Bab 14
Seminggu kemudian, semuanya benar-benar terjadi. Sore itu, aku dan Mas Gupta tengah duduk di hadapan kedua orang tuaku. Aku tak bisa berkata-kata apapun.
Mas Gupta lah yang terus berbicara pada Ayah dan ibuku yang tampak syok mendengar keputusan menantu kesayangannya itu.
Ibu hanya bisa menangis sambil memelukku. Sementara Ayah tampak berusaha tegar, walau kutahu hatinya juga pasti bersedih.
"Saya minta maaf, Yah. Semua ini salah saya serta mama dan papa. Mereka lah yang memaksa saya untuk menikahi Intan. Sebenarnya saya sudah punya kekasih di Singapura dan saya akan menikahinya walau apapun yang terjadi."
Tenang sekali Mas Gupta berbicara terus terang seperti itu. Aku menunggu dengan was-was kapan dia akan menceritakan soal bekas operasi itu. Namun, sampai dia pulang setelah Ayah menerima keputusannya menceraikan aku, Mas Gupta tak sepatah katapun menyinggung soal bekas operasi itu.
Aku sedikit tenang, setidaknya kedua orang tuaku tidak akan menyelidiki lebih jauh soal bekas operasi itu.
"Oala, Nduk. Malang benar nasibmu. Baru juga menikah beberapa bulan sudah harus bercerai. Kenapa kamu gak bicara terus terang soal perjanjian kalian itu!" sesal ibuku.
"Dia berbuat begitu agar mulut para tetangga yang suka mengejeknya itu berhenti, Bu," kata Ayah membelaku.
Kami masih duduk bertiga di ruang tamu. Mas Gupta sudah pergi sejak setengah jam yang lalu.
"Terus sekarang gimana? Mereka pasti senang kamu bercerai, jadi ada bahan buat mengejek kamu lagi," ucap ibu lagi.
"Sudahlah, Bu. Semuanya sudah terjadi, sekarang aku tak akan membuat kalian malu lagi. Siapapun yang mengejekku akan aku ajak berkelahi," kataku.
"Kamu yakin, Nduk. Mereka itu lidahnya lebih tajam dari pisau, lho Nduk!" kata ibuku.
"Yakin, Bu. Aku akan ...."
Drrttt! Drrrtt!
Suara dering ponsel membuat ucapanku terhenti karena perhatianku terbelah.
Aku menjawab panggilan tersebut dengan ragu karena tak mengenal nomor si pemanggil.
[Hallo, assalamualaikum. Siapa ini?] tanyaku ragu.
[Waalaikumsalam, Intan ini aku, Pak Arfan. Aku tahu nomor kamu dari Pak Gupta,] jawab si penelepon di ujung sana.
Ternyata itu telepon dari Pak Arfan. Dia memintaku untuk segera datang ke Jakarta karena anak yang aku lahirkan dulu sedang kritis di rumah sakit.
Dia mengalami kecelakaan saat pulang dari rumah sakit dan membutuhkan donor darah secepatnya. Ternyata anakku itu mempunyai golongan darah yang sama denganku.
Saat itu, tak ada stok darah B Rhesus negatif yang tersedia di bank darah.
[Baik, Pak. Saya akan segera ke sana hari ini juga!]kataku dengan sedikit panik.
Setelah mengucapkan terima kasih, Pak Arfan pun mengakhiri panggilannya.
"Telpon dari siapa, Nduk?" tanya ibuku ikut khawatir.
Aku menimbang alasan untuk pergi ke Jakarta pada orang tuaku. Tak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya. Mereka pasti akan lebih kaget lagi dan akan menyalahkan aku.
"Eh, itu, Bu. Teman nawarin kerja. Besok aku akan langsung diwawancara. Kalau lolos, aku akan langsung kerja. Kalau nggak ya aku akan baik ke sini lagi," jawabku.
Aku merasa lega bisa terpikirkan alasan seperti itu.
"Halah, buat apa kamu kerja. Kalau cuma buat makan dan jajan, kami masih bisa memenuhinya!" kata Ayah ikut menimpali.
"Tapi, Yah. Kalau aku di sini terus, aku akan sedih dan tak bisa melupakan masalah dengan Mas Gupta. Anggap saja ini sebagai obat sakit hatiku, Yah."
"Intan benar juga, Yah. Biarlah dia pergi. Kalau memang Gupta mau mengurus perceraian, biar dia sendiri saja yang mengurusnya," ucap Ibu membelaku.
"Terima kasih, Bu. Ini juga belum tentu diterima kerjanya," balasku.
