Lexa bingung harus mulai dari mana menceritakan tentang kisah hidupnya pada Vano. Dia jarang menceritakan kehidupan pribadinya. Pelik dan dia tidak mau orang lain mengasihaninya. Lexa masih dengan jari-jari yang tertaut satu sama lain. Sesekali mencuri pandang pada sang bos. Hanya sulit untuk tidak melihat mata seseorang saat kita bicara dengannya. Sedangkan pria di hadapannya ini akan sangat marah saat seseorang menatap matanya.
"Apa kau mau membiarkan aku mati duduk di sini karena menunggumu bicara?" Tanya Vano ketus.
"Hm, y-ya Tuan. Namaku Lexa. Ah, Tuan pasti sudah mengetahui itu. Usiaku 18 tahun dan aku seorang yatim piatu. Aku hidup sebatang kara sejak dua tahun lalu saat nenekmu meninggal. Ayah dan ibuku juga sudah meninggal saat aku masih 10 tahun. Aku hanya lulusan SMA saja dan tentu saja itu yang membuatku berakhir di sini," ucapnya santai tidak mengerti akan akibatnya.
"Berakhir di sini? Seolah kau menyesal bekerja di sini? Apa aku harus mengingatkan bahwa 'di sini' ini adalah salah satu perusahaan terbesar di Perancis?" Vano seolah tersinggung dengan perkataan Lexa.
"Bukan itu maksud saya, Tuan! Maksudku adalah aku harus bertahan di posisi ini. Padahal kalau boleh aku ingin sekali bisa pergi kuliah dan akhirnya bekerja untuk posisi yang lebih baik. Aku hanya ingin kehidupan yang lebih layak," Lexa segera memperbaiki maksudnya.
"Apa gaji yang diberikan perusahaan kami kurang layak?" tuan satu ini memang terus menguji Lexa dengan tatapan naganya yang tajam.
"Ah Tuan. Bukan itu maksudku. Tolong jangan memutarbalikkan semua ucapanku! Aku hanya merasa yakin bahwa aku bisa melakukan dan mendapatkan lebih banyak dari ini kalau seandainya aku memiliki cukup uang untuk pergi kuliah!" lama-lama Lexa kesal juga.
"Baik aku mengerti! Kenapa kau harus marah-marah pada bosmu sendiri?" kali ini Lexa tak habis pikir. Bagaimana pria ini merasa menjadi korban sekarang padahal dari tadi dia yang bersikap menyebalkan.
"Maafkan aku, Tuan," Lexa berusaha mengalah.
"Kalau kau bisa kuliah, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Vano ingin tahu.
"Hm, sebenarnya aku ingin menjadi perawat. Aku ingin membantu banyak orang," ucap Lexa seakan berangan.
"Ingin membantu banyak orang lalu kenapa kau tidak bercita-cita menjadi dokter saja?" tanya Vano seolah semua terasa mudah.
"Karena aku tidak punya cukup uang untuk itu," jawab Lexa tak kalah mudahnya.
"Jawabanmu sama sekali tidak konsisten. Kalau aku punya uang, ah dan aku memang memilikinya. Aku pasti akan memilih untuk pergi kuliah ke tempat yang sangat bagus dan lalu bekerja kemudian mendapatkan posisi yang lebih baik. Kita semua boleh punya cita-cita setinggi langit kan? Jadi kalau mimpimu ingin membantu banyak orang, kenapa hanya berhenti di perawat?" tanya Vano tidak mengerti.
Lexa takjub juga sebenarnya pria di hadapannya ini ternyata banyak bicara juga walau sebagian ucapannya terus menerus menyentilnya.
"Hm, aku hanya merasa mimpi itu harus realistis. Aku ini seseorang yang mimpinya terus menerus direnggut oleh kenyataan. Aku kehilangan orang-orang terdekatku dengan sangat mudah. Aku hidup dengan kesederhanaan setiap hari. Menyisihkan uang untuk makan enak saja kami sulit. Aku hanya terbiasa dengan itu dan mimpiku memang tidak pernah tinggi setelah itu. Menjadi perawat, aku bisa membantu lebih banyak orang. Selain bisa membantu pasien, aku juga bisa membantu dokter kan?" ucap Lexa penuh keyakinan.
"Ya bisa jadi," kata Vano akhirnya.
"Pasti sulit untuk orang seperti Anda mengerti ini karena kau punya segalanya. Harta, tahta, mungkin juga wanita," dan sejurus kemudian Lexa merutuki mulutnya sendiri.
"Hahaha. Aku mulai menyukaimu. Sepertinya mudah untukmu memahami semua kondisi ini. Aku hanya berharap kau tidak mudah kaget dengan apa yang akan kau lihat di perusahaan ini," senyum menakutkan itu terlihat di mata Vano.
Pria itu akhirnya menyuruhku pergi dan mengijinkanku pulang. Aku merasa sangat lega karena ini belum terlalu malam dan dia masih bisa mendapatkan bis untuk pulang. Sedangkan di kantor, Vano masih mengingat semua percakapannya dengan Lexa. Dia hanya bisa tersenyum miring. Gadis itu sama sekali belum mengenal siapa dia dan juga rahasia besar di balik perusahaan Gold Lycaon Company.
Mengendarai super car bewarna merah menyala, Vano membelah jalanan malam yang masih ramai itu. Dia akan pergi ke sebuah bar menemui seseorang. Lebih tepatnya orang itu yang terus menerus ingin menemuinya. Vano sudah bersusah payah menolak tapi orang itu masih memaksa. Vano turun dari mobil kesayangannya itu dan masuk ke dalam sebuah restoran yang berada di atap sebuah hotel mewah. Melihat kemana orang ini mengundangnya saja sudah membuatnya tersenyum penuh arti.
Vano bisa melihat punggung sosok itu. Sosok dengan sanggul cantik di atas kepalanya yang membuat punggung mulusnya terekspos sempurna. Gaun tanpa lengan dengan punggung terbuka bewarna merah menyala. Vano bahkan bisa mencium aroma parfumnya saat dirinya berjalan mendekat. Banyak mata-mata nakal yang menatap wanita itu dengan lapar. Sayang sekali karena mereka semua sudah tertinggal sangat jauh darinya.
"Halo," suara dalam Vano menyapa dari balik pundaknya.
"Owh hai, aku kira kau tidak akan datang," wajah berpoles make up itu tersenyum lega.
"Kau sudah berusaha keras untuk hari ini. Akan sangat jahat dan kasar kalau aku menolakmu lagi kali ini," senyum Vano bergerak mencium punggung tangannya.
Dia adalah Daisy, seorang aktris dan model yang sedang naik daun di Perancis. Dia memang cukup dikenal belakangan ini setelah dia membintangi sebuah film aksi yang sebenarnya tidak terlalu aksi juga. Banyak adegan panas di dalamnya dan bahkan wanita itu sudah menunjukkan setengah tubuh telanjangnya pada seluruh warga Perancis.
Cantik tapi sayang murahan. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Vano. Daisy bahkan dikabarkan bisa bermain dalam film itu setelah dia merayu sang produser. Itu mungkin juga alasan banyak mata yang menatapnya di sini. Walau kini semua mata itu tertunduk saat mereka bisa melihat siapa yang Daisy temui di sana.
"Maaf sudah membuatmu lama menunggu," kata Vano basa-basi.
"Selama kau berjanji, aku akan bersedia menunggumu di sini sampai aku mati," sensual Daisy bicara.
"Jangan sembarangan bicara. Apa kau tidak takut apa yang kau katakan itu akan menjadi kenyataan?" senyum Vano santai.
"Hahaha. Kau ternyata perhatian padaku," ucap Daisy dengan bibir merah menyalanya.
"Jadi apa yang membuatmu ingin bertemu denganku Nona Daisy?" tanya Vano dengan suara dalamnya.
"Hm, bagaimana mengatakannya. Aku hanya sudah lama kagum padamu Tuan Vano," katanya dengan suara seksi.
"Aku sangat tersanjung, tapi ayolah aku tahu ini lebih dari itu," Vano terus saja memancing.
"Hm, bagaimana kalau kita bicara di kamar saja? Aku tidak mau ada yang mendengar pembicaraan kita," Daisy meyakinkan.