Chereads / Hamil Diluar Nikah : Belenggu Pernikahan / Chapter 7 - Keputusan Yang Salah

Chapter 7 - Keputusan Yang Salah

Fajar masih berpikir keras atas permintaan ibunya barusan setelah menelpon, jika nenek mereka belum sembuh dan menginginkan untuk Puspita tetap di sana. Satu minggu sudah berlalu Senja sudah libur semester akhirnya. Fajar diminta untuk mengajak Senja ikut bersamanya naik gunung daripada hanya menghabiskan waktu di rumah.

Senja sudah mulai mengemasi barangnya dengan suka cita, merasa ibunya berpihak padanya. Toh, bukan hanya ia anak perempuan yang ikut naik gunung. Ada Anaya dan Praya juga.

Fajar masih tidak ingin membawa Senja tapi kalah pada situasi yang merujuk pada keinginan Senja. Akhirnya dengan berat hati menambahkan satu list nama Senja di bawah rombonganya untuk didaftarkan pada pemandu.

"Jangan bawa banyak barang, yang penting aja!" perintah Fajar masih dengan wajah tidak suka adik kesayangannya ini bergabung dengannya. Bukannya tidak ingin mengajak tapi perjalanan ini dipenuhi orang dewasa, Fajar tidak mau Senja mendengar guyonan yang terkadang menjurus pada keintiman.

"Iya, Mas. Sudah berapa kali, Mas ingetin. Senja Cuma bawa baju pas-pasan. Sama tambahan jaket satu." Senja memamerkan senyumannya pada Fajar yang berdiri di ambang pintunya.

Sudah siap dengan semua barang bawaan juga perlengkapan ia menggendong tas ransel yang dibeli dadakan tadi malam. Setelah ini keduanya menunggu abang ojek untuk diantarkan ke stasiun karena mereka akan menggunakan kereta api untuk sampai ke kampung yang dekat dengan kaki gunung xxx.

Semuanya berkumpul di stasiun, sudah ada Langit di sana tapi kenapa sendirian?

"Mas. Langit dimana kak Praya?" Senja mengedarkan pandangannya mencari tas ransel kekasih Langit itu, tapi hanya ada satu tas di sana.

"Praya ga jadi ikut, dia datang bulan perutnya sakit banget katanya. Praya emang kaya gitu kalo udah datang bulan pasti sakit," ujar Langit bergantian melihat Fajar dan Senja.

Senja beroh ria menyayangkan tidak ikutnya Praya. Ya... berkurang satu keseruan di sana.

Dert

Dert

Telepon genggam Fajar berbunyi, ia merogoh saku celananya melihat siapa yang menelpon. Tertera nama Anaya di sana.

"Iya, Nay?" sapa Fajar. Ia heran mengapa gadis itu belum juga sampai padahal sudah lewat dari jam pertemuan yang dijanjikan. Biasanya Anaya bukan tipe gadis yang punya jadwal ngaret.

"Fajar, aku ga jadi ikut. Saudara jauhku meninggal, kata ibu aku harus ikut ke sana dulu, ga enak," tutur Anaya di seberang telpon.

"Mm... ya udah, aku anter. Kita batalin aja naik gunungnya, Praya juga ga jadi ikut, sakit." Fajar melihat Langit meminta persetujuan atas permintaanya untuk menjadwalkan ulang daki gunung ini.

Langit juga setuju, ia terlihat mengangguk.

"Kalau bisa jangan, kasian Langit. Lagian kalian udang ngambil cuti sayang kalo ga dipake. Aku pergi sama keluarga juga, kamu ga usah anter," ujar Anaya.

Salahkan keadaan hubungan yang tidak jelas di antara keduanya, Anaya tidak mau jika Fajar terus ada di sekeliling keluarganya. Nanti akan selalu timbul pertanyaan, kapan nikah? Pacaran udah lama, pamali pacaran kelamaan.

Rasanya suasana hati seketika buruk jika sudah ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Anaya sudah malas untuk menjawab jadi lebih baik ia tidak membawa fajar. Nanti saja jika pernikahannya sudah dekat, dua tahun lagi.

"Mm, ya udah nanti aku omongin lagi sama Langit." Panggilan diakhiri keduanya. Bersamaan dengan kereta yang akan membawa mereka datang. Semua rombongan memanggil Fajar agar segera naik.

