Bab 15
Keadaanku berangsur pulih, aku sudah kembali seperti semula. Pak Arfan juga sudah kembali ke ruangannya, Dia menyerahkan cek senilai seratus juta untukku. Tentu saja aku menolaknya, karena aku ikhlas menolong demi keselamatan putriku. Namun, Pak Arfan tetap memaksa, dia tak mau berhutang budi lagi padaku katanya
Aku pun terpaksa menerima cek tersebut. Sepertinya itu akan berguna suatu saat nanti, baiklah aku akan menyimpannya.
"Semuanya baik dan tidak ada masalah. Ibu bisa pulang sekarang."
Dokter yang memeriksaku sudah datang dan menyatakan aku sudah boleh pulang. Sebenarnya kata dokter yang memeriksaku, biasanya orang yang menyumbangkan darahnya langsung pulang beberapa saat setelah selesai mendonorkan darahnya.
"Tapi Pak Aryan memaksa agar Bu Intan di rawat dulu sampai pulih kembali. Sepertinya beliau sangat memperhatikan Anda," kata dokter tersebut seraya tersenyum.
Aku paham arti senyum anehnya itu, tapi aku tak mau ambil pusing. Biar saja dokter itu dengan prasangka sendiri.
Setelah dokter tersebut pergi, aku pun jadi bingung, mau pulang ke mana sekarang ini? Tak mungkin aku pulang secepat ini ke kampung. Ayah dan Ibu pasti akan banyak pertanyaan.
Aku juga masih malas berhadapan dengan para tetangga yang julid itu. Sepertinya aku harus mencari kontrakan untuk sementara waktu. Aku bisa saja bekerja di sini, kan?
"Yah, itu adalah rencana yang bagus," ucapku seorang diri.
Aku pun keluar dari ruangan dan bersiap untuk pulang, walaupun di dalam hati aku masih punya keinginan untuk bertemu dengan anakku. Namun, Pak Arfan pasti tidak akan mengizinkannya.
Berjalan dengan pelan, aku baru sadar kalau ternyata ruangan yang kutempati tadi berada di lantai tiga di rumah sakit ini. Saat melewati lift yang kebetulan baru saja turun ke lantai dua.
Iseng aku pun berjalan ke pintu darurat , kali ini aku berjalan kaki saja ke lantai dasar. Hitung-hitung olahraga pagi.
Saat sampai di lantai dua, aku mendengar suara tangisan dari salah satu ruangan yang ada di sana. Tangisnya sungguh menyayat hati membuat hatiku ikut bersedih. Entah kenapa, hatiku begitu terenyuh mendengar suara tangisannya.
Perlahan aku keluar dari pintu tangga darurat untuk mencari asal suara. Sepertinya di situ adalah ruang rawat untuk anak-anak. Dari pintu yang bagian atasnya terbuat dari kaca aku bisa melihat setiap ruangan terisi oleh anak baik laki-laki maupun perempuan.
Sampai di satu ruangan, aku melihat ada anak yang menangis tadi. Di sampingnya seorang wanita seumuran ibuku sedang berusaha membujuknya untuk diam. Sepertinya wanita itu adalah neneknya.
Dia tampak kewalahan menghadapi tangisan cucunya, aku pun berinisiatif untuk membantu.
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum, permisi Tante. Maaf saya mengganggu. Adik kecilnya kenapa?" tanyaku sambil membuka pintu kamarnya.
"Oh, ini Aleysa nangis, dia gak mau ditinggal sama papanya. Dia mau pengasuhnya yang sudah meninggal itu, saya jadi bingung," jawab si nenek.
Aleysa? Pengasuhnya sudah meninggal? Jangan-jangan dia Aleysa anaknya Mas Arfan yang itu berarti anakku juga.
Aku pun bergegas mendekati Aleysa yang masih terus menangis dengan suara kencang.
Benar dia adalah anakku, mata dan bentuk pipinya sangat mirip dengan diriku.
"Anak manis, kenapa kamu menangis? Apa kamu lapar?" tanyaku dengan lembut sambil mengelus rambutnya.
Aleysa yang tengah menangis mendadak berhenti kemudian mendongak menatapku. Tatapan mata kami pun bertemu, hatiku pun berdegup kencang.
Mata itu, aku seperti melihat mataku sendiri saat sedang bercermin.
"Tante siapa? Temannya mbak Maya, ya. Mbak Mayanya mana?" tanya Aleysa kemudian.
