Langkah pendek Kirana terayun cepat. Dia sudah terlambat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Semua karena peristiwa di lobi tadi yang membuatnya seperti tersiram seember air es di tengah malam. Beku.
Seharusnya Kirana berkumpul dengan beberapa teman lainnya untuk melakukan penandatanganan kontrak kerja di ruang training, tapi ketika dia sampai, ruangan itu sudah kosong. Harapan bekerja di perusahaan itu rontok seketika. Kirana benar-benar kecewa. Hanya dalam jangka waktu sepuluh menit saja, dia sudah kehilangan kesempatan. Kirana menarik napas panjang, menyesali nasibnya yang sial hari ini.
"Mbak, kamu karyawan baru yang akan menjadi asisten Pak Gama, ya?"
Seseorang tiba-tiba menyapanya. Kirana menoleh dan segera menggeleng cepat. "Bukan, Pak. Saya cuma mendaftar jadi CS di sini."
Lelaki yang menyapanya itu tampak tercenung. Lalu tiba-tiba bertanya lagi. "Bisa lihat CV-nya sebentar?"
Meski bingung, Kirana menurut saja. Dia memberikan CV yang dia bawa. "Tapi, Pak. Saya sebenarnya mau menandatangani perjanjian kerja. Tapi, pas sampai ruang training kosong. Kira-kira ke mana ya mereka para calon CS yang bareng saya?"
"Oh, mungkin ada di atas," ucap orang itu sambil lalu. Tatapnya masih tertuju pada CV punya Kirana. Tidak peduli dengan Kirana yang makin bingung dengan jawaban yang laki-laki itu beri.
"Jadi, saya harus ke lantai atas lagi, Pak?"
"Tidak usah, kamu ikut saya saja." Laki-laki dengan kemeja biru itu menutup CV Kirana. "Ayo, ikut ke ruangan saya." Lelaki itu melangkah cepat sambil terus membawa CV Kirana.
"Ta-tapi saya harus tanda tangan perjanjian kerja dulu, Pak."
"Enggak perlu, kamu nanti tanda tangan sama saya saja." Di ujung ruangan, lelaki itu membuka sebuah pintu. "Ayo masuk, dan silakan duduk."
Mata Kirana mengedar begitu masuk ke ruang tiga kali tiga meter itu. Sumpah dia bingung, sebenarnya laki-laki ini siapa?
"Sebelumnya perkenalkan nama saya Dika, saya manajer HR di perusahaan ini. Dengan Mbak Kirana ya?" tanya lelaki itu sembari melirik CV di tangannya.
Entah ini keberuntungan atau musibah, Kirana bisa bertemu langsung manajer HR padahal dia cuma melamar sebagai cleaning servis. Kirana mengangguk. " Iya, Pak saya Kirana.
"Oke, Mbak Kirana sebelumnya saya ingin bertanya apa kamu punya pengalaman kerja sebagai sekretaris?" tanya lelaki yang mengaku sebagai manajer itu.
"Saya tidak punya pengalaman itu, Pak. Satu-satunya pengalaman saya kerja sebagai buruh pabrik," jawab Kirana apa adanya.
"Kenapa kamu berhenti dan melamar menjadi CS?"
"Saya tidak berhenti. Kontrak kerja saya memang sudah habis."
Manajer bernama Dika itu mengangguk. "Seandainya saya memberikan kamu pekerjaan yang lebih bagus dari cleaning servis, apa kamu mau?"
Mata Kirana mengerjap. "Pe-pekerjaan apa, Pak?" Hati Kirana mulai berdebar.
"Menjadi asisten pribadi Pak Gama, owner sekaligus CEO perusahaan ini."
Serta-merta Kirana melebarkan mata. Asisten CEO? Wanita itu sudah membayangkan pekerjaannya yang berat. Dia hanya lulusan SMA bagaimana bisa menjadi asisten pribadi CEO?
"Ta-tapi, saya cuma lulusan SMA, Pak."
Manajer Dika mengembuskan napas. "Saya tidak peduli. Saya hanya butuh orang yang mau bertahan lama dengan manusia itu."
Kirana makin tidak paham. Bahkan ketika Dika menyiapkan draf perjanjian kerja yang akan dia tandatangani, Kirana tetap bingung dengan situasi ini. Dia terus berpikir bagaimana keluar dari ruangan ini. Dia tidak mau kehilangan pekerjaan sebagai cleaning servis. Dan penawaran yang Manajer Dika berikan padanya sepertinya terlalu berat.
"Pak, saya tidak mau jadi asisten pribadi CEO. Saya mau jadi petugas cleaning servis saja," ucap Kirana pelan-pelan.
"Kamu baca dulu draft kontraknya baru putuskan pilihanmu." Dika menarik kumpulan kertas dari printer lalu menyatukannya. "Silakan. " Dia menyerahkan draft itu kepada Kirana.