"Gimana, kita lanjut?" tanya Fajar pada Langit. Keputusannya berubah setelah mendengarkan saran Anaya.

"Terserah sih," Langit kembali memberikan keputusan pada Fajar. Panggilan anak-anak lagi kembali terdengar, mereka sudah ada di pintu kereta.

"Ya, udah berangkat!"

***

Perjalanan dimulai mereka mengambil kursi yang saling berhadapan. Langit dan Fajar saling duduk berhadapan. Sedangkan Senja ada di samping Fajar menikmati angin yang berhembus dari luar jendela yang dibuka. Dari perjalanan kota-kota juga rumah kumuh yang ada di pinggirannya. Pemandangan berubah memasuki deretan hamparan padi.

Butuh waktu tujuh jam untuk sampai pada stasiun di mana kaki gunung xxx itu ada. Senja mulai menguap, pagi tadi ia bangun sangat pagi untuk berkemas.

Senja menjadikan pangkuan Fajar sebagai bantalnya. Ia meringkuk layaknya anak kecil dalam pangkuan Fajar.

Sesaat langit melihat gadis itu pulas tertidur. "Jadi ikut juga dia?" langit tersenyum melihat Fajar.

"Takdir dia harus ikut kayanya. Ibu masih di kampung, Ayah harus tugas luar kota lagi. Ga ada yang jagain dia di rumah sendirian." Fajar juga melihat Senja. Ia juga tidak akan tega meninggalkan Senja sendirian selama satu minggu yang ada akan terus-menerus cemas. Mungkin memang lebih baik senja ikut.

"Kakak yang baik." Langit mengulum senyumannya. Berbeda dengan ia dan adik kembarnya selalu saja bertengkar padahal mereka berbeda kelamin tapi sepertinya Langit tidak pandai menjadi kakak.

***

Senja turun dari pintu kereta setelah kakinya menginjak lantai stasiun yang jauh sekali dari kata modern dibandingkan di Jakarta. Ia merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi menghirup udara segar pegunungan. Senja melihat hamparan sawah juga rumah-rumah penduduk.

Katanya orang pedesaan lebih ramah daripada orang kota. Ia tidak sabar untuk bertemu mereka di penginapan nanti.

"Udah yakin mau daki? Masih ada waktu buat balik. Mas, bisa batalin pendakian kita?" tanya Fajar kembali pada Senja. Tapi dilihat dari bagaimana wajah Senja cemberut saat ini sudah dipastikan bagaimana keinginan anak gadis itu sudah kuat ingin mencoba tantangan.

Langit menepuk bahu Fajar. "Ya udah lah, kita juga udah sampe."

"Iya, Lang." Tatapan Fajar kembali pada Senja. "Inget ya, dee. Kita ga bisa minta turun lagi kalo udah jalan, kecuali mendesak. Kamu ga bisa minta turun gitu aja dengan alasan capek, karena namanya daki pasti capek," ujar Fajar lagi mengingatkan meski sudah diingatkan tadi di rumah.

"Iya, Mas. Senja bukan anak SD lagi yang nangis minta gendong karena capek."

Langit yang mendengar itu hampir tertawa, memang terkadang Fajar terlalu bersikap berlebihan pada Senja sepertinya melebihi ayahnya sendiri.

Sepertinya memang Fajar tidak bisa lagi membatalkan keinginan Senja untuk mendaki gunung itu. Semuanya kembali melanjutkan perjalanan menyusuri rumah-rumah warga. Sedangkan barang sudah dititipkan pada mobil bak terbuka bersama barang bawaan yang lain menuju pos pertama.

Senja memang sangat bersemangat untuk perjalanan ini, ia berjalan duluan meninggalkan Langit dan Fajar yang berjalan santai di bawah. Sudah diingatkan untuk menghemat energinya untk pendakian nanti, seperti biasa Senja hanya menjawab. 'Iya, Mas.' Selalu patuh pada Fajar seperti pesan kedua orang tuanya.

Sampai di kaki gunung semua peserta diberi waktu untuk istirahat terlebih dahulu juga untuk benar-benar menyiapkan bawaan mereka masing-masing.

"Dee, kamu lagi nggak datang bulan kan? Mas lupa nanya tadi. Kalo lagi datang bulan ga boleh naik gunung." Tanya Fajar berbisik sambil mempersiapkan tasnya dan tas Senja yang akan ia bawa sekaligus.

"Nggak, Mas. Udah selesai empat hari yang lalu."