"Ibu doain semoga kamu diterima, jadi gak perlu tinggal di sini untuk mendengarkan ocehan tetangga jilid," ucap Ibu mendoakan ku.
Tentu saja aku meng-aminkan dalam hati. Ayah pun akhirnya menyetujui rencanaku. Hati itu juga aku segera pergi ke Jakarta untuk menyelamatkan nyawa anakku.
Aku pergi tanpa pamit pada Mas Gupta. Toh, sudah tak ada hubungan apa-apa lagi di antara kami secara agama. Katanya dia akan mengurus perceraian kami ke pengadilan agama. Biar sajalah, dia yang ingin bercerai ini. Lagi pula uang dia kan banyak.
Sekarang ini keselamatan anakku lebih penting dari segalanya.
Hati sudah mulai gelap saat aku tiba di depan rumah sakit di amna anakku dirawat. Segera saja aku menemui Pak Arfan yang sudah menunggu di depan ruang ICU. Ternyata Bu Mia juga sedang dirawat di sana.
Sebenarnya aku ingin bertanya tentang penyakit Bu Mia, tapi Pak Arfan tampak sangat khawatir. Aku segera di bawa ke ruangan periksa diambil sample darah.
Setelah menunggu beberapa saat, dokter menyatakan aku bisa memberikan darah pada putriku. Proses pengambilan darah pun di mulai. Dua kantong darahku pun terkumpul dan segera diberikan pada putriku.
Aku pun tertidur setelah proses pengambilan darah selesai. Selain karena lemas setelah darah diambil, aku juga merasa mengantuk dan lelah karena perjalanan dari kampung yang cukup melelahkan.
_______
Suara azan Subuh membangunkan aku dari tidur panjang. Tubuhku terasa segar setelah tidur dengan nyenyak cukup lama. Aku pun segera bangun dan turun dari tempat tidur.
Suster yang berjaga pun segera mendekatiku, dia takut aku jatuh atau kenapa-kenapa.
"Aku gak apa-apa, Suster. Aku mau salat Subuh, kok," kataku.
Perlahan aku beranjak ke kamar mandi untuk mandi dan kemudian berwudhu. Setelah itu, aku pun mengerjakan salat Subuh di dalam ruangan itu juga. Sebab jika harus ke musalla rumah sakit, letaknya berada di bagian belakang dan jalan ke arah sana masih terlalu gelap.
Setelah selesai salat, aku pun bertanya pada suster bagaimana keadaan anak yang aku sumbang darahnya. Mereka memang tidak boleh ada yang tahu siapa aku, begitu pesan Pak Arfan saat meneleponku kemarin.
"Anak itu sudah stabil, Bu. Berkat darah yang ibu sumbangkan dia sudah bisa melewati masa kritisnya," jawab si suster seraya tersenyum.
Dia memberikan padaku bubur yang masih terasa panas. Aku langsung melahapnya setelah meniup bubur itu, karena aku merasa lapar juga. Maklum saja, sejak kemarin sore aku belum makan sebutir nasi pun.
Krekkk!
Terdengar suara pintu yang dibuka, aku pun menoleh ke arah suara tersebut.
"Pak Arfan," gumamku.
Pak Arfan melangkah ke arahku seraya tersenyum.
"Bagaimana keadaan kamu, Intan?" tanya Pak Arfan setelah berada cukup dekat denganku.
"Alhamdulillah, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku.
"Syukurlah kalau begitu. Oh, ya, aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Berkat darah yang kamu sumbangkan, Aleysa sudah mulai membaik," sambung Pak Arfan.
"Oh, jadi namanya Aleysa. Bagaimana dia bisa kecelakaan, Pak?" tanyaku lagi.
Aku begitu penasaran dengan keadaan Aleysa.
"Kemarin siang, dia pulang dari rumah sakit ini bersama pengasuhnya. Mereka naik taksi online. Sayangnya, di tengah jalan, taksi online tersebut terlibat kecelakaan beruntun di lampu merah. Taksi yang mereka tumpangi ditabrak truk pengangkut minyak dari belakang Sopir taksi dan pengasuh Aleysa meninggal di tempat. Selain mereka banyak juga korban lainnya. Aleysa beruntung masih bisa diselamatkan, dia mengalami pendarahan di kepala, selebihnya kamu sudah tahu keadaannya kan?"
Aku menggeleng tak percaya membayangkan keadaan yang menimpa putriku tersebut. Pastinya dia sangat trauma jika sudah sembuh nanti.
Bersambung.