Bab 9
"Tadi Mama datang kemari," kataku memberitahu Gupta.
Gupta menghentikan kegiatannya mengetik di ponselnya, aku tahu kalau dia pasti sedang berbalas chat dengan Kristin, pacarnya.
Dia baru saja pulang kerja, sebenarnya Mama mertua berniat menunggunya tadi. Namun, karena sampai jam sembilan malam Gupta tak juga pulang, akhirnya Mama mertua pun pulang.
Pukul sepuluh malam, barulah Gupta pulang dengan wajah letih. Katanya dia baru saja selesai menemani staf dari pusat yang datang berkunjung untuk melihat pekerjaan mereka di daerah.
"Mama bilang apa saja?" tanya Gupta setelah berdiam diri beberapa saat.
Aku menghela nafas lalu duduk di depannya, Gupta melihatku dengan intens lalu kembali fokus dengan ponselnya saat terdengar notifikasi pesan masuk.
Merasa diabaikan, aku pun memilih masuk saja ke kamarku. Biar saja Gupta asyik dengan pacarnya itu, aku tak peduli.
"Intan!" panggil Gupta saat aku sudah menyentuh pegangan pintu kamarku.
"Ada apa?" tanyaku tanpa menoleh.
"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi, Mama bilang apa saja?" ulangnya lagi.
"Tidak ada," jawabku pendek.
Lalu segera masuk ke kamar dan menutup pintu dengan sedikit kesal. Kutunggu beberapa saat, tak ada ketukan maupun panggilan dari luar kamarku. Sepertinya Gupta masih asyik mengobrol dengan pacarnya itu.
Aku pun memilih untuk tidur saja. Mencoba melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi.
_______
"Mbak, tolong buatkan satu buket bunga mawar, ya!" pesanku pada penjaga toko bunga segar yang ada di dekat rumahku.
Penjaga toko yang mempunyai wajah manis itu pun segera beraksi dengan cepat. Dalam sekejap, satu buket mawar berwarna merah segar sudah selesai dibuatnya. Setelah membayar, aku pun bergerak meninggalkan toko bunga tersebut.
Rencananya bunga ini akan aku berikan pada ibuku tersayang, hari ini dia sedang berulang tahun, jadi aku ingin memberikan kejutan untuknya. Sekarang aku akan pergi ke toko kue untuk mengambil kue ulang tahun yang sudah aku pesan kemarin.
Ciittttt!
Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna biru mengeram mendadak di depanku. Saking senangnya dengan bunga di tangan aku sampai melupakan sekelilingku. Untung saja sopir mobil di depanku ini bisa mengerem, jika tidak, aku tak bisa membayangkan bagaimana keadaanku saat ini.
Aku hanya bisa berdiri terpaku sambil menutup mata saking asyiknya.
"Mbak gak apa-apa, kan?" tanya sang sopir yang keluar dari dalam mobil dengan tergopoh.
Aku membuka mata sambil menggeleng dan betapa terkejutnya aku saat melihat siapa sosok di sampingku.
"Pak Arfan!" pekikku kaget.
"Intan! Ini beneran kamu?" tanya Pak Arfan tak kalah kagetnya.
"Iya, Pak. Bapak apa kabar, ohya, Bu Mia mana?" Mataku celingukan mencari.kwbwradaan Bu Mia di dalam mobil.
Aku hanya bisa melihat bayangan seseorang karena kaca mobil yang berwana hitam membuat pandanganku tak jelas.
"Mia, dia sekarang ...."
"Papa! Ayo cepat, Pa. Nanti aku terlambat!" seru seorang gadis kecil dari dalam mobil yang kaca mobilnya sudah diturunkan.
"Sebentar, Sayang!" jawab Pak Arfan.
Aku berdiri terpaku melihat wajah gadis kecil di dalam mobil di depanku. Wajah itu sangat mirip denganku,
"Maaf, Intan. Kami terburu-buru, permisi," pamit Pak Arfan.
Kemudian bergegas masuk ke dalam.mobil dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku baru tersadar dan segera berusaha mengajar mobil tersebut.
"Pak Arfan, tunggu!" seruku dengan sekuat tenaga. Namun, mobil tersebut terus melaju Dnegan kencangnya hingga hilang di ujung jalan yang berbelok.
