Pintu itu diketuk. Lexa segera menoleh tepat setelah meneguk terakhir air di gelas kaca yang mendampingi makan malamnya. Dia sudah membuka pintu dan Bocca ada di sana. Pria 19 tahun dengan rambut keriting dan tubuh jangkung dengan bahu lebar. Tampan meskipun dia berusaha menutupinya dengan kacamata tebal yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan. Tersenyum dengan ceria di hadapannya membawa satu buah kantong popcorn berukuran besar.
"Apa yang ingin kau lakukan?" selidik Lexa.
"Apa lagi? Mendengarkan pengalaman kerja pertamamu tentu saja," katanya sudah menerobos masuk.
"Aku belum mengatakan aku menyetujuinya," Lexa jadi kesal juga.
"Apa aku masih memerlukan itu? Kau selalu datang setiap saat kau ingin. Kenapa aku tidak bisa melakukannya?" Bocca terlihat cemberut.
"Bukan begitu. Aku hanya sangat letih," Lexa berjalan menuju sofanya.
"Kalau begitu kau bisa bercerita dengan aku memijat kakimu. Kau tahu aku pandai dalam hal itu kan?" senyumnya lagi.
"Hmh. Kau keras kepala!" Lexa akhirnya berpasrah dan Bocca segera duduk di samping gadis itu.
"Apa pekerjaan itu melelahkan? Bagaimana teman-temanmu? Apa bosmu baik?" tanya Bocca ingin tahu.
"Apa kau tidak bisa sabar sedikit?" Lexa sudah letih saat kakinya diletakkan di atas paha Bocca agar pria itu bisa memijatnya.
"Ok ok. Kau bisa menceritakannya kapan pun. Maksimal jam sembilan malam ini karena aku harus mengerjakan tugas kuliahku," Bocca mengingatkan dan Lexa memutar bola matanya malas.
Bocca adalah tetangga sekaligus teman Lexa sejak kecil yang tinggal di depan kamarnya bersama sang ayah yang sudah berusia senja. Sahabatnya itu memang lebih beruntung karena dia bisa kuliah jurusan hukum sejak tahun lalu. Ayahnya adalah seorang kontraktor dan dia punya cukup uang untuk itu. Saat ini beliau memang tidak terlalu aktif lagi, tapi tabungan hari tuanya sepertinya sudah cukup untuk menghidupi mereka berdua.
Bocca tidak pernah percaya saat orang mengatakan bahwa omong kosong ada persahabatan antara pria dan wanita karena pada akhirnya pasti akan ada cinta di sana. Bocca menyangkalnya karena faktanya dia masih bisa bersahabat dengan Lexa, satu-satunya sahabat perempuannya. Semuanya yang mendadak berubah sejak tahun lalu saat ulang tahun Lexa yang ke 17 tahun.
Bocca sengaja menyiapkan makan malam spesial untuk Lexa. Bocca bahkan meminta tetangga apartemennya yang lain yang selalu dia panggil dengan sebutan Tina. Seorang penata rias di salon tak jauh dari sini untuk menangani Lexa. Sebenarnya lebih cocok disebut tante karena usianya yang sudah menginjak 40 tahun. Beliau ingin dipanggil dengan nama agar selalu terdengar awet muda saja.
Bocca menyiapkan makan malam di atap apartemen mereka. Meja dan dua kursi. Lilin dan banyak lampu. Kue tar kecil dengan dua piring steak juga wine. Sibuk memperhatikan penampilannya sendiri dengan celana kain dan kemeja biru. Justru kemudian begitu terpaku saat melihat Tina mengantarkan Lexa yang sudah dirias sempurna. Mengenakan gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya pas dan riasan wajah yang sederhana tapi menonjolkan kecantikannya dengan sempurna.
Bocca sudah sangat mengenal Lexa tapi malam itu dia bisa melihat sisinya yang lain. Sisi yang selama ini sebenarnya terlalu takut untuk Bocca ketahui. Karena tepat seperti dugaannya, dia jadi jatuh cinta. Tentu saja bukan hanya karena tampilan fisik itu, tapi dia memang sudah lama menaruh rasa. Sulit bagi Bocca untuk tidak menemui Lexa barang sehari saja. Menyiksa baginya saat dia tidak bisa bicara pada Lexa. Saat itu dia mengelaknya dengan dalih itu hanya kenyamanan yang dia dapat dari persahabatan. Kini malam ini dia bisa dengan lantang menyangkalnya.
