Chereads / Dosa Yang Manis / Chapter 10 - Bertemu Betulan

Chapter 10 - Bertemu Betulan

Bab 10

"Kata ayah, kamu dulu pernah bekerja di Jakarta?" tanya Mas Gupta. Saat itu kami sedang menunggu makanan yang sudah kami pesan di sebuah food court yang ada di mall.

Mas Gupta mengajakku jalan-jalan seperti janjinya lagi tadi. Aku memilih pergi ke mall yang terdekat. Selain karena malas menghadapi macet sore itu, aku juga sudah lama tak menikmati suasana mall yang ramai dan penuh dengan barang-barang bagus untuk dilihat.

Aku mengangguk tanpa bersuara. Aku sedang tak ingin membahas hal itu, karena aku takut nanti Mas Gupta jadi mengetahui masa silam ku.

"Kamu bekerja di mana?" tanyanya lagi.

Aku menatapnya dengan lekat.

"Kenapa Mas ingin tahu?" tanyaku.

"Hanya ingin tahu saja," jawabnya.

"Kalau begitu aku punya hak untuk tak menjawabnya, kan?" uajrku membuat Mas Gupta mengangguk pelan.

Dia pasti ingat akan perjanjian awal kami sebelum menikah. Suasana mendadak menjadi canggung, untung saja tak lama kemudian makanan yang kami pesan datang. Aku menikmati makan dalam diam, demikian juga dengan Mas Gupta.

Mungkin dia tersinggung dengan penolakan tadi, tapi aku tak peduli.

Setelah selesai makan, Mas Gupta mengajakku pulang. Sampai tiba di rumah, tak ada lagi perbincangan di antara kami berdua. Namun, saat aku akan masuk ke kamar, Mas Gupta memanggilku dan berkata kalau besok dia akan mengajakku pada acara di kantornya.

"Acara apa?" tanyaku malas.

"Acara penggalangan dana untuk korban bencana alam di daerah. Yang hadir tidak hanya dari kantor Mas saja. Ada juga dari perusahaan lain," jawabnya.

"Aku harus ikut?" tanyaku lagi.

Mas Gupta mengangguk dan berkata kalau teman kantornya yang baru ingin berkenalan dengan aku, istrinya Mas Gupta.

"Baiklah, sore hari, kan perginya? Aku mau ke salon dulu," beritahuku.

"Iya, aku akan menjemputmu pukul lima sore."

_______

Acara yang diadakan di hotel bintang lima yang dipesan oleh kantornya Mas Gupta ternyata cukup meriah. Tamu yang hadir juga sepertinya dari golongan berkelas.

Teman-teman baru Mas Gupta juga cukup baik, mereka ramah dan bicara dengan sopan saat berkenalan tadi. Aku merasa nyaman-nyaman saja selama acara berlangsung. Namun, sayangnya itu tak berlangsung lama.

Kehadiran pria yang hadir di mimpiku beberapa hari yang lalu telah merusak semuanya. Lebih parah lagi, ternyata dia mengenal Mas Gupta. Aku sampai terdiam tak berkutik saat masih Gupta mengenalkanku sebagai istrinya pada Pak Arfan.

Pak Arfan mulanya cukup terkejut melihatku, tapi dengan cepat dia kembali bersikap biasa. Bahkan dia bisa tersenyum ramah menyapaku seolah kami belum pernah saling mengenal.

Aku pun mengikuti sikapnya, bersikap biasa saja seakan baru mengenal Pak Arfan.

Mas Gupta dan Pak Arfan kemudian terlibat perbincangan bisnis yang cukup seru, sedangkan aku memilih sibuk dengan ponselku.

Beberapa kali aku melirik ke arah Pak Arfan dan rupanya dia juga sedang memperhatikan aku. Hal itu membuatku salah tingkah, aku pun tak berani lagi melirik padanya.

"Intan, Mas mau ke toilet. Kamu di sini saja dulu bersama Pak Arfan," kata Mas Gupta mengagetkanku.

"Oh, tidak! Jangan di saat seperti ini, Mas!" jeritku di dalam hati.

Tanpa menunggu jawabanku, Mas Gupta langsung saja berlalu ke kamar mandi. Tinggallah aku dan Pak Arfan yang masih terus memandangiku dengan lekat.

"Saya tak menyangka akan bertemu dengan kamu lagi, Intan. Kamu beneran istrinya Gupta?" tanya Pak Arfan setelah Mas Gupta tak kelihatan lagi

"Iya, Pak," jawabku pendek.

