Tuan Drigory memaksa Viona dengan cara memeluknya. Viona ingin berteriak, namun, Tuan Drigory malah mengulum dengan kasar bibir Viona. Kali ini Viona tidak ingin terperdaya lagi. Refleks, dia langsung menendang bagian sensitif milik Tuan Drigory hingga pria itu mengerang kesakitan.
"Aaargh! Berani-beraninya kau!"
Viona menatap kasar ke arah Tuan Drigory. Pria itu benar-benar mabuk. Viona yakin, kalau dia sadar, dia tak akan mungkin melakukan ini kepada Viona.
"Kumaafkan kali ini karena kau mabuk! Jika kau ulangi lagi, aku akan buat perhitungan denganmu!" Viona segera membuka pintu kamar Tuan Drigory. Dan tepat di depan pintu, Black sudah berdiri tegak dengan tatapan matanya yang dingin.
"Nyonya Watson?" Black menatap tajam Viona dan Tuan Drigory, seolah bertanya apa yang terjadi.
"Kau!" pekik Viona mencoba memperingati Black. "Jaga Tuanmu itu! Jangan biarkan dia minum tanpa kontrol!"
Viona lantas keluar dari lantai tiga. Dan segera pergi dari rumah ini. Langkahnya yang cepat, membuat Viona tak butuh waktu lama untuk sampai di depan mobilnya. Begitu masuk ke mobil, saat hendak memasuki kuncinya. Sesaat ia teringat akan ciuman maut Tuan Drigory tadi.
"Astaga!" Viona berusaha menyadarkan dirinya sendiri. "Kenapa aku membayangkan pria lain? Aaah! Kenapa aku harus bekerja dengan orang gila!"
***
Mobil Viona baru sampai di depan rumah. Ia segera masuk dengan langkah terburuknya. Pintu rumah tak dikunci oleh Kimberly. Padahal sekarang sudah jam sembilan malam.
"Kim! Kenapa tak mengunci pintu? Ini sudah malam? Bagaimana kalau ada orang .... "
Viona menghentikan ucapannya, saat ia melihat Kimberly dan Nathan ada di ruang tengah di jam sembilan malam. Tanpa ada orang dewasa di dekat mereka.
"Kenapa kau di sini?" tanya Viona. Ia jelas membelalakkan matanya pada Nathan.
Melihat Viona, Nathan langsung berdiri. Sementara Kimberly yang sedang mengerjakan tugas hanya fokus pada tugas kuliahnya.
"Maaf, Nyonya Watson. Aku hanya ingin bermain sebentar dengan Nona Watson ... ehm, maksudku Kimberly .... " Nathan terlihat gugup saat ia ketahuan bersama Kim. Padahal ia tak pernah seperti ini seumur hidupnya.
"Bermain?" Viona menoleh ke arah jam dinding. "Jam sembilan malam?" Viona tak ingin percaya apa kata Nathan. Sementara Kimberly sendiri hanya mendengus karena sikap ibunya pada Nathan.
"Tugas kuliah," jawab Nathan sekenanya.
"Kau kuliah bisnis. Dan aku sastra." Tiba-tiba saja Kimberly mengatakan sesuatu yang membuat alasan Nathan sama sekali tidak masuk akal. Sontak, Nathan langsung melotot ke arah Kimberly yang tak mau menolongnya di depan Viona.
Viona menatap Nathan dengan amat kesal. Ia semakin kesal lagi karena tahu Nathan adalah anak dari Tuan Drigory. Tapi Viona masih punya kesadaran. Karena Nathan tak ada hubungan dengan kesalahan sang ayah.
"Dia menemaniku saat ibu belum pulang. Jangan marah padanya. Dia akan segera pulang setelah ini," ucap Kimberly begitu santai. Masih dengan kesibukannya mengerjakan tugas.
"Benarkah?" tanya Viona.
"I-iya," jawab Nathan kaku.
Viona menghela nafas. Belum selesai kekesalannya kepada Tuan Drigory. Sekarang ia harus mendapati anaknya yang sedang berduaan dengan sang putri. Bertambahlah kemarahan Viona.
"Kalau begitu pulanglah. Aku tak ingin melihatmu di rumahku, di dekat anakku!" kata Viona yang kemudian berlalu. Ia sangat lelah hari ini. Rasanya ingin segera mandi lalu tidur.
Kimberly melihat ada sang ibu yang ingin marah, tapi tak ada tenaga. Ia merasa bersalah karena ibunya harus bekerja sekeras ini demi menghidupinya.