"Aku baru menyadari ternyata kau cantik," ucap Bocca dengan suara bercandanya.
"Hahaha. Sejujurnya aku juga baru menyadarinya," tawa renyah Lexa.
"Selamat ulang tahun ya," ucap Bocca saat itu memberikan sebuah kotak beludru bewarna hitam.
"Hadiah? Setelah semua ini? Wah, kau menghabiskan semua uangmu untukku?" goda Lexa kemudian.
"Sebenarnya ini hadiah dari ayahku. Aku hanya memberikannya padamu atas namaku. Hahaha. Katanya kalung ini bisa melindungimu," ucap Bocca menyodorkan kalung itu di depan Lexa.
"Melindungiku dari apa?" tanya Lexa membuka isi kotaknya.
"Entahlah. Katanya kau akan mengetahuinya suatu saat nanti," senyum Bocca.
"Ini indah sekali. Meskipun ini tidak melindungiku dari apapun, aku tetap akan mengenakannya. Aku berjanji tidak akan melepaskannya asal kau yang mengalungkannya padaku," ucap Lexa dengan santainya.
"Hmh, kau memang merepotkan," ucap Bocca tapi bergerak mengalungkannya.
Kalung perak dengan bandul oval bewarna biru saphir sebesar kuku ibu jari terpasang dengan sempurna di leher Lexa. Bocca tidak bisa tidak tersenyum menatapnya. Ayahnya itu sepertinya memang pandai menaklukkan hati wanita sejak dulu kala.
"Menurutku kau terlihat jauh lebih cantik kini," Bocca tersenyum bangga.
"Hahaha. Apakah hampir membuatmu jatuh cinta?" goda Lexa mendekatkan wajahnya membuat Bocca terpaku sesaat memandang bibir pink terang gadis itu. Membuat Bocca harus menahan diri untuk tidak bertindak lebih pada sosok sahabatnya itu.
"Hahahaha. Kau benar-benar payah! Apa kau mengira aku akan jatuh cinta pada gadis super cerewet sepertimu?" Bocca akhirnya mendorong kepala Lexa menjauh.
Ingatan tentang malam itu terlintas begitu saja di pikiran Bocca. Dia kembali fokus pada ucapan Lexa saat gadis itu menangkapnya melamun dan menepuk pundaknya. Berlagak mendengarkan, entah bagaimana cerita itu berlanjut hingga tengah malam. Lexa memang begitu. Sekalinya dia bicara maka itu akan menjadi sangat panjang.
Percakapan yang akhirnya membuat Lexa jadi bangun terlambat lagi. Alarmnya tidak berbunyi karena ternyata ponsel Lexa mati dan dia lupa mengisi dayanya.
"15 menit lagi? Ini bahkan lebih buruk dari terakhir kali!" Lexa lompat dari ranjangnya dan segera masuk ke dalam kamar mandi.
Butuh lima menit untuknya menyiapkan segalanya. Kali ini dia bahkan tidak mengenakan riasan karena akan lebih mudah untuknya mengenakannya nanti. Mengenakan seragam yang sudah resmi dia miliki. Dia hendak berlari menuju halte hingga Bocca melihatnya.
"Mau kemana kau?" tanya Bocca ikut terburu-buru.
"Kemana lagi? Tentu saja bekerja. Aku terlambat," Lexa akan berlari dan cepat Bocca menangkap tangannya lagi.
"Aku akan mengantarmu dulu dengan motorku!" ucap Bocca cepat dan dengan menimbang kilat tentu saja Lexa setuju.
Mengendarai motornya, Bocca harus mengebut membelah jalanan kota yang padat. Lexa memegang pakaian Bocca erat. Melewati sebuah bis yang biasanya ditumpangi Lexa pagi hari. Pasti akan terlambat kalau dia memaksakan diri naik bis setelah ini. Tanpa Lexa sadari ada sepasang mata yang mengawasinya dari dalam bis.
Bocca dan Lexa juga melewati banyak mobil dan ada satu mobil yang sangat mencolok diantara iringan kendaraan itu. Sebuah mobil sport merah yang penumpangnya juga bisa melihat Lexa dengan tatapan penuh selidik.