Bab 13
POV Intan
"Kamu pernah hamil anak melahirkan, Intan? Dengan siapa?" tanya Gupta dengan suara keras.
Aku yang sedang berada di awang-awang mendadak membuka mata. Kututupi tubuh polos ini dengan selimut yang ada di sampingku.
Ternyata kekhawatiran ku selama ini benar. Bekas operasi ini akan menimbulkan pertanyaan dan fikiran negatif dari suamiku.
"Katakan siapa pria yang sudah menghamili kamu, Intan!" bentak Mas Gupta lagi.
Tangannya mencengkram kedua bahuku dengan kencang, aku hanya bisa meringis kesakitan yang karena kuku jari Mas Gupta menyakiti bahuku.
"Sakit, Mas. Tolong lepaskan cengkeramanmu," kataku irih.
"Tidak! Sebelum kami berkata jujur. Siapa pria yang sudah menghamili kamu. Mengapa kamu mengaku belum pernah menikah. Ternyata kalian sudah membohongi aku!"
"Tidak, Mas. Aku tidak bohong. Kamu lepaskan dulu bahuku, nanti aku akan katakan semuanya."
Perlahan, Mas Gupta melepaskan cengkeramannya. Aku pun beranjak ke lantai pakaian. Setelah selesai berganti pakaian, aku pun mengajak Masyarakat Gupta untuk duduk di tepi tempat tidur.
Hari ini aku akan menceritakan semuanya pada suamiku itu. Setelah itu, terserah dia mau melanjutkan pernikahan kami atau tidak.
Namun, aku yakin kalau dia akan menceraikan aku. Secara aku tahu dia masih mengharapkan Kristin menjadi istrinya.
"Cerita lah, Intan. Katakan semuanya tanpa ada yang kamu tutupi!" suruh Mas Gupta.
Aku menarik napas sebentar lalu mulai bercerita.
"Aku ...." Ucapanku terhenti karena deringan ponsel Masa Gupta.
Mas Gupta kelihatan kesal, dia pun segera menjawab panggilan di ponselnya. Tak lama kemudian, wajahnya memucat. Bibirnya bergetar menahan tangis, dia memandangku sambil berkata dengan pelan.
"Papa dan mama mengalami kecelakaan. Mereka berdua ... meninggal dunia, Intan," ucapnya.
"Apa? Innalillahi wa innailaihi roziun," balasku tak kalah kagetnya.
Mas Gupta pun akhirnya menangis sambil tertunduk. Aku bingung harus melakukan apa. Akhirnya aku menghubungi kedua orang tuaku untuk menanyakan kebenaran kabar duka dari kedua mertuaku itu.
_____
Dosa yang manis
"Kita pulang sekarang, Mas!" ajakku dengan suara pelan.
Mas Gupta menengadah menatapku, lalu kembali menunduk. Perlahan dielusnya dua gundukan tanah yang ada di depannya.
Kedua mertuaku telah selesai dimakamkan keesokan harinya setelah kami tiba.
Para pengantar dan keluarga Mas Gupta sudah mulai beranjak meninggalkan pemakaman. Orang tuaku pun telah pulang beberapa saat yang lalu.
Saat itu, hanya tinggal aku dan Mas Gupta serta seorang sopir mertuaku dan juga penjaga makam yang masih setia menunggui kami.
"Mas," panggilku lagi.
"Kamu pulanglah lebih dulu, aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi," jawab Mas Gupta tanpa menoleh padaku.
"Tapi, Mas ...."
"Kamu tidak dengar apa kata-kataku tadi Intan! Aku bilang kalau aku masih ingin ada di sini!"
Mas Gupta berdiri dari posisinya semula kemudian berteriak padaku dengan marah. Aku sangat terkejut mendengar teriakannya. Selama kami tinggal bersama, baru kali ini dia berkata kasar padaku.
Aku pun berusaha memaklumi sebab saat itu dia sedang berduka.
"Aku dengar kok, Mas. Kami gak perlu berteriak seperti itu. Kalau begitu aku pulang dulu ke rumah Mama," ucapku kemudian.
"Tidak, jangan ke rumah mamaku. Kamu kembali saja ke ruang ibu kamu. Nanti aku menyusul ke sana," ujar Mas Gupta dengan dingin.
Aku kembali terhenyak kaget, dia menyuruhku untuk kembali ke rumah ibuku. Apa ini ada hubungannya dengan masalah kemarin? Aku pun tak berkomentar lagi, kemudian berbalik dan melangkah menjauhi komplek pemakaman dengan hati sedih.