"Mbak Maya," ulangku pelan.
"Mbak Maya itu nama pengasuhnya, Nak," jelas neneknya Aleysa.
"Oh, iya Sayang. Tante Intan ini temannya Tante Maya. Dia bilang, mulai sekarang Aleysa harus melupakan dia. Karena dia sudah pergi jauh dan gak mungkin kembali lagi," ucapku akhirnya.
"Mbak Maya pergi ke mana?" tanya Aleysa.
"Ke surga," jawabku tanpa berpikir.
Aleysa sudah berumur hampir lima tahun, dia pasti sudah tahu apa itu surga. Aku yakin dia anak yang pintar, soalnya bicara saja sudah jelas dan lancar layaknya orang dewasa.
"Ke surga? Apa Mbak Maya sudah meninggal waktu tabrakan kemarin?" tanya Aleysa lagi.
Wajahnya kembali mendung, sepertinya dia akan menangis lagi. Aku pun memeluknya dengan penuh kasih sayang. Akhirnya mimpiku untuk bertemu dan bisa memeluk anakku sendiri tercapai juga.
Allah memang memberikan rezeki dengan jalan yang tak disangka-sangka. Aku sangat bersyukur untuk itu.
"Aleysa jangan menangis lagi ya, kan udah gede, nanti juga ada mbak yang baru sebagai pengganti Mbak Maya," hiburku.
Kulirik neneknya Aleysa yang hanya memandang kami dalam diam saja.
"Aku mau Mbak Intan yang menemani aku!" ucap Aleysa membuat tubuhku menegang.
Tidak mungkin, Sayang. Mama dan papa kamu pasti tidak akan setuju. Aku baru akan menolak permintaan Aleysa saat tiba-tiba Pak Arfan masu ke dalam ruangan.
"Intan! Sedang apa kamu di sini?"
Aku pun melepaskan pelukan Aleysa, walau gadis tersebut menolaknya.
"Saya ...." Otakku masih berpikir mencari alasan untuk menjawab, saat neneknya Aleysa berkata kalau aku sudah membantunya menenangkan Aleysa.
"Dia ngamuk waktu kamu tinggal tadi, Fan. Gak mau berhenti nangisnya, untung saja ada Intan."
Pak Arfan menatapku dengan tajam, lalu bergerak mendekati Aleysa yang mulai terisak lagi.
"Aleysa, kan tadi papa udah bilang kalau papa cuma pergi sebentar aja buat beli sarapan. Kenapa Aleysa malah menangis seperti itu?" tanya Pak Arfan dengan lembut.
"Aku mau Mbak Maya, Pa. Kata Mbak Intan, dia sudah meninggal ya, Pa?"
Pak Arfan kembali menoleh padaku lalu bertanya mengapa aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Aleysa.
"Maaf, Pak. Tadinya saya pikir, Aleysa akan mengerti dengan keadaan pengasuhnya," jawabku sambil menunduk.
"Kamu itu ...."
"Kamu kenal Intan di mana, Fan?" potong neneknya Aleysa.
"Dia itu, bekas karyawan aku di perusahaan yang lama, Ma," jawab Pak Arfan.
"Bekas karyawan kamu? Bagus, kalau begitu dia sekarang bisa menggantikan posisi Maya. Aleysa menyukai Intan, iya, kan, Sayang?" Neneknya Aleysa bertanya sambil memeluk Aleysa.
"Iya, Oma," jawab Aleysa senang.
Aleysa memelukku sambil berkata kalau aku harus jadi pengasuh dia mulai hari ini juga.
"Aku mau ditemani Mbak Intan mulai sekarang, Pa!" seru Aleysa.
Pak Arfan kelihatan keberatan, tapi dia tak mungkin menolak permintaan mama dan anaknya. Hatiku merasa senang sekaligus takut.
Senang karena bisa berdekatan dengan anakku setiap hari. Takut jika Bu Mia marah dan akan mengusir diriku.
Aku sendiri belum tahu bagaimana keadaan Bu Mia saat ini, karena kata Pak Arfan pagi tadi, Bu Mia sedang sakit keras di ICU. Entah sakit apa, aku belum bertanya lagi pada Pak Arfan.
"Papa! Aku mau pulang sekarang, Mbak Intan juga ikut, ya!" seru Aleysa sambil terus memelukku.
Bersambung.