"Hei, aku pulang. Cepat kunci pintunya!" kata Nathan. Ia juga pergi begitu saja, seolah telah selesai melakukan tugasnya.
Nathan melangkah keluar dari rumah Kimberly. Ia bergegas menuju ke kebun apel untuk menemui Nara.
"Nathan!" panggil Kimberly yang buru-buru keluar mengikutinya.
"Siapa yang menyuruhmu keluar?" tanya Nathan. Ia terlihat kesal saat Kimberly malah keluar rumah.
"Maafkan ibuku," ucap Kimberly.
"Hah? Memangnya kau perlu menegaskan hal seperti ini? Sepertinya tak sesuatu diantara kita, sehingga kau harus mengatur maaf. Kau salah paham, Nona Watson. Hanya karena aku menemanimu di rumahmu dan pernah mengajakmu tidur. Bukan berarti ada sesuatu yang terjadi di antara kita," kata Nathan.
Kimberly tersenyum kecut. "Kau yang salah paham. Aku hanya ingin bersikap seperti manusia saja. Kau tak pernah punya ibu. Jadi mungkin kau tak tahu seperti apa sikap seorang ibu. Terkadang dia memang berlebihan. Apalagi saat dia kesal," ucap Kimberly.
Ucapan Kimberly yang mengatakan kalau Nathan tak tahu rasanya memiliki seorang ibu begitu menusuk perasaan Nathan. Tapi saat ini dia tak ada waktu untuk mengekspresikan kemarahannya kepada Kimberly.
"Ya, kau benar. Aku tak tahu bagaimana rasanya punya seorang ibu. Kau tak perlu bicara seperti itu. Sementara kau sendiri tak punya ayah," ucap Nathan yang kemudian berjalan masuk ke dalam kebun apel yang sudah terlihat gelap itu.
"Aaahh!" Kimberly mendesah sendiri. Ia sadar ucapannya terlalu berlebihan kepada Nathan. Tak seharusnya ia menyinggung tentang ibunya Nathan yang sudah tak ada. Ia hanya bisa menatap kepergian Nathan seorang diri di tengah kegelapan malam.
Kimberly pun masuk ke dalam rumah. Ia melihat ibunya baru selesai mandi dan tampak begitu lelah.
"Kau sudah makan malam, Kim?" tanya Viona.
"Hem, ya," jawab Kimberly singkat. Ia kemudian mengambil laptop yang ada di ruang tengah untuk ia bawa ke kamarnya.
"Kau dekat dengan pria tadi?" tanya Viona.
"Tidak. Hanya sesekali berjumpa di kampus," jawab Kimberly seraya berjalan mendekati ibunya. "Ibu tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Aku tak akan berkencan dengan siapa pun."
"Ibu tak melarangmu berkencan. Ibu tahu kau sudah dua puluh tahun. Kalau ada pria baik dan manis yang naksir padamu. Sebaiknya kau berkencan. Tapi jangan dengan pemuda tadi. Kau tahu kan ayahnya sangat kaya? Mereka tak akan menerimamu," kata Viona.
Kimberly menatap anaknya dengan penuh keyakinan. "Aku tak akan berkencan dengan siapa pun di kota ini," kata Kimberly.
"Ouh, oke." Viona sadar kalau Kim tak suka ibunya membicarakan tentang kencan atau sejenisnya. "Ibu tak akan membicarakan tentang ini lagi."
"Tapi kalau ibu ingin menikah lagi. Aku tak akan melarang," ucap Kimberly.
"Bicara apa kau? Ibu tak ingin mengkhianati ayahmu."
"Ayah sudah mati, Bu. Untuk apa kau setia pada orang yang sudah mati? Apa dia akan kembali? Tidak, kan?" Setelah mengatakan hal itu, Kimberly beranjak naik tangga. Namun, baru dua langkah, ia menghentikan langkahnya. "Jangan masak sarapan, kalau Ibu tak ada waktu. Aku bisa melakukannya sendiri. I love you, Mom."
Kimberly melangkah dengan begitu ringan. Tak ada sedikit pun rasa iba saat Kimberly berkata seperti itu pada ibunya. Hingga Viona meneteskan air mata.
"Kau kejam sekali, Kim. Kau paling tahu betapa besar cinta ibu pada ayahmu," ucap Viona lirih. Ia berusaha mengecilkan suaranya agar Kimberly tak tahu kalau ia sedang menangis. "Meskipun begitu. Aku tetap menayangimu, Kim. Kau segalanya untukku."
Bersambung ....