Bab 11
Mas Gupta tampak marah, kemudian mengejar aku ke dapur.
"Aku merasa kamu menyimpan rahasia yang aku tak boleh tahu, Intan!" serunya dari dekat meja makan.
Aku tak menanggapi seruannya, aku melanjutkan kegiatan membuat segelas kopi untuknya.
"Intan!"
"Aku gak punya rahasia apa-apa, Mas. Aku hanya berpikir bagaimana kehidupanku setelah kita bercerai nanti. Kamu enak, bisa menikah lagi dengan Kristin pacar kamu itu. Sedangkan aku? Apa kamu tahu betapa hina nya wanita yang menyandang status janda seperti aku nanti?"
Aku terus berbicara walaupun nafasku terasa sesak karena bicara sambil menahan tangis saking emosinya.
Mas Gupta terdiam sesaat, lalu bergerak mendekati aku yang sedang berusaha menenangkan diri di dekat meja dapur. Digenggamnya kedua tanganku lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
Entahlah, kali ini aku pasrah saja diperlakukan seperti itu. Aku merasa damai berada dalam pelukannya. Biarlah kunikmati sejenak rasa nyaman ini.
"Maafkan aku, Intan. Maafkan aku," bisiknya di telingaku.
Mas Gupta membiarkan aku menumpahkan tangis di dadanya. Setelah merasa tenang, aku pun menarik tubuhku menjauh dari Mas Gupta.
Kemudian, memberikan kopi yang sudah kubuat tadi padanya.
"Bik Iyem sedang ke ruang saudaranya. Besok pagi baru kembali. Kalau Mas mau makan, semuanya sudah ada di meja makan. Aku mau tidur, ngantuk," kataku lalu beranjak ke kamar tidurku sendiri.
Sampai di kamar, aku pun berbaring dengan perasaan campur aduk. Kata-kata yang aku ucapkan tadi keluar begitu saja tanpa aku sengaja. Namun, aku malah berpikir sekarang. Semua yang kukatakan tadi akan aku alami beberapa bulan lagi.
Aku akan bercerai dan menyandang status sebagai janda. Jadi gadis tua yang belum menikah saja, setiap hari aku di-bully tetangga. Bagaimana kalau jadi janda nanti?
_______
Keesokan harinya, aku bangun kesiangan. Sebenarnya aku sudah bangu waktu subuh tadi, tapi setalah salat aku memilih untuk tidur kembali.
Kulihat jam di dinding, ternyata sudah pukul delapan pagi. Mas Gupta pasti sudah berangkat kerja. Perlahan aku turun dari tempat tidur lalu ke kamar mandi. Setelah selesai, aku keluar dari kamar.
Sepi, sepertinya Bik Iyem belum kembali. Aku pun pergi ke dapur untuk membuat sarapan pagi untukku. Namun, mataku tertumbuk pada bungkusan di atas meja makan. Sepertinya nasi uduk, aku pun membukanya dan benar saja dugaanku tadi.
Di sampingnya ada sebuah kertas kecil berisikan pesan dari Mas Gupta.
"Ini buat kamu, dimakan, ya! Aku pergi ke kantor dulu."
Sambil tersenyum kecil, aku menaruh kembali kertas tersebut dan mulai memakan nasi uduk yang diberikan oleh Mas Gupta.
"Assalamualaikum, maaf, Bu, saya kesiangan datangnya," ucap Bik Iyem yang baru saja datang dengan tergopoh.
"Waalaikumsalam, gak apa-apa, Bi. Bagaimana keadaaan keponakannya? Apa sudah baikan?"
"Alhamdulillah, sudah Bu," jawab Bi Iyem lagi.
Bik Iyem pun kemudian permisi untuk ke dapur setelah membereskan meja dan piring bekas aku pakai tadi.
Drrt! Drrrtt!
Suara ponsel yang berbunyi dengan nyaring mengagetkanku. Segera aku ambil dan melihat siapa yang mengirimkan pesan. Ternyata dari Mas Gupta.
Dia bertanya apa aku sudah sarapan dan kubalas dengan emoticon jempol saja. Dia malah membalas dengan emoticon peluk dan cium.
"Lagi kesambet apa ini orang?" pikirku tanpa berniat membalas pesannya lagi.
Lebih baik aku membereskan kamarnya saja, sepertinya sudah lama tidak aku bersihkan. Memang untuk urusan membersihkan kamar, aku melarang Bik Iyem melakukannya.
Rasanya risih saja jika ada orang lain yang merapikan kamar pribadi, walaupun kamar kami terpisah. Memasuki kamar Mas Gupta, ada perasaan sedih yang menyelusup ke hatiku.