Aku merasa ini adalah akhir dari pernikahanku. Tak perlu menunggu enam bulan lagi, Mas Gupta sudah tak punya alasan untuk mempertahankan hubungan kami. Kedua mertuaku, satu-satunya penghalang Mas Gupta untuk menikahi Kristin sudah meninggal dunia.
Aku masuk ke dalam mobil dengan hati gundah.
"Kita ke mana, Mbak?" tanya Mang Rohim, sopir mertuaku.
Dia pasti mendengar ucapan Mas Gupta tadi.
"Ke rumah Mama dulu, Mang. Aku mau ambil koper, lalu kita ke rumah Ibu," jawabku.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mang Rohim pun melajukan mobilnya menuju ke rumah mertuaku. Sampai di sana, masih banyak sanak saudara yang menunggu kehadiran kami. Jika aku pergi ke ruang ibu sekarang, pasti akan menjadi pertanyaan bagi mereka.
Akhirnya aku pun mengurungkan niat semula. Aku yakin Mas Gupta pasti akan mengerti jika kuterangkan alasanku nanti.
"Mang Rohim kembali saja ke pemakaman, jemput Mas Gupta!" kataku setelah turun dari mobil.
"Baik, Mbak," jawab Mang Rohim.
Aku pun berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah mertuaku. Beberapa kerabat mama dan papa pun langsung merubungiku. Mereka mengucapkan selamat berbela sungkawa dan mengatakan agar aku bersabar.
"Neng Intan, sudah hamil? Bukannya kalian sudah lama menikah?" tanya Bik Ratna, adiknya mama mertuaku.
"Belum, Bik. Allah belum memberikan kepercayaan pada kami," jawabku sambil berusaha tersenyum manis.
"Iya, Neng. Betul itu. Kamu itu aneh Ratna, suasana masih berduka begini ngasih pertanyaan yang macam-macam!" Pakde Karto memarahi Bik Ratna.
"Aku, kan, cuma bertanya aja, Kang," sahut Bik Ratna tak mau disalahkan.
"Kamu itu ...." Aku memotong ucapan Pakde secepatnya.
"Sudah Pakde, gak usah diteruskan. Aku gak apa-apa, kok. Aku ke dalam dulu, ya. Permisi semuanya."
Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Tak kuhiraukan suara-suara di belakangku yang menyalahkan Bik Ratna. Biarlah mereka berkomentar apa tentang perkawinan ku dan Mas Gupta.
Kenyataannya, aku merasa kalau pernikahanku sudah sampai pada akhirnya.
Aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu berganti pakaian. Setelah itu, kumasukkan kembali pakaian yang sudah kukeluarkan sebagian dari koper.
Setelah itu, aku membaringkan tubuhku yang terasa lelah di tempat tidur. Mencoba untuk beristirahat, sebab dari sampai tadi pagi, aku belum bisa memejamkan mata walau sejenak.
Perlahan rasa kantuk membuatku terbuai ke alam mimpi. Rasanya damai dan tenang sekali tidurku sore itu. Sampai sebuah suara menarik kesadaran ku ke alam nyata.
"Mas Gupta, kamu sudah pulang?" kataku sambil berusaha untuk duduk.
"Kamu gak dengar kata-kataku tadi! Kenapa kamu masih ada di sini!" bentak Mas Gupta.
Aku menarik napas lalu memintanya untuk duduk. Untungnya dia masih mau mendengarkan permintaanku.
Lalu menjelaskan mengapa aku masih ada di sini. Selain karena masih ada banyak saudara mertuaku di rumah. Aku juga berkata kalau tak ingin membuat nama baik kedua mertuaku tercoreng.
Jika aku pergi sekarang, apa kata para kerabat nantinya. Mereka pasti akan bergunjing dan menyalahkan kedua mertuaku.
"Baiklah, aku mengerti. Kita akan menyelesaikan semuanya setelah 7 hari kematian orang tuaku," ucap Mas Gupta.
Selesai berkata, dia keluar dari kamar tanpa pamit padaku. Tak lama kemudian, aku mendengar dia sedang asyik mengobrol dengan saudaranya di ruang tengah.
Aku merasa tersisih, Mas Gupta sudah mengambil sikap dan dari ucapannya aku tahu segalanya akan berakhir seminggu lagi.
Bersambung.