Puspita sibuk merapikan bajunya untuk dimasukan ke dalam tas, diawasi Fajar dan Senja dari pintu kamar kedua anaknya menunggu siapa tahu Puspita membutuhkan bantuan mereka.
Sedangkan Aditya masih di kantor, rencananya setelah pulang nanti keduanya langsung menuju Bandung untuk ke rumah Puspita. Kabarnya ibu Puspita jatuh sakit. Karena Senja masih ulangan semester dan Fajar sudah mengambil cuti dengan teman-temannya jadi keduanya tidak bisa ikut ke Bandung.
"Fajar aja yang bawa mobil, bu? Ayah kecapean banget langsung bawa mobil ke Bandung," tanya Fajar.
Fajar bisa langsung pulang setelah mengantarkan kedua orang tuanya, nanti pulangnya Fajar bisa naik kereta api lalu meminta Langit menjemputnya di stasiun. Bawa saja baju untuk kerja sekalian agar ia tidak terlambat.
"Nggak usah, ayah juga pelan-pelan nanti. Kita ga terlalu maksa buat cepet sampe, kalo capek tinggal tidur di pom bensin. Kamu ater Senja aja kaya biasanya." Puspita masih mengepak bajunya saat telepon genggamnya berdering di atas ranjang.
Mendengar telpon ibunya berdering Senja lantas meraihnya, kemudian mengangkatnya."Iya Yah. Ibu lagi ngepak baju Ayah. Bu kata ayah, ayah datang ibu sudah siap langsung berangkat." kata Senja menyampaikan pesan Aditya.
"Iya, ini udah siap. Ayah udah di jalan pulang?" tanya Puspita melihat Senja kemudian ia menerima telepon genggam yang Senja berikan untuk bicara langsung dengan suaminya.
Fajar masuk ke dalam kamar Puspita meraih tas yang akan ibunya bawa sedangkan Puspita berjalan ke arah dapur mengambil botol air minum untuk di jalan nanti.
"Kalian hati-hati di rumah, kalo Oma udah baikan ibu langsung pulang nanti."
"Iya, bu." ujar Senja kemudian memeluk ibunya sejujurnya ia juga ingin ikut untuk melihat sang nenek tapi ulangan semester belum selesai.
Tidak berapa lama mobil Aditya datang, ia kembali memarkirkan mobilnya untuk kembali keluar dari gang rumah.
Aditya turun dari mobil. "Udah siap?" Ia bertanya kepada Puspita dibalas anggukan oleh istrinya.
"Ayah nggak makan dulu?" Senja mendekati Aditya kemudian memeluk pinggang ayahnya.
"Ayah tadi udah makan roti di mobil, nanti ayah sama ibu makan di rest area. Ayah berangkatnya." Aditya mencium kening Senja sekilas perpisahan ini terasa berat bagi keduanya, padahal Aditya sudah sering tugas luar kota. Tapi untuk kali ini Senja begitu berat melepaskan ayahnya untuk pergi.
Fajar membawa masuk tas ibunya ke dalam jok tengah mobil kemudian mereka saling bersalaman. Mobil hidup, kemudian meninggalkan halaman rumah sederhana berlantai dua berwarna serba putih. Hanya ada sedikit sentuhan hitam pada sudut-sudutnya juga pada pagar besi.
Senja melambaikan tangan pada ibu dan ayahnya, disampingnya Fajar masih berdiri melihat orang tuanya pergi.
***
Esok paginya Senja sudah siap dengan seragam putih birunya, setelah siap dengan seragam dan atribut lainnya Senja turun ke lantai bawah. Dari dapur ia mendengar peralatan masak saling bergesekan, itu bukan hal yang aneh bagi Senja. Itu pasti Fajar yang tiba-tiba menjadi koki dadakan dan paling-paling menunya hanya telur dadar sedikit gosong di samping-sampingnya.
Benarkan dugaan Senja, telur dadar. Fajar memberikan piring berisi sedikit nasi dan telur di atasnya juga gelas kecil susu hangat dengan uap yang masih mengepul di atas gelasnya.
"Ya ampun Mas. Senja bukan anak sd lagi. Senja bisa masak telur sendiri terus susu coklat angat lagi. Senja manunya yang dingin," kata anak gadis itu sedikit mengerucutkan bibirnya protes dengan perlakuan Fajar.
"Buat pagi bagusnya susu anget. Cepet makan! Rusak tangan Mas, bikin sarapan kamu pagi ini."
Senja mencebikan bibir nggak ada yang nyuruh buat bikin sarapan!
Keduanya mulai memakan sarapannya meski rasanya jauh dari ras telur dadar ibunya, tapi Senja tetap menghabiskan. Sebelum berangkat Senja mencuci piring dulu bekas makan tadi barulah keluar dari rumah. Fajar sudah menunggu di dalam mobil melihat Senja mengunci rumah dulu.