Seharusnya, aku juga tidur di sini. Namun, segera kutepis rasa sedih itu, aku harus sadar kalau pernikahan kami hanyalah settingan belaka. Mas Gupta tidak mencintaiku, dalam hatinya hanya ada Kristin saja.
________
Pov Gupta
Pekerjaanku hari ini sangat banyak dan menumpuk. Perlu konsentrasi dan ketenangan untuk mengerjakannya. Namun, Kristin seperti tak mau mengerti. Dia terus menghubungi dan mengajakku untuk mengobrol. Ada saja yang menjadi topik pembicaraannya.
Jika aku tak meladeninya, Kristin akan menuduhku mulai berubah dan tak sayang padanya.
[Kristin, please understand me. I have a lot of work today,] bujukku di ponsel.
[No Gupta, I don't want to know. If you don't want to take me to Jakarta, we better break up?] ancamnya.
[Kau ingin tinggal di Jakarta, bahasa Indonesia saja kau tak mengerti,] ucapku asal di ponsel.
Dia pasti tak mengerti dan akan bertanya apa yang aku katakan tadi. Namun, perkiraanku ternyata salah.
"Siapa yang kamu katakan tak pandai bahasa Indonesia, Gupta. Aku bisa," balasnya seraya tertawa.
Apa? Dia bisa bahasa Indonesia? Sejak kapan?
"Kamu mengerti ucapanku, Kristin?" tanyaku bingung.
"Ya, Gupta. Selama ini aku belajar secara khusus dengan orang Indonesia di sini. Aku sudah bisa bahasa negara kamu," balas Kristin senang.
Aku merasa suprise dengan kejutan yang diberikannya. Ternyata dia benar-benar serius ingin hidup bersamaku dan tinggal di Indonesia.
"Kau senang, Gupta?" tanya Kristin kemudian.
"Eh, iya tentu saja. Aku senang. Jadi mulai sekarang kita bicara pakai bahasa Indonesia saja, ya. Sekaligus melatih agar kamu lebih lancar," jawabku tergagap.
"Oke, tidak masalah. Jadi, kapan kau membawaku ke Jakarta. Aku sudah tidak sabar lagi!" serunya senang.
"Soon, baby. Kamu sabar dulu, ya. Tinggal enam bulan lagi," jawabku.
"What? Enam bulan lagi, itu masih lama, Gupta! Aku tak bisa menunggu selama itu!"
Kristin sepertinya kembali kesal. Namun, mau bagaimana lagi. Aku tak mungkin membawanya ke Jakarta saat ini. Bisa hancur semua rencana yang sudah kususun dengan rapi.
"Gupta!"
"Iya, Pak," sahutku dengan kaget.
Pak Ardian, bos di kantorku rupanya yang memanggil.
"Bisa ke ruangan saya sekarang?"
"Bisa, Pak!" jawabku cepat.
Kemudian memutuskan percakapan dengan Kristin setelah memberitahunya kalau aku dipanggil oleh bos ku.
Sampai di ruangannya, ternyata sudah ada Pak Arfan di sana. Beliau tampak sedang berbincang dengan Pak Ardian.
"Assalamualaikum, selamat siang, Pak," salamku setelah membuka pintu.
"Waalaikumsalam, silakan duduk Pak Gupta. Kalian sudah saling mengenal, kan?" jawab Pak Ardian sambil menunjuk pada Pak Gupta.
"Sudah, Pak," jawabku singkat.
"Baiklah kalau begitu, jadi kerja sama kita akan lebih mudah nantinya. Gupta yang akan mewakili perusahaan saya, " lanjut Pak Ardian.
Pak Ardian lalu memberitahuku kalau kami akan melakukan kerja sama dengan perusahaan Pak Arfan. Setelah menjelaskan detail pekerjaan yang akan kami lakukan, Pak Adrian mengajak Pak Arfan untuk makan siang di sebuah kafe yang ada di dekat kantor.
Kami bertiga sedang berjalan menuju ke kafe tersebut saat ponsel Pak Arfan berdering. Wajahnya berubah cemas setelah menerima panggilan tersebut.
"Wah, maaf Pak Adrian. Saya harus segera pulang karena istri saya tiba-tiba sakit. Mungkin lain waktu kita bisa makan bersama," ucapnya dengan nada menyesal.
"Oh, tidak apa, Pak Arfan. Keluarga lebih penting, kan. Semoga istrinya cepat sembuh, ya," balas Pak Adrian.
"Aamiin, terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari Pak Gupta," pamitnya.
"Silakan, Pak," balasku.
Pak Arfan pun bergegas pergi dengan mobilnya. Wajahnya kelihatan cemas sekali. Aku jadi penasaran dengan penyakit istrinya.
Bersambung.