Nara tak mau menjelaskan apa-apa. Dia hanya menangis dalam pelukan ayahnya. Sementara Nathan, ia masih terlelap tanpa menyadari kedatangan Taun Peterson.
Black yang mendampingi Nathan saat ini segera berhadapan dengan Tuan Peterson.
"Selamat pagi, Tuan Peterson," sapa Black dengan hormat.
"Oh, ya. Selamat pagi," jawab Tuan Peterson sambil tersenyum. Ia menatap Black penuh dengan kecurigaan. "Bagaimana keadaan Tuan Drigory?"
"Saat ini dia sedang dirawat di rumah sakit," jawab Black.
"Maafkan aku karena kenakalan putriku. Dia belum dewasa untuk mengerti banyak hal," kata dan Peterson membela anaknya.
"Saya tidak terlalu mengerti dengan pilihan kata yang Anda ucapkan tuan Peterson. Usia Nara sudah dua puluh tahun. Dia sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa menikam tubuh orang lain adalah tindakan kriminal," kata Black.
"Kriminal?" Tuan Peterson tertawa saat mendengar Black mengatakan hal tersebut. "Apa aku tak salah dengar kau mengatakan hal seperti itu, Tuan Sekretaris?" ucap tuan Peterson.
Tentu saja Black tak terima dengan ucapan sarkas Tuan Peterson. "Anda tak sepantasnya mengatakan hal seperti itu, setelah apa yang sudah dilakukan Putri Anda kepada pimpinan kami."
"Seorang Drigory bisa dengan mudah ditusuk oleh gadis remaja yang begitu innocent? Di rumahnya yang penjagaannya begitu ketat? Itu tidak masuk di dalam kepalaku, Tuan Sekretaris," kata Tuan Peterson.
"Pisau belati yang digunakan oleh Nona Nara Peterson sudah dinyatakan sebagai barang bukti yang absah, karena terdapat sidik jari dan juga DNA Nona Nara Peterson. Putri Anda tidak bisa mengelak lagi . Ada banyak saksi yang melihat. Lagi pula korban masih hidup. Dia sendiri yang menangkapnya," kata Black.
Tuan Peterson tak bisa mengelak dari tuduhan lagi. Semua bukti memang menuju kepada putrinya. Ia sendiri baru mendapat kabar Kalau butuhnya kabur setelah ada kejadian ini.
"Morgan Loch, Aku ingin bicara," kata Tuan Peterson.
"Baik, Pak walikota," jawab Morgan Loch.
Tuan Peterson pun akhirnya mengikuti Morgan Loch menuju ke ruangan kepala kepolisian. Black hanya menatap pejabat pemerintahan itu yang akan melakukan negosiasi terkait kasus yang terjadi pada putri Tuan Peterson.
Saat itu Nathan baru bangun dan ia melihat ruang penyidik sudah banyak orang yang tidak ia kenal memakai seragam hitam.
"Kenapa ramai sekali, Black?" tanya Nathan.
"Walikota sudah datang," kata Black.
Nathan lantas meleleh ke arah Nara yang duduk termenung. Ia tak habis pikir kenapa Nara bisa melakukan perbuatan berbahaya seperti itu.
"Kau baik-baik saja?' tanya Nathan kepada Nara. Meskipun ia kesal kepada Nara tapi Nathan tak bisa membenci wanita ini. Padahal Nathan juga tahu alasan Jimmy mati juga karena wanita ini.
"Maafkan aku, Nathan. Tapi aku tak akan meminta maaf karena telah menusuk ayahmu. Aku benar-benar menginginkan kematiannya!" ucap Nara dengan tatapannya yang penuh dengan dendam.
Tentu saja Nathan tak bisa bertanya, kenapa Nara begitu membenci ayahnya? Padahal ayahnya tidak bersalah apa pun atas kematian Jimmy.
"Nathan, kau harus pulang sekarang. Kau tak ada urusan di kantor polisi. Biarkan semuanya aku yang lakukan," kata Black kepada Nathan.
Nathan lantas menatap ke arah Nara. Sebenarnya ia tak tega meninggalkan arah seperti ini di kantor polisi. Tapi ayahnya sudah datang. Keberadaan Nathan sama sekali tidak diperlukan.
"Baiklah. Aku akan segera pulang. Aku juga akan menengok ayahku terlebih dulu," kata Nathan.
"Kau akan diantar oleh sopir Nathan. Langsung ke rumah sakit dan tak usah mampir ke mana pun," kata Black memberi saran.