"Mas, kayaknya lemur malam ini, kamu nggak papa kan di rumah sendirian? Nggak usah buka pintu buat siapa-siapa pura-pura ga ada orang aja."
Umur Senja sudah 17 tahun tapi sepertinya semua orang rumah nya masih menganggap Senja itu SD. Buktinya ia harus terus diingatkan dengan hal yang sama. Jangan buka pintu buat siapa-siapa. Terkadang Senja berharap ia memiliki adik agar terasa ia juga menjadi dewasa, nyatanya sampai sekarang ia masih tetap dianggap yang paling kecil.
"Iya, Mas. Kak Anaya pulang malam juga? Kalo pulangnya sore boleh nggak nemenin Senja di rumah? Senjanya males aja sendirian di rumah. Ga jadi Mas. Lintang aja deh suru nginep di rumah."
Kemudian terdengar suara kekehan kecil dari Senja setelah tadi bicara panjang kemudian menjawab sendiri.
Fajar yang mendengar celotehan adiknya hanya diam saja ia yakin Senja akan meminta hal yang lain dan benar ujung-ujungnya ia sendiri yang menjawab permintaannya. Fajar ingin tertawa tapi begitulah Senja.
"Iya mending Lintang aja. Mas, ga enak kalo nganter pulang Anaya malem, kalo Lintangkan satu sekolah sama kamu besok bisa sekalian mas anter sekolahnya."
Yah… kebetulan juga Lintang indekos jadi tidak begitu sulit.
Sampai di depan sekolah Senja, mobil Fajar berhenti. "Mas jemput kaya jam biasanya?" tanya Fajar.
Biasanya jika ia lembur akan telat menjemput karena memang belum waktunya ia pulang. Biasanya Senja akan menunggu di dalam pos satpam.
"Senja naik angkot aja, Mas. Sama Lintang. Mas Fajar nggak usah ke sini langsung nerus lembur aja."
"Ya udah, nanti naik angkot ati-ati ya. Kabarin Mas kalo udah di rumah!"
Setelah berpamitan mobil Fajar berlalu meninggalkan Senja yang masih di depan gerbang menunggu kedatangan Lintang. Anak itu memang sering sekali datang mepet dengan bel masuk.
Benar saja bel berbunyi barusan dan Lintang masih berlari di jalanan menuju gerbang sekolah. Jika sudah begini Senja adalah satu-satunya harapan Lintang agar pagar itu tidak ditutup.
Satpam sekolah mulai menarik pagar besi.
"Pak… Pak…. tunggu sebentar temen saya masih lari, itu pak." kata Senja menahan pagar itu agar tidak ditutup.
"Nggak bisa harus ditutup sekarang, bel sudah bunyi, nanti saya diomelin kepala sekolah."
"Sebenar lagi, Pak. Kasian temen saya." Senja masih menahan pintu besi itu.
"Kalian ini, cepet-cepet! lari semua!" teriak satpam itu pada anak-anak yang masih berlari di jalanan.
Melihat pintu masih dipertahankan, murid yang masih berlari di jalan berterimakasih pada siapapun yang menahan pintu itu agar masih tetap terbuka. Mereka semua berlari masuk dengan mengucapkan terima kasih.
Senja yang mendengar mereka berterima kasih meskipun tidak mengenal dari kelas mana ikut bangga atas upayanya mempertahankan gerbang sekolah.
Akhirnya perjuangan Senja menahan gerbang sekolah berakhir dengan dua murid terakhir yang masuk termasuk Lintang. "Terima kasih ya, Pak." ujar Lintang dan Senja bersamaan.
"Iya," Satpam itu kemudian menutup pintu gerbang.
"Pak, tolong buka dong." Tidak berapa lama segerombolan anak kembali datang dengan berlari meminta pintu gerbang dibuka kembali.
"Tidak bisa, kalian tunggu guru kaian yang jemput ke sini,"ujar satpam itu.
"Yah, Bapak. Kan cuma berapa menit doang. Pak." Sambil memegangi pagar besi anak-anak itu memohon.
"Tetap tidak bisa. Itu ada cctv tv kalau saya buka gerbang lagi, saya yang ditegur nanti. Tunggu saja saya lapor dulu ke guru piket."
"Yaaa…" Anak-anka mengeluh bersamaan bersiap dengan hukuman nanti yang akan mereka terima.
Tidak lama dari itu guru wanita datang ke pos satpam sekilas melihat anak-anak yang masih berjongkok di luar pagar, yang tadinya empat kini sudah bertambah jadi enam. Satpam itu membuka kunci gerbang.
"Masuk, guru kalian sudah datang," kata Pak satpam ia juga tidak ingin kejam tapi mau bagaimana lagi ini perintah kepala sekolah, begitu bel berbunyi pintu gergang haus segera di tutup.
Semua anak tertunduk lesu saat masuk dalam halaman sekolah siap menanti hukuman karena terlambat.