Usai nonton kelimanya kembali bersantai di cafe yang berbeda dari yang tadi saat berbuka. Praya duduk di samping Langit barulah Senja yang sibuk dengan telepon genggamnya. Sedari tadi Praya tidak lepas merangkul tangan Langit sedangkan senyuman tipis di bibirnya membuat Anaya dan Fajar saling melirik seakan bertanya keduanya kenapa. Akhirnya Praya melepaskan rangkulannya di lengan Langit.
"Aku punya kabar baik." Praya menunjukan kelima jari kirinya. Ada cincin putih ramping bertahta berlian kecil. "Langit udah ngelamar aku." Kata Praya dengan suka cita, tidak bisa menyembunyikan bahagianya. Senyuman Praya begitu lebar, memamerkan barisan gigi rapinya.
Anaya sedikit membuka bibirnya lantas menutupnya dengan telapak tangan. "Alhamdulillah. Selamat, Praya." Anaya bangun. Disambut Praya, keduanya saling berpelukan.
"Makasih," ujar Praya.
"Selamat kak, Praya." Senja juga bangun memeluk hangat wanita itu layaknya kakaknya.
Sedangkan Fajar dan Langit hanya saling melihat.
"Semoga kalian bisa lekas nyusul!" Ujar Praya kembali duduk di samping Langit. Masih menebarkan senyuman bahagianya.
"Kak Fajar nanti setelah aku kuliah," ujar Senja begitu saja.
"Hus!" Hardik Fajar.
Senja langsung menutup mulutnya, merasa keceplosan. Tapi untuk Anaya ada getir dalam tatapannya, ia harus selalu menjadi nomor tiga bagi Fajar. Setelah ibu dan adiknya. Sebetulnya tidak masalah bagi Anaya karena katanya siapa yang menyayangi adik perempuan dan ibunya berarti laki-laki baik yang akan juga menyayangi kekasih hatinya.
"Terus kapan rencana lamaran resminya?" Tanya Fajar melihat Langit.
"Bulan depan, terus galama acara nikah digelar. Kata ibu dia." Langit menjawil hidung Praya dengan penuh kasih sayang. "Ga boleh lama-lama kalo udah lamaran, takut ada hama."
Praya tertawa sedikit. "Itukan kepercayaan orang dulu, padahal aku minta akhir tahun aja, bareng sama ulang tahun. Biar berasa kaya kado spesial."
"Tapi bener, Ya. Katanya ga boleh lama-lama." Ujar Anaya dengan tawa kecil. Kemudian sedikit melirik Fajar.
Fajar mengusap lembut rambut panjang Anaya. "Sabarnya, aku jadi kakak yang baik dulu buat, dia." Tunjuk Fajar dengan bibir pada arah Senja. Senja memanyunkan bibirnya, jika dibahas disini lagi pasti berakhir ribut dua saudara itu. Padahal Senja sudah katakan tidak masalah jika kakaknya itu akan menikah dan juga orang tua Fajar sudah merestui hubungan Fajar dan Anaya.
"Ngomong-ngomong sebelum aku nikah, pengen deh naik gunung lagi. Yang terakhir lah." Ujar Praya kemudian mencerup es jeruknya.
Senja yang tadinya asik dengan telepon genggamnya langsung menegakan kepalanya. "Senja boleh ikut, kebetulan bentar lagi kelas dua belas ujian, jadi Senja libur."
"Boleh tuh, aku bosen juga sama Jakarta butuh liburan," timpal Anaya melihat Fajar.
Fajar dan Langit saling melihat seakan sedang mempertimbangkan kedua keinginan wanita itu.
"Boleh aja, susun kapan waktunya, nanti aku cuti," ujar Fajar.
Semua wanita bersorak kegirangan, keinginan mereka dikabulkan dua pria ini. Karena malam sudah semakin larut pertemuan empat sahabat itu berakhir dengan Fajar mengantar Anaya pulang. Setelah mampir sebentar di rumah Anaya Fajar dan Senja pamit.
Sesampainya di dalam mobil, Senja langsung protes soal hubungan Fajar dengan Anaya. "Mas. Fajar. Kasihan kak Anaya kalo nunggu dua tahun lagi." Ujar Senja cemberut. Ia tidak mau terus jadi beban pikiran kakaknya, tapi Fajar tetap bungkam terus memperhatikan jalan.
