Bab 8
Kedatangan kami yang tiba-tiba disambut ibu dan ayah dengan meriah. Ibu langsung sibuk memasak makanan kesukaanku dan Gupta walau sudah kularang.
"Kalian sih datangnya gak kasih kabar. Jadi ibu cuma masak seadanya saja," kata Ibu sambil tetap sibuk memasak.
Aroma semur ayam kesukaanku langsung menguar memenuhi udara di dapur.
Aku menemani ibu memasak, walaupun sebenarnya hanya sekedar menemani mengobrol saja. Ibu yang sibuk memasak, sedangkan aku hanya disuruh duduk manis di kursi makan. Sementara itu, Gupta duduk santai bersama ayahku di ruang tengah menonton acara tv kesukaannya.
"Mas Gupta tiba-tiba mengajak ke sini, Bu. Mumpung dia masih libur, soalnya kemarin dia sakit perut," jawabku.
Ibu menoleh padaku, kemudian mematikan api kompornya. Dia mendekatiku yang sedang duduk santai di kursi makan sambil mengupas pisang, buah kesukaanku sejak dulu.
"Sakit perut? Sekarang gimana? Apa sudah diobati?" tanya Ibu dengan panik.
"Sudah, Bu. Mas Gupta rupanya punya penyakit radang lambung, jadi dia gak boleh terlambat makan," jawabku santai.
"Radang lambung, kok kamu bisa gak tahu, Intan? Apa kata mertua kamu nanti jika ia tahu anaknya gak kamu urus dengan baik," omel ibuku.
"Ah, gak apa, kok Bu. Yang penting sekarang Mas Gupta sudah baikan, kan? Buktinya kami sudah bisa main ke sini?" jawabku lagi.
"Syukurlah kalau begitu, sebagai istri kita itu harus pandai mengurus suami agar mertua kami senang. Rumah tangga kalian juga akan bahagia selamanya."
Aku tertunduk mendengar nasihat Ibu. Rasa bersalah perlahan mulai mengisi relung jiwaku.
"Maafkan aku, Bu," ucapku dalam hati.
Saat ini, hanya itu saja yang bisa aku lakukan. Aku tak mungkin menceritakan semuanya pada kedua orang tuaku. Mereka bisa syok dan itu akan berakibat pada kesehatan mereka. Terutama ayahku, aku tak mau kalau sampai penyakitnya kambuh kembali.
"Kamu sudah hamil, Nduk?"
Lagi-lago ibu bertanya hal yang aku sulit untuk menjawabnya. Aku pun menggeleng dengan pasrah kemudian menunduk lagi. Ibu memelukku dan berkata kalau itu biasa, pernikahan kami kan baru berumur beberapa bulan saja.
"Yang penting kalian harus terus berusaha!" lanjut Ibu lagi.
"Iya, Bu. Terima kasih," balasku.
Suasana sedih pun tercipta di antara kami berdua. Namun, aku bersyukur karena tak lama kemudian, Gupta dan ayahku masuk ke dapur.
Ayah bertanya apa masakan sudah siap karena dia sudah lapar. Ibu pun langsung menyiapkan masakan yang sudah amoir selesai tadi. Kemudian, kami berempat menikmati makan siang dengan suasana riang.
Aku berusaha tersenyum menanggapi candaan dari ayah yang tampak sehat dan senang hari itu.
Saat menjelang sore, kami pun pamit pada kedua orang tuaku. Ibuku kembali memberi nasihat agar aku menjadi istri yang baik bagi Gupta. Aku pun hanya bisa mengiyakan sambil tersenyum.
Malam harinya, Gupta yang biasanya sibuk dengan ponselnya tampak santai menikmati siaran tv di ruang tengah. Aku sedang membersihkan peralatan makan, kami baru saja selesai makan malam yang kubawa dari rumah ibu.
Setelah selesai, aku berniat untuk masuk ke kamar tidur seperti biasanya.
"Intan!" panggil Gupta membuat langkahku terhenti.
"Ada apa?" tanyaku setelah berbalik menghadap padanya.
Dia menggeser duduknya memberi tempat untukku dan meminta aku untuk duduk di sampingnya. Dengan hati bingung, aku pun menuruti permintaan aneh Gupta.
"Aku mau bicara," katanya pelan setelah cukup lama kami duduk berdampingan dalam diam.
