Chereads / Jerat Cinta Tuan Muda Alva / Chapter 16 - Alasan tinggal di apartemen

Chapter 16 - Alasan tinggal di apartemen

"Saya tinggal di apartemen karena hanya di sana tempat ternyaman untuk saya," jawab Rania singkat.

"Benarkah? Bukannya tempat ternyaman itu bersama keluarga, ya? Kenapa kamu malah nyaman sendirian?" tanya Alva keheranan dengan jawaban Rania.

Sementara Rania hanya tersenyum kecut. Keluarga? Satu kata yang mampu mengonyak hatinya yang terdalam. Bukan kenyamanan yang Rania dapatkan jika bersama keluarganya, namun rasa sakit yang tak berkesudahan.

"Heh, kenapa kamu diam saja? Apa kamu ada masalah?" tanya Alva menyentak lamunan Rania.

"Ah, tidak, Tuan. Saya hanya merasa Anda sedang curang saja. Mana bisa Anda memaksa saya untuk bercerita sementara Anda sendiri tidak mau membagi apa pun dengan saya" ucap Rania pura-pura merajuk.

"Hish, kau itu! Baru saja jawab satu kali sudah mau gantian," gerutu Alva dengan bibir yang mengerucut.

"Ya, kan gantian, Tuan. Masa hanya saya saja yang menceritakan tentang saya sementara Tuan tidak," sahut Rania dengan senyum kecil di bibirnya.

"Hem, baiklah. Aku memilih tinggal di apartemen karena aku tidak ingin kedua orang tuaku tahu aku masih memiliki trauma atas kejadian masa lalu yang menimpaku," jawab Alva membuat Rania refleks menoleh padanya.

"Trauma? Memang Tuan trauma kenapa-napa?" tanya Rania penasaran.

"Ada suatu kejadian di masa lalu yang membuatku takut akan kegelapan. Aku selalu merasa mereka akan datang bersamaan dengan gelap," jawab Alva dengan helaan napas panjang.

"Ja-jadi tadi itu …."

"Ya, kamu benar. Maaf sudah membuatmu melihat kekonyolan ku, bahkan di hari pertama kamu bekerja," ucap Alva merasa malu menunjukan kelemahannya pada Rania.

"Tidak, Tuan. Itu tidak benar. Anda hanya sedang sakit saja. Kita bisa menemui psikiater untuk menyembuhkan Anda," sahut Rania menenangkan Alva.

"Itu sama sekali tidak banyak membantu, Rania. Aku sudah menemui psikiater dan menjalani pengobatan pada mereka. Tapi rasa takutku ini tidak benar-benar hilang. Meskipun begitu, aku mengatakan kepada keluargaku kalau aku sembuh agar mereka tidak khawatir. Jadilah sekarang aku memilih mengasingkan diri agar mereka tidak tahu yang sebenarnya," papar Alva apa adanya.

Rania tampak menatap iba pada Alva. Di balik sikapnya yang menyebalkan, ternyata Alva memiliki sesuatu yang tidak disangka-sangka.

"Tapi kalau tiba-tiba lampu mati saat bapak sendirian, bagaimana?" tanya Rania karena yang dia tahu kondisi Alva benar-benar beresiko kalau hanya tinggal sendirian.

"Ya, gimana lagi? Paling aku pingsan kalau sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi," jawab Alva dengan begitu entengnya.

"Lalu? Siapa yang menolong Tuan?" tanya Rania kaget.

"Enggak ada lah. Kan aku tinggal sendiri. Jadi enggak mungkin ada yang tahu kalau aku pingsan. Nanti kalau udah bosen pingsan juga bangun sendiri kok," sahut Alva membuat Rania sampai geleng-geleng kepala.

"Apa sebaiknya saya tinggal di apartemen Anda saja, Tuan? Kok saya horor banget denger Tuan harus menghadapi trauma sendirian," celetuk Rania tiba-tiba.

Alva langsung menoleh pada gadis di sebelahnya lalu menggelengkan kepala.

"Emang kamu enggak takut aku berbuat macam-macam kalau kita tinggal di tempat yang sama?" tanya Alva dengan mata memicing.

"Kenapa saya harus takut? Toh Tuan kan impoten jadi enggak mungkin ngapa-ngapain … Astaga! Maaf Tuan. Bukan begitu maksud saya. Saya hanya …."

"Tidak usah kamu jelaskan, semuanya sudah sangat jelas untukku. Kamu juga tidak perlu sibuk mengasihani aku. Toh selama ini aku baik-baik saja tinggal sendiri," ketua Alva dengan wajah masam.