"Mas. Fajar ga liat, ibunya kakak Praya kaya udah berharap banget, secara mada ada yang mau anaknya dipacarin terus dari jaman kuliah coba. Nah sekarang udah mapan, alasannya malah jaga Senja. Berasa ga guna banget jadi adik perempuan."
"Kamu lagi pms?" tanya Fajar malah.
"Mas. Sama Praya gak pernah pacaran, kita jalanin ini cuma komitmen serius aja." Repot memang kalau adik permpuan ketemu calon kakak ipar yang cocok, mereka akan saling kompak memojokan.
"Iya, Senja belum pms." Senja bersidekap dengan wajah cemberut.
Fajar ingin tertawa saat ini. Yah...paling tidak ia sudah tidak kaget menghadapi perubahan wanita jika mendekati pms, karena Praya juga sama moodnya akan sangat anjlok. Jika sudah begitu Fajar akan mampir ke minimarket untuk membeli es krim dan coklat. Tidak berapa lama mobil Fajar masuk halaman minimarket, Senja tidak tertarik untuk turun, ia memilih di dalam mobil mendengarkan musik. Tidak berapa lama Fajar kembali dengan kantong belanjaan yang ia letakan di atas pangkuan Senja.
Senja langsung melihat isinya. Seketika senyumannya melebar, bersamaan mobil kembali melaju membelah kemacetan Jakarta.
Pagi ini kedua orang tuan Senja sudah ada di rumah. Ayahnya duduk dimeja makan dengan lembaran koran yang masih ia baca. Puspita ibu Senja sedang merapihkan dapur dan sisa makanan sahur tadi. Tidak berapa lama Senja turun sudah rapi dengan seragam sekolah lantas menarik kursi untuk duduk di samping ayahnya. Disusul Fajar sudah rapi pula dengan kemeja biru muda yang melekat pas pada tubuhya.
"Ayah, sekarang udah jaman dijital, baca korannya pake hape."
"Ayam masih betah baca yang keliatan fisiknya," ujar sang ayah kembali tenggelam pada berita yang ia baca lewat keretas hitam putih itu. Jika tidak puasa, Puspita saat ini pasti sedang mempersiapkan sarapan sederhanan, telur dadar untuk anak-anak dan suamaianya.
Senja beralih pada ibunya yang masih di dapur. "Ibu… Senja boleh ikut Mas. Fajar naik gunung?"
Puspita yang sedang mencuci piring langsung melihat anak gadisnya. "Naik gunung? Buat apa?"
"Buat pengalaman dong Bu. Senja gak boleh aktif dipramuka tapi kalo sekarangkan sama Mas. Fajar, boleh ya, Bu?" ujar Senja mencoba merayu.
Puspita melihat Fajar seakan meminta penjelasan. "Aku gak bilang iya Bu. Langit sama Praya mau nikah dan mereka ingin sebelum ganti setatus, naik gunung lagi sekali. Tapi Fajar ngga ngajak Senja."
"Kalo gitu Senja gak boleh ikut, itu acara anak dewasa."
"Ah… ibu, sekali doang Bu." Senja kembali merengek. Sesaat melirik pada Aditiya ayahnya, tapi percuma ibu dan ayahnya akan satu suara dalam hal apapun.
"Sudah berangkat, nanti telat!" Aditiya melipat korannya lantas menunggu kedua anaknya memberikan salam. Senja dan Fajar bangun dari duduknya, setelah menyalami kedua orang tuanya keduanya berangkat.
Fajar mengantarkam Senja sampai depan gerbang sekolah. Sebelum turun Senja masih menyempatkan untuk merengek pada kakanya. "Mas…" Bibirnya dilepat seakan ingin menangis.
"Kata ibu juga ini acara orang dewasa. Senja! Bukannya Mas gak mau ngajak."
"Cuman takdir kayannya yang bisa bawa Senja ke sana!" Senja berlalu dengan gerutuan, awas saja jika ia sudah kulaih nanti. Senja akan memilih kuliah di luar Jawa agar bisa bebas berekspresi. Langkah kaki mungilnya semakin masuk dalam halaman sekolah, beberapa teman sudah mendekati Senja untuk berjalan bersama masuk dalam kelas. Tapi berita perselingkuhan Nandar ternyata sudah menyebar, alhasil Senja terus ditanya sola hubungannya.
Apa lagi yang bisa Senja katakan, ia diduakan. Sudah itu saja.