"Hmm, bicaralah. Aku akan mendengarkan."
"Siang tadi, aku sudah banyak berbincang dengan ayah kamu. Beliau berkata kalau mereka sangat mengharapkan agar kita segera memberi mereka cucu. Bagaimana menurut kamu?"
Gupta menunggu jawabanku, sementara aku masih bingung bagaimana harus memberikan jawaban.
"Ibu juga bicara seperti itu tadi denganku dan aku tak tahu harus memberikan jawaban apa selain berkata kalau Allah belum memberikan kepercayaan pada kita. Ah, aku merasa berdosa sudah berbohong dengan membawa-bawa nama Allah," keluhku merasa menyesal.
"Aku juga begitu, sebagai anak, aku merasa berdosa telah membohongi kedua orang tua kita. Namun, aku tak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya. Jadi menurut aku ... bagaimana kalau kita menuruti keinginan orang tua kita masing-masing."
"Maksudnya?" tanyaku pada Gupta.
"Kita berikan mereka cucu, aku tak keberatan kalau kita memperpanjang perkawinan kita ini satu atau dua tahun lagi."
"Hmm, mudah banget ngomongnya seperti itu, ya, Mas. Apa kamu gak mikir bagaimana nasib anak kita nanti kalau kita bercerai?" tanyaku lagi dengan kesal.
Seenaknya saja dia memberikan usul agar kami memberikan cucu untuk kedua orang tua kami. Itu berarti kami harus melakukan hubungan suami istri dan aku harus mengandung lagi.
Mengingat hal itu, hatiku mendadak sedih. Aku merasa rindu dengan bayi yang pernah kukandung dulu. Walaupun aku tak menginginkan dia, tapi hati kecilku merasa sangat kehilangan.
Walau bagaimana pun aku ini adalah ibunya, dan aku ingin sekali bertemu dengan anakku yang aku tak tahu kelaminnya, siapa namanya. Aku merasa menjadi ibu yang sangat buruk.
"Maafkan aku kalau begitu, Intan. Aku hanya memberi usul agar orang tua kita bahagia. Sudahlah, tidak usah kita bahas lagi masalah ini. Biarlah semuanya berjalan seperti rencana kita semula."
Gupta berkata tanpa melihatku, lalu berjalan ke kamarnya meninggalkan aku seorang diri.
"Dasar manusia aneh, plin-plan, gak jelas. Enak aja nyuruh aku hamil terus ntar diceraikan!" omelku seorang diri. Kemudian aku juga masuk ke kamar tidurku sendiri.
Malam itu, aku tidur dengan rasa kesal pada semuanya. Ada Gupta, orang tua, orang-orang di sekitarku serta nasibku yang selalu dipaksa untuk membuat orang lain bahagia.
______
"Assalamualaikum," salam seseorang dari luar pintu rumahku.
Aku yang sedang duduk santai membaca buku di ruang tamu bergegas bangkit dan berjalan ke arah pintu. Kuintip sebentar dari jendela kaca yang ada di sebelah pintu.
Ternyata Mama mertua yang datang bertamu. Langsung saja kubuka pintu sambil menjawab salamnya.
"Waalaikumsalam. Masuk, Ma!" ajakku dengan memasang senyum termanis.
Mama mertua tersenyum lalu memelukku dengan erat. Kami pun berjalan beriringan ke dalam rumah. Aku mengajak Mama mertuaku ke ruang makan.
Setelah mempersilakan dia untuk duduk, aku pun bergegas membuatkan segelas teh hangat untuknya.
"Diminum, Ma! Mumpung masih hangat," kataku seraya meletakkan teh hangat yang baru saja kubuat.
"Terima kasih, Sayang," jawabnya.
Dia pun meminum teh tersebut sedikit kemudian meletakkan kembali ke atas meja.
"Gupta pulang jam berapa?" tanyanya kemudian.
"Biasanya sih, setelah Magrib, Ma. Kalau gak ada rapat dengan klien," jawabku.
Mama mertua kelihatan menghela napas panjang kemudian menatapku dengan lekat.
"Kamu kapan hamilnya, Intan? Mama sudah gak sabar ingin menimang cucu dari kalian," ujar Mama lagi.
Lagi-lagi masalah anak, batinku.
Bersambung.