Rania hanya bisa kembali garuk-garuk kepala melihat kemarahan Alva. Jangan salahkan Rania tapi salahkan saja bibirnya yang tidak bisa diajak kompromi. Lagipula, apa yang dikatakan bibir Rania itu benar jika Alva seorang impoten. Jadi untuk apa Alva merengut segala?

Sepanjang perjalanan pulang Alva terus saja teridiam. Sepertinya, laki-laki itu benar-benar kesal pada sekretaris barunya.

Apalagi melihat Rania yang tak mau ambil pusing dan malah tidur dengan nyenyak, membuat Alva semakin kesal saja.

"Benar-benar sekretaris enggak ada akhlak. Ingin sekali aku menoyor kepalanya kalau tak ingat enggak ada penggantinya. Huft, benar-benar menyebalkan," gerutu Alva penuh kekesalan.

Begitu tiba di apartemen, Rania malah masih keenakan tidur. Alva sampai beberapa kali berdecak kesal melihat kelakuan gadis itu. Namun rasanya tak tega untuk membangunkan paksa Rania.

"Ditinggalkan di mobil sendirian pun rasanya tidak mungkin. Begitupun dengan aku yang menunggunya di sini. Badanku terlalu pegal dan ingin segera beristirahat. Hem, apa sebaiknya aku lempar saja gadis ini ke got, ya?" gumam Alva sembari mengetuk-ngetuk meninggalnya.

Sedangkan Rania yang sebenarnya sudah terbangun, langsung menegakkan tubuhnya kala mendengar perkataan Alva. Alva yang melihat kelakuan Rania langsung mengulum senyum.

Alva memang sudah tahu kalau Rania sudah bangun dan pura-pura tidur, tampak sekali menahan tawa. Namun karena tak ingin membuat Rania semakin malu, Alva memilih untuk segera keluar dari mobil.

Apalagi melihat ekspresi Rania barusan, benar-benar membuat Alva ingin sekali tertawa terbahak-bahak.

Ah, wanita itu. Dibalik tingkah menyebalkan nya, lumayan bisa menjadi hiburan juga. Rasanya Alva tidak akan takut cepat tua kalau disamping Rania karena di saat bersamaan Rania bisa membuat Alva marah sekaligus tertawa. Hitung-hitung olahraga emosi.

Sedangkan Rania yang ikut turun dari mobil, tampak terus mengerucutkan bibir. Bisa-bisanya Alva malah akan membuangnya ke got dari pada memangku nya seperti di film-film.

Benar-benar menyebalkan lelaki itu. Ingin sekali Rania mencekiknya agar Alva sadar kalau dari benar-benar sudah sangat keterlaluan.

"Heh, perhatikan langkahmu! Kalau kamu terjatuh, aku tidak akan bertanggung jawab untuk menolongmu," ucap Alva karena Rania terus saja merengut.

"Iya," sahut Rania singkat.

Rania segera mempercepat langkahnya ikut menyusul Alva ke dalam lift. Alva pun menekan tombol yang akan membawa mereka ke apartemennya.

Sepanjang lift itu bergerak, tak ada yang mengeluarkan suara. Mereka sama-sama terdiam seribu bahasa.

Ting.

Suara pintu lift yang terbuka membuat Alva kembali melanjutkan langkahnya. Tak lupa, Rania terus mengekor di belakang dengan tangan yang sibuk memegang bawaanya.

Alva menempelkan kartu untuk membuka pintu. Di sana memang hanya ada unit apartemen milik Alva saja.

"Nanti kamu juga akan aku berikan kartu seperti ini karena pasti akan keluar masuk apartment untuk mengurusku. Aku tidak ingin kejadian tadi pagi akan terulang lagi," ujar Alva dan hanya dijawab anggukkan kepala oleh Rania.

Begitu pintu terbuka, Alva mempersilahkan Rania masuk lalu menunjukkan kamar untuk wanita itu tinggal.

"Nanti kamu tidur di sana. Dan itu kamarku. Jangan masuk ke kamarku kalau bukan aku yang memintanya," ucap Alva sembari melenggang meninggalkan Rania.

"Lagipula siapa yang akan masuk ke kamar Tuan Alva. Benar-benar percaya diri sekali dia," gerutu Rania penuh kekesalan.

Rania segera masuk ke dalam kamarnya. Bukan hanya lelah fisik saja saat harus menghadapi Alva, tapi juga lelah batin.