Aku pun terduduk di jalan dengan lemas. Air mataku menetes tanpa kusadari. Anak itu sangat mirip denganku, apa mungkin dia adalah anak yang kulahirkan lima tahun yang lalu?
Aku semakin sedih dan menangis tergugu, hatiku merasa senang sekaligus sedih di saat bersamaan.
"Intan, bangun! Kamu kenapa?"
Aku merasa mendengar suara Mas Gupta di sampingku. Perlahan aku membuka mata dan merasa heran karena ternyata aku masih berada di dalam kamar.
Lalu pertemuanku dengan Pak Arfan tadi, apa hanya mimpi.
"Kami mimpi apa sampai berteriak dan menangis seperti itu. Siapa itu Pak Arfan?" Mas Gupta memberondongku dengan banyak pertanyaan. Matanya menatapku dengan tajam.
"Aku hanya mimpi ketemu hantu, aku juga gak kenal dengan Pak Arfan," jawabku berbohong.
"Makanya kalau mau tidur baca doa, biar mimpinya indah. Sudahlah, lanjutkan lagi tidurmu. Bikin aku takut aja tadi!" omel Gupta sebelum keluar dari kamarku.
Rupanya aku lupa mengunci pintu tadi, sehingga dia bisa masuk ke kamarku. Setelah dia pergi, aku kembali mengingat akan mimpiku tadi.
Pak Arman dan gadis kecil yang wajahnya mirip denganku terus terbayang di pelupuk mataku. Apa artinya mimpiku tadi, ya?
Aku terus terjaga sampai jam di ruang tamu berdentang tiga kali, sudah pukul tiga pagi. Aku pun memutuskan untuk melaksanakan salat malam. Hatiku sedikit tenang setelah selesai saat dan berdoa. Aku berharap kalau mimpi tadi adalah pertanda baik untukku.
_____
Satu minggu kemudian, Gupta membawa kabar yang mengejutkan. Dia berkata kalau kami akan pindah ke Jakarta.
"Kenapa mendadak begini?" tanyaku.
"Kantor pusat memerlukan tenaga bantuan di sana, jadi aku menawarkan diri. Lagi pula, ini bagus agar kita jauh dari kedua orang tua kita masing-masing. Sehingga kita tak pusing memikirkan permintaan mereka, bukan?"
Benar juga, pikirku. Perjanjian pernikahan kami hanya tinggal beberapa bulan saja lagi, setelah itu kami akan berpisah. Akan lebih baik jika alami tinggal jauh untuk sementara waktu dari orang tua kami masing-masing.
Akhirnya aku pun setuju dengan rencana Mas Gupta. Dua hari kemudian, kami berpamitan pada orang tuaku dan juga orang tua Mas Gupta. Mulanya mereka merasa keberatan, tapi Merkea tak bisa menahan kami karena Ma Gupta harus segera pindah ke ibukota.
Berbagai nasihat aku rekam dari ibu dan mama mertuaku. Mereka berpesan agar kami secepatnya memberi kabar baik. Aku hanya mengangguk saja, sambil memohon maaf di dalam hati.
Beberapa puluh jam kemudian, kami sudah tiba di Jakarta dengan mengendarai mobil Mas Gupta. Kami tak membawa banyak barang karena semua perabotan isi rumah sudah disediakan oleh pihak perusahaan.
Rumah yang disediakan oleh perusahaan cukup besar dan bagus menurutku. Mas Gupta mencarikan seorang pembantu yang akan mengurus rumah dan menemaniku selama dia bekerja.
Keesokan harinya, Mas Gupta sudah langsung bekerja. Aku menghabiskan waktu dengan membantu Bik Iyem membersihkan rumah dan memasak makanan kesukaan Mas Gupta.
Rencana sore nanti, dia akan membawaku berkeliling kota Jakarta. Walaupun dulu aku bekerja di kota ini, tapi aku jarang keluar jika sedang libur. Aku lebih suka berdiam diri di kamar kost ku.
Mengenang saat ang sudah berlalu, membuat aku kembali teringat akan mimpi itu. Apakah gadis kecil itu benar anakku? Kalau benar, kapan aku bisa bertemu dengannya?
Bersambung.