Mataku telah hilang dari kantukku yang sempat menidurkanku di ruangan ini. Tepat di mana posisi Riko berada, dirinya masih terbaring lemah dengan selang infus, serta jarum suntik yang selalu melekat di sisi pergelangan tangan.
Tanganku turun dari pipi yang lekat begitu saja. Kenapa pamanku berani memukul pipi di antara banyak orang? Padahal, dia merupakan adik dari ayahku. Dan mereka bersaudara kandung.
"Om, kenapa Om nampar Ocha? Iya, emang salah Ocha, tapi Om sama tante mestinya dengerin penjelasan Ocha dulu dong." Keluhanku mulai bertindak. Suaraku tidak mengeluarkan nada yang keras, berupaya tidak membangunkan pasien lainnya.
"Untuk apa? Riko ngerasain lebih dari yang kamu alami." Pamanku membangkang. Bahkan suaranya berisik menggema di antara para pasien.
"Hei, jangan berisik!"
"Bisa nggak sih kalian keluar."