Dengan ragu Kirana membaca draft kontrak yang terdiri dari banyak lembar itu. Sebenarnya dia sedikit pusing. Selain isinya yang sangat panjang, terdapat kalimat yang sulit dia pahami. Dia langsung saja menuju poin income yang akan dia dapatkan jika menandatangani kontrak kerja tersebut. Dia sangat hati-hati membaca bagian itu. Dan ketika sampai baca lajur jumlah gaji yang bakal dia terima, spontan matanya membulat. Tangannya terangkat menutup mulutnya yang terbuka.
Kirana coba mengulangi bacaan, takut salah membaca. Dia hitung angka nol yang berderet di sana. Ada tujuh digit nol dengan angka hidup di depannya. Empat puluh juta. Dia akan mendapat 40 juta gaji dalam satu bulan. Gimana Kirana tidak syok? Kirana bisa mengantongi gaji kotor sebesar empat puluh kali 24 bulan masa kerja yang ditawarkan. Dan, hasilnya membuat Kirana tercengang. Dengan uang sebanyak itu dia bisa membelikan orang tuanya rumah layak huni.
"Kamu pelajari, kalau ada pertanyaan silakan ajukan."
Meski begitu, Kirana tidak langsung percaya begitu saja. Dia kembali melanjutkan membaca draf itu. Tepat dugaannya, Kirana menemukan angka yang lebih fantastis untuk pelanggaran yang dia buat selama masih dalam masa perjanjian. Dia kembali melebarkan mata saat membaca angka yang tertulis di sana. Sembilan digit angka nol dan angka 1 di depannya. Gila!
"Umm, Pak. Kira-kira pekerjaan jadi asisten pribadi Pak Gama itu apa saja?" tanya Kirana ragu. Bagaimana kalau ternyata disuruh melakukan hal yang tidak terduga mengingat gajinya yang lumayan besar, disuruh membunuh orang misalnya. Kirana menggeleng cepat, menepis dugaan itu.
Dika menyerahkan beberapa lembar kerja lagi. "Ini rincian pekerjaan yang juga harus kamu tanda tangani nanti."
Kirana menerimanya dan membaca perlahan. Sepertinya memang setimpal dengan bayaran, job desc-nya ternyata banyak banget. Selama masih bisa dikerjakan dengan masuk akal, Kirana akan menerimanya. Namun, ada satu poin yang bikin dia mengernyit. Jam kerjanya. Dia mengerjap. Tidak ada libur bagi asisten pribadi kecuali libur hari besar dan cuti tahunan dua belas hari saja. Itu artinya jika dalam satu bulan tidak ada tanggal merah hari libur nasional dia tidak akan dapat jatah libur. Dan parahnya 24 jam per 7 hari dia harus stand by jika bos membutuhkan. Ini namanya perbudakan!
"Tidak sama sekali, Mbak. Sangat setimpal dengan apa yang akan kamu peroleh kok," sahut Dika santai saat Kirana menyuarakan isi kepalanya. "Saya juga tidak akan memaksa. Ini hanya penawaran. Dan, saya minta maaf karena tidak bisa memberi waktu kamu buat berpikir. Sekali kamu tolak, maka kesempatan itu akan hilang," ucap Dika mengembangkan kedua tangannya.
Kirana terserang dilema. Benar-benar menggiurkan, tapi pekerjaannya tidak ubahnya seperti tugas istri kepada suami, minus tidur bersama. Kirana berusaha berpikir cepat untuk memutuskan dia menerima pekerjaan ini atau tidak.
Wajah-wajah orang tersayang seketika melintas. Ayah, Ibu, dan kedua adiknya yang masih sekolah berputar-putar di kepalanya. Hidup prihatin yang mereka jalani juga terus tengiang. Jika Kirana menerima pekerjaan ini, dia bisa mengubah nasib keluarganya. Dan kemungkinan besar adik-adiknya juga bisa kuliah. Tidak seperti dirinya yang hanya lulusan SMA.
"Bagaimana Mbak Kirana? Apa kamu setuju?" tanya Manajer itu. Dia sudah terlalu capek mencarikan asisten untuk bosnya. Segala jenis orang yang dia sodorkan nyaris tidak pernah bertahan lama bekerja dengan Gama. Kali ini dia memperbaharui perjanjian kerja, agar mereka tidak seenaknya kabur. Dan pilihannya jatuh kepada wanita muda yang cuma lulusan SMA, setelah sebelumnya minimal yang masuk itu minimal magister.
"Kesempatan ini tidak datang dua kali loh. Kamu bisa mengubah nasib kamu di kota ini," bujuk Dika. "Kamu punya keluarga kan?"
Kirana mengangguk. Itu yang sedang menjadi pertimbangannya.
Dika tersenyum. "Keluargamu pasti bahagia lihat kamu sukses. Dan kamu berpeluang besar untuk membantu perekonomian keluarga kamu juga."
Benar-benar hal yang sulit Kirana tolak. Dia tidak mau menyesal jika kesempatan ini jatuh ke tangan orang lain. Memantapkan diri, akhirnya dia mengangguk. "Baik, Pak. Saya terima tawaran ini."
Senyum Dika sontak terlihat lebar. "Good choice."