"Aku bukan anak kecil, Black. Aku tahu apa yang harus kulakukan."
****
Mobil yang ditumpangi Nathan berhenti di depan rumah sakit besar yang ada di kota X. Rumah sakit ini ada yang tepat di mana Tuan Drigory dirawat.
Nathan segera turun dari mobil. Dan ia bergegas ingin menuju ke ruangan ayahnya.
"Dia ada di mana?" tanya Nathan kepada sopir yang mengantarnya.
"Ruang VIP," jawab si sopir.
Dengan santainya Nathan melangkah ke dalam rumah sakit menuju ke ruang VIP. Tanpa banyak bertanya Nathan bisa tahu di mana ayahnya dirawat karena banyak pengawal yang menjaganya di luar kamar.
"Siapa yang ada di dalam?" tanya Nathan kepada pengawal yang berjaga di depan ruangan tuan Drigory dirawat.
"Nyonya Watson," jawab si pengawal.
"Di mana Lucy?" tanya Nathan.
"Lucy sedang melakukan misi khusus beberapa hari ini," jawab si pengawal.
Nathan tak banyak bicara lagi dan langsung masuk ke dalam ruangan. Ia melihat Viona sedang menyuapi sang ayah yang terbaring di atas ranjang.
"Terima kasih, Nyonya Watson. Sudah merawat ayahku," kata Nathan kepada ibunya Kimberly yang sudah merawat ayahnya.
Melihat kedatangan Nathan, Viona pun meletakkan makanan yang ia pegang. Ia menatap iba ke arah pemuda itu.
"Pasti semua ini terasa berat untukmu," ucap Viona dengan tatapan ibanya.
Melihat bagaimana ekspresi wajah Viona, Nathan merasa muak sekali. Ia tak suka dikasihani seperti ini. Dan hal seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa untuknya.
"Terima kasih, Nyonya Watson. Kau tak perlu mengkhawatirkanku," ucap Nathan.
Nathan lantas menatap sang ayah. Ia lebih muak lagi melihat ayahnya yang berpura-pura seperti orang sakit. Padahal Ia tahu sendiri seperti apa Tuan Drigory. Tak mungkin ayahnya selemah ini hanya karena sebuah tusukan.
"Bisakah kau tinggalkan kami sebentar, Nyonya Watson?" tanya Nathan sambil mengedarkan senyum dari bibirnya. Tentu saja ia harus bersikap seperti keluarga yang harmonis di hadapan orang lain.
"Tapi ayahmu belum selesai makan, Nathan," kata Viona.
"Aku yang akan menyuapinya," ucap Nathan masih dengan senyumnya.
"Oh, okey. Viona lantas menatap ke arah Tuan Drigory. Saya harus keluar sebentar," kata Viona.
"Silakan," jawab Tuan Drigory.
Viona pun keluar dari ruangan itu meninggalkan Nathan dan Tuan Drigory berdua saja. Setelah memastikan Viona keluar, Nathan mengambil makanan Tuan Drigory yang ada di atas meja, lalu ia duduk di samping ayahnya.
Tanpa banyak bicara Nathan mengambil sesendok makanan itu, lalu menyodorkan kepada sang ayah.
Tuan Drigory menatap anaknya dengan tatapan yang penasaran. Namun, ia tetap membuka mulutnya dan Nathan pun menyuapi sang ayah.
"Sebenarnya apa yang sudah kalian berdua lakukan? Kenapa semuanya menjadi seperti ini, Ayah?" tanya Nathan.
"Ini semua hanya salah paham, Nathan. Aku tak akan mempermasalahkan ini lebih jauh lagi. Tapi media massa terlanjur mengetahuinya dan aku tak bisa berbuat apa-apa," jawab Tuan Drigory.
"Aku tak bertanya soal itu, Ayah. Kenapa Nara bisa melakukan hal itu kepadamu? Sebenarnya apa yang terjadi pada Jimmy? Kenapa Nara begitu membencimu? Benarkah kau yang membunuh Jimmy, Ayah?" tanya Nathan dengan mata yang berkaca-kaca.
Saat Nathan menatap Nara tadi di kantor polisi. Ia bisa melihat api dendam di mata gadis yang dikenalnya dengan sangat baik itu. Nara bukanlah gadis seperti itu. Dia hampir tak pernah marah ataupun menyakiti orang lain. Nara benar-benar gadis yang sangat naif. Kematian Jimmy benar-benar merubah segalanya.
Bersambung ....