"Saya hampir saja tak percaya jika tak mendengar Gupta menyebut kamu sebagai istrinya tadi," sambung Pak Arfan lagi.

"Maaf, Pak. Saya ...." Aku bingung harus berkata apa.

"Tak apa, Intan. Saya cuma heran, kenapa kamu bisa menikah dengan Gupta. Setahu saya, setahu saya dia itu pacaran dengan Kristin. Gadis dari Singapura," sahut Pak Argan membuatku kaget.

Pak Arfan juga tahu akan hal itu, jadi Mas Gupta tak menyembunyikan hubungannya dengan Kristin di antara teman-temannya.

"Saya dijodohkan oleh kedua orang tua saya, Pak," jawabku pelan.

Pak Arfan mengangguk, tampaknya dia mengerti dan tak ingin membahas masalah itu lagi. Sementara itu, aku ingin bertanya tentang anak yang aku kandung kemarin, tapi lidahku terasa kelu.

Aku tak punya keberanian untuk bertanya bagaimana keadaan anakku sekarang. Aku takut, Pak Arfan merasa aku akan merebut anaknya itu. Seperti tuduhan Bu Mia tempo hari.

"Kamu baik-baik saja, kan, Intan?" tanya Pak Arfan lagi.

"Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Kalau Bu Mia bagaimana keadaannya? Apa dia tidak ikut sekarang?" tanyaku.

"Oh, tidak. Mia tidak bisa ikut karena dia sekarang ...."

"Wah, sepertinya obrolannya seru sekali, nih?" Mas Gupta datang dan langsung memotong ucapan Pak Arfan.

"Oh, ini Intan bertanya mengapa istri saya tidak ikut," balas Pak Arfan seraya melirikku.

Aku hanya mengangguk sambil menahan kesal di dalam hati. Kejadiannya sama seperti di mimpiku. Jawaban Pak Arfan atas pertanyaanku tentang keadaan Bu Mia harus terpotong dan aku tak tahu kelanjutannya.

Tak mungkin kalau aku sekarang ngotot terus bertanya pada Pak Arfan. Mas Gupta bisa curiga dan akan mengetahui segalanya.

"Hmm, saya juga ingin bertanya seperti itu tadi, Pak, tapi saya sungkan. Ternyata Intan lebih berani dari pada saya, ha-ha-ha." Mas Gupta bicara sambil tertawa.

Aku sampai terkesima melihat ekspresinya saat sedang tertawa. Jujur, ini adalah kali pertama aku melihat tawanya yang begitu lepas. Sebelumnya dia tak pernah menampakkan tawanya, bahkan senyum tulus pun tak pernah kulihat.

Selama ini, aku hanya melihat senyum terpaksa yang ditampilkannya baik di depanku atau pun kedua orang tuaku.

"Istri saya sedang pergi dengan anak dan orang tua saya, jadi dia tak bisa hadir saat ini," jawab Pak Arfan sambil tersenyum dan melirik padaku lagi.

Oh, rupanya Bu Mia sedang bersenang-senang dengan orang tuanya dan ... anakku.

Bagaimana wajah anakku sebenarnya, ya? Apa benar seperti di mimpiku itu. Wajahnya sangat mirip denganku? Ah, rasanya tak sabar untuk bertemu dengannya. Namun, entah kapan hal itu akan terlaksana. Semoga saja secepatnya, harap ku di dalam hati.

______

Seminggu sudah waktu berlalu, tapi sejak aku bertemu kembali dengan Pak Arfan, entah mengapa rasa ingin bertemu anakku semakin menggebu.

Aku hanya ingin melihat dan memeluk anakku sekali saja. Sedikitpun aku tak ada niat untuk merusak kebahagian Pak Arfan dan Bu Mia.

"Sekarang kamu sering melamun, ada masalah apa yang kamu sembunyikan?" tanya Gupta.

Rupanya dia sudah pulang dari kantor seperti biasa dan aku tak mendengar kedatangannya karena asyik melamun.

Aku tak menjawab pertanyaannya, karena itu adalah hak pribadi. Aku pun memilih beranjak meninggalkannya dan pergi ke dapur untuk membuat segelas kopi.

Bik Iyem sedang pergi ke rumah saudaranya dan izin pulang besok hari.

"Intan! Aku bertanya, lho!" seru Mas Gupta.

"Kita sudah ada perjanjian untuk tak mencampuri urusan pribadi, kan, Mas?" tanyaku berusaha mengingatkannya.

Bersambung.