan memeluknya sedekat ini.
_______
Satu minggu kemudian, tawa ceria Aleysa berganti dengan tangisan. Siang itu, dia memeluk tubuh Bu Mia yang sudah terbujur kaku di ruang tengah rumah Pak Arfan.
Bu Mia meninggal dunia setelah kritis pagi tadi. Akhirnya dia menyerah dengan penyakitnya dan pergi meninggalkan suami dan anaknya. Para tetangga sudah mulai berdatangan melayat dan memberikan ucapan turut berdukacita cita pada Pak Arfan yang tampak tegar.
Oma Galuh, mamanya Pak Arfan juga sudah tiba beberapa menit yang lalu. Orang tua Bu Mia juga sudah datang dan ikut menangisi jenazahnya bersama Aleysa.
"Intan, tolong tenangkan Aleysa! Aku takut nanti dia sakit," ujar Pak Arfan menyuruhku untuk membawa Aleysa ke kamarnya.
"Baik, Pak!" jawabku.
Aku pun mendekati Aleysa yang masih menangis di samping jenazah Bu Mia.
"Aleysa, kita makan dulu, yuk. Kamu belum makan dari tadi!" bujukku agar Aleysa mau ikut bersamaku.
"Kamu siapa?" tanya wanita yang duduk di samping Aleysa.
"Saya Intan, Bu. Pengasuh nya Aleysa," jawabku.
"Oh, pengasuhnya. Kalau begitu bawa dia ke kamarnya. Kasihan sejak tadi menangis terus!" lanjut wanita tadi.
"Baik, Bu. Ayo, Aleysa!"
Aleysa pun menurut kemudian mengangkat tangannya minta di gendong. Dengan senang hati aku pun menggendong kemudian membawanya ke kamar.
Saat melewati Pak Arfan, aku baru tahu kalau Pak Arfan memandangi kami berdua. Tatapan kami pun bertemu, kemudian Pak Arfan menyuruhku untuk segera membawa Aleysa ke kamarnya.
Aku mengangguk kemudian beranjak meninggalkan Pak Arfan. Namun, aku tak langsung ke kamar, karena Aleysa belum makan sejak pagi. Aku memberinya makan sampai dia kenyang, barulah aku membawanya ke kamar untuk beristirahat.
Aleysa menurut saja saat kiganti pakaiannya lalu mengajaknya untuk tidur. Kami berbaring sambil berpelukan. Perlahan, kutepuk punggungnya agar dia merasa nyaman dan segera tertidur.
"Kenapa Mama pergi meninggalkan aku, ya, Bu?" tanya Aleysa kemudian.
"Karena memang sudah begitu takdir yang harus dijalani sama Mama," jawabku pelan.
Kucium puncak kepala Aleysa penuh dengan rasa sayang. Harum wangi aroma strawberry langsung menyergap indra penciumanku.
"Sekarang, aku gak punya mama lagi, dong? Terus apa nanti Papa nikah lagi, jadinya aku punya mama tiri?" tanya Aleysa membuatku kaget.
"Eh, kamu tahu cerita seperti itu dari mana?" tanyaku heran.
"Dari tv, kalau ibu lagi nonton sinetron itu, aku juga nonton, kan?" jawabnya lugu.
Ya, ampun. Aku menepuk jidat sambil tertawa.
"Gak selalu seperti itu, itu cuma di sinetron aja. Kalaupun benar, semoga saja kami dapat Mama baru yang baik," ucapku kemudian.
"Seperi Bu Intan?"
Uhuk!
Aku sampai terbatuk saking kagetnya, kenapa Aleysa jadi terpikir aku yang jadi Mama tirinya.
"Bukan, kok jadi Bu Intan yang kamu sebut?"
"Aku maunya ibu yang jadi Mama aku nanti," jawabnya.
"Hmm, itu tidak mungkin Aleysa. Sudah! Kamu tidur dulu, ya! Biar nanti gak ngantuk waktu nganterin aman ke ruang barunya."
Aleysa pun mengangguk kemudian memejamkan matanya, tak lama kemudian dengkuran halus pun terdengar, pertanda kalau dia sudah tidur dengan pulasnya.
Aku pun bangkit dengan perlahan agar dia tidak terbangun. Kemudian melepaskan diri sebentar di depan meja riasnya Aleysa, lalu keluar kamar dan menutupnya dengan pelan.
"Intan!"
Aku terkejut karena tiba-tiba saja Pak Arfan sudah berdiri di belakangku.
"Eh, iya, Pak," jawabku dengan kaget.
"Hmm, kenapa Alyesa panggil kamu dengan sebuah Ibu?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
"Ma-maksud Bapak?"
"Saya sudah mendengar pembicaraan kalian tadi. Mengapa dia memanggil kamu Ibu?"
"Sa-saya ... itu karena kemauan Aleysa sendiri, Pak. Dia gak mau panggil saya Mbak karena saya lebih tua dari Maya, pengasuhnya dulu."
"Hmm, kenapa saya baru dengar sekarang?"
"Itu karena saya yang minta, saya bilang kalau dia boleh panggil saya Ibu jika tak ada orang lain. Hanya kami berdua saja, Pak. Saya minta maaf jika saya lancang, tapi saya hanya menuruti keinginan putri bapak saja," jawabku